Bab 26

562 38 1
                                    

"Maaf Pak Kiai, apakah yang saya dengar ini, semuanya benar? Pak Kiai tidak sedang bercanda kan, sama kita?" Tanya Pak Heru. Ia masih tak percaya dengan ucapan lelaki sepuh itu. Ia memandang lekat wajah sepuh Kiai Sobirin. Ada guratan penyesalan yang ia tangkap.

"Benar, Pak Heru. Saya memang ayah kandung Adiba. Saya sengaja menitipkan Adiba ke Pak Parta dan juga Asih. Sa-

"Jadi, kau ini Suparta! Kau dukun santet itu! Jadi selama ini, kau menipu kami!" Teriak Muksin, salah satu warga yang ikut dalam rapat tersebut.

Kiai Sobirin kembali terdiam. Ia hanya menatap wajah Muksin dengan tatapan sendu.

"Kenapa kau menatap saya seperti itu! Berarti memang benar, kau Suparta. Dia yang selama ini membuat kita semua celaka. Dia juga yang membunuh Lastri," tuduh Muksin.

"Tenang dulu, Sin. Dengarkan dulu Pak Kiai bicara. Kita harus mendengarkan semua penjelasannya, biar tidak terjadi kesalahpahaman." Pinta Pak Usman berusaha menenangkan Muksin yang tersulut emosi.

"Ah, masa bodoh dengan semua itu! Saya sudah tak percaya lagi dengan dia! Dia seorang dukun dan juga seorang pembunuh," imbuh Muksin.

"Maaf, Mas Muksin. Saya memang ayah kandung Adiba, tapi saya bukanlah Suparta. Saya Sobirin, kami beda orang." Tukas Kiai Sobirin.

"Alah, alasan!" Ketus Muksin.

"Muksin! Kalau kau tidak bisa diajak bicara baik-baik, pergi saja dari sini! Memang dari awal kau sudah tidak suka dengan Kiai Sobirin. Makanya kamu mencari-cari kesalahan beliau," sahut Pak Heru dengan nada ketus.

"Terserah kalian saja! Saya mau pulang! Persetan dengan semua ini!"

Baru saja Muksin hendak keluar rumah, tiba-tiba ia dikejutkan dengan penggalan kepala manusia yang tergantung tepat di depan pintu masuk, tepat setelah ia membuka pintu.

"Aarrgghhh!" Jerit Muksin ketakutan. Semua orang yang hadir segera lari untuk melihat keadaan Muksin.

"Astaghfirullahaladzim."

Semua orang terkejut melihat pemilik kepala tersebut. Terutama Kiai Sobirin, beliau langsung terkulai lemas saat mengetahui kepala siapa yang tergantung tepat di depan pintu tersebut.

"Pak Kiai," lirih Pak Heru, yang sigap menangkap tubuh lelaki sepuh itu.

"Astaghfirullahaladzim, Astaghfirullahaladzim." Berulang kali Kiai Sobirin beristighfar. Tak percaya dengan apa yang beliau lihat. Semua seperti mimpi, namun sayangnya, mimpi itu bagian dari hidupnya yang benar-benar nyata.

"Pa-Pak Pa-Parta!" Pak Usman menyebut nama Pak Parta dengan tubuh bergemetar. Sementara Muksin terlihat tak sadarkan diri akibat syok.

"Ba-bagaimana ini, Pak?" Tanya warga yang lain. Mereka benar-benar ketakutan. Bahkan ada yang ikut pingsan, melihat pemandangan mengerikan itu. Di mana, kepala Pak Parta terombang-ambing tergantung dengan seutas tali yang di ikatkan di pohon dekat rumah itu berada. Kedua matanya melotot, lidahnya menjulur keluar dengan bersimbah darah.

"Siapa yang tega melakukan semua ini!" Ucap Pak Heru.

"Kita harus segera melakukan sesuatu, kalau tidak semua orang yang kita perintahkan akan tewas satu persatu." Sahut Kiai Habidin. Pria tua itu baru muncul ketika salah satu warga memberitahunya, sebab Kiai tersebut sedang berada di kamar kecil saat kejadian itu.

Letak rumah dan kamar mandi memang terpisah. Jaraknya sekitar 100 meter. Di belakang rumah terdapat kebun kecil. Banyak pohon pisang yang tumbuh. Terdapat juga tanaman liar. Wajar jika rekan Kiai Sobirin itu tidak mendengar jelas suara teriakan Muksin yang terdengar melengking.

JALAN PULANGWhere stories live. Discover now