Bab 25

573 35 2
                                    

"Bagaimana ini Pak, Adiba belum juga ditemukan. Apa kita harus menerobos daerah terlarang?" Tanya salah satu warga.

"Jangan! Pasti dia masih berada di sekitar sini, ayo cari lagi!" Titah Pak Sulaiman. Ia sendiri takut untuk masuk ke kawasan terlarang. Kabar angin mengatakan jika di tengah hutan terdapat satu pohon besar yang dikuasai oleh bangsa jin. Jika ada yang berani masuk ke sana, nyawa pun menjadi taruhannya.

Matahari kian naik, cahaya putih keemasan tampak menyilaukan mata. Dengan berat, Adiba mencoba membuka kedua matanya. Luka di kakinya masih terasa sakit. Adiba mencoba untuk berdiri, namun luka tersebut menyebabkan kaki kirinya bengkak. Ia pun kembali terjatuh ke tanah.

"Aduh, ssstttt." Adiba merintih sambil mengurut kakinya yang lebam.

TEK!

Terdengar bunyi ranting kayu yang patah. Bukan patah dari dahannya melainkan karena pijakan kaki. Adiba beringsut ke belakang, ia memaksa kakinya untuk bergerak. Dengan langkah terseok-seok, Adiba mencoba mencari tempat persembunyian. Dilihatnya ada pohon besar di depan, segera Adiba bersembunyi dibalik pohon tersebut.

Sekujur tubuhnya bergemetar. Adiba berusaha mengatur pernapasan agar tak terdengar ngos-ngosan. Detak jantungnya terpacu lebih cepat, gadis cantik itu tampak sangat ketakutan.

Dari kejauhan, Adiba mendengar suara tapak kaki yang berjalan mendekat. Adiba mengintip dengan sebelah mata, ia melihat ada dua orang yang sangat ia kenali. Salah satunya adalah Pak Sulaiman.

"Ke mana lagi kita mencari Adiba, Pak. Ini sudah pagi, nanti para warga akan curiga dengan kita," ucap warga tersebut.

"Kau benar! Kita hentikan dulu pencariannya, sekarang kita pulang." Titah Pak Sulaiman dengan raut wajah putus asa. Pak Sulaiman juga menyuruh warga tersebut untuk memberitahu rekan yang lain. Lalu, ia perlahan berjalan menjauh dari lokasi persembunyian Adiba, kemudian hilang di telan rimbunnya pepohonan.

"Alhamdulillah," Adiba mengembus napas lega. Ia menyenderkan punggung ke batang pohon, dengan wajah menengadah ke langit. Linangan air mata kembali luruh, tangisnya pun pecah.

"Bapak ..."

***

"Assalamu'allaikum, Abah. Maaf, ada orang yang ingin ketemu sama Abah," ucap Amara sambil mengetuk pintu kamar Kiai Sobirin.

Tak lama kemudian, Kiai sepuh itu muncul dengan berpakaian rapi.

"Abah mau ke mana?" Tanya Amara penasaran. Ia agak terkejut dengan penampilan bapaknya. Kali ini bukan lagi baju koko yang beliau kenakan, melainkan kemeja putih lengkap dengan serban di kepala.

"Mau ketemu tamu Abah. Abah mau pergi bersama tamu Abah, ada urusan. Mungkin, Abah juga akan menginap. Jangan ke mana-mana, tolong malam ini di rumah saja. Matikan semua lampu sesudah isya, segeralah tidur. Ingat, tidak boleh ada satu pun cahaya di rumah ini." Jawab Kiai Sobirin sambil memberi pesan kepada Amara.

"Baik, Abah. Tapi kenapa? Bu—

"Lakukan saja, Ra. Semua demi kebaikanmu. Abah sayang sama kamu, Nduk. Abah pergi dulu ya, Assalamu'allaikum." Potong Kiai Sobirin sembari melenggang pergi meninggalkan anak gadisnya tercengang dengan mulut terbuka.

"Wa'allaikumussalam. Abah mau ke mana? Tumben pergi tidak bilang dulu. Biasanya, jauh hari sudah bilang sama aku. Apa ini ada kaitannya dengan kedatangan orang tua Ilham tempo hari? Atau ..." Amara mulai menerka-nerka. Untuk urusan apa bapaknya pergi sampai harus menginap? Jika tak terlalu genting, mana mungkin Kiai Sobirin meninggalkan pondok dan menginap di luar?

JALAN PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang