Bab 47

509 29 11
                                    

Ahmad hanya diam membisu. Jarinya menyeka darah yang mengenai wajah dan kedua matanya. Warna merah kehitaman itu, menyapu bersih kemeja biru tosca milik Ahmad. Dengan satu tarikan napas, Ahmad memeras darah yang membasahi kemejanya. Darah tersebut mengalir, berganti membasahi lantai.

"Kenapa kau bunuh dia, Ham." Kata Ahmad dengan ekspresi datar.

"Dia memang pantas untuk dibunuh. Lagipula, dia sudah tidak berguna lagi," balas Ilham.

"Apa yang sebenarnya terjadi, kenapa kau melakukan semua ini. Aku butuh penjelasan, Ham." Ahmad sedikit bergidik, ketika melihat Ilham menjilati bekas darah yang menempel di celuritnya.

"Kamu tahu, Mad. Semua orang di sini, sudah ditumbalkan oleh Kiai Sobirin. Bahkan kita juga. Untuk mencegah hal itu terjadi, aku memilih untuk membunuh semua orang, biarkan mereka mati tanpa harus menjadi tumbal untuk junjungan lelaki tua itu," jelas Ilham.

"Junjungan?" Kening Ahmad mengeryit.

"Lelaki tua itu, tidak pernah menyembah Tuhanmu, Mad. Dia menyembah iblis." Lanjut Ilham.

Kedua mata Ahmad membelalak lebar. Ia terkejut mendengar ucapan Ilham barusan. "Iblis!" Serunya.

Ilham mengangguk, "Ya, iblis."

"Termasuk dirimu, Ham?" Tanya Ahmad.

"Menurutmu?" Ilham berbalik bertanya.

Ahmad tak ingin menerka, ia harus melakukan sesuatu untuk menghentikan aksi keji Ilham. Ia begitu cemas memikirkan keadaan para santri yang berada di aula. Sangat aneh jika semua kejadian di lantai atas, sama sekali tak terdengar oleh salah satu dari puluhan manusia itu.

"Aku tidak peduli kepada siapa kau menyembah, Ham. Yang aku tahu, kau itu teman baikku. Dan aku yakin, sebejat apa pun dirimu, ada sedikit kebaikan di dalam hatimu. Sadarlah, bahwa semua yang kau lakukan ini salah. Mari, kita cari solusi itu bersama-sama. Biarkan aku ikut menanggung beban yang selama ini membuatmu menderita, sadar Ham. Sadar!" Setelah berbicara panjang lebar, Ahmad berjalan satu langkah menuju Ilham. Pemuda itu berdiri dengan tatapan kosong. Dengan cepat, Ahmad menyambar celurit di tangan Ilham, melemparnya keluar kamar.

"Solusi? Bersama-sama?" Ilham terkekeh. "Apa aku tidak salah dengar? Anak seorang dukun, berkata demikian padaku. Sungguh luar biasa," lanjut Ilham sambil bertepuk tangan.

"Dukun? Apa maksudmu?"

"Bapakmu, atau sebut saja Ki Alif, adalah seorang dukun tersohor sebelum Suparta. Dan ibumu, juga seorang dukun, hanya saja ilmunya tak sehebat bapakmu. Dan di saat kamu lahir, semua peristiwa mengerikan itu terjadi sampai sekarang. Desa Giung Agung, desa Kalimayang, dan desa-desa yang lain pun menjadi target kekejaman bapakmu. Sampai, di mana gadis itu lahir. Peristiwa mengerikan itu terjeda bertahun-tahun. Dan sekarang, hal itu terjadi lagi. Saat usiamu hampir 20 tahun." Terang Ilham. Saat mengucapkan kalimat itu, ada sesuatu yang ia tahan. Sesuatu yang dianggapnya konyol. Genangan di kedua bola matanya hampir saja terjatuh. Andai, dia mengizinkannya untuk jatuh.

"Bapak? Dukun? Tidak mungkin, Ham. Bapak itu ta—

"Taat beribadah? Bukankah Kiai Sobirin juga sama? Kita semua di sini sama, beribadah layaknya manusia lain. Tapi, kau tak bisa membaca hati mereka, tentang kepada siapa mereka menyembah," sela Ilham.

Ahmad mengembus napas panjang. Memang benar, apa yang dikatakan Ilham. Tidak ada yang bisa menebak isi pikiran dan hati seseorang. Bisa saja, orang yang terlihat alim dan religius, hanya sekadar topeng belaka. Atau bisa jadi, orang yang terkesan urakan, bengis, kejam, justru orang paling taat dan patuh terhadap perintah Sang Maha Kuasa.

Menghindari sifat munafik adalah suatu hal yang mustahil. Kita ditakdirkan untuk menjadi manusia yang berpikir. Setiap makhluk yang hidup, tidak akan pernah berhenti di uji sampai batas tutup usia. Tinggal bagaimana kita mengambil keputusan, untuk pantang menyerah mendapatkan RidhoNYA atau menggantungkan status sebagai hamba kepada nafsu.

JALAN PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang