Bab 22

561 35 5
                                    

"Mas ..." Yudi menatap Ahmad penuh tanya. Begitu juga dengan Ahmad. Keduanya memikirkan hal yang sama. Untuk apa Pak Usman datang ke rumah Pak Heru? Dan bagaimana ia bisa selancang itu masuk ke rumah orang tanpa permisi? Bukankah Pak Usman depresi, setelah kehilangan cucunya?

Segala macam pertanyaan seolah berputar-putar di kepala. Ahmad dan Yudi hanya bisa bersembunyi di dalam kamar. Mencoba mencari tahu apa tujuan pria tua itu.

"Ke mana Heru! Apa dia tidak ingat hari ini diadakan rapat. Kalau sampai tidak datang, bisa-bisa lelaki tua itu marah sama saya!" Gerutu Pak Usman. Pria tua itu mengambil sebatang rokok, lalu menyulutnya dengan korek api. Asap mengepul di udara. Perlahan kepulan asal itu lenyap, tertiup angin. Dengan raut wajah kesal, Pak Usman segera pergi dari rumah Pak Heru.

Setelah kepergian Pak Usman, Ahmad dan Yudi bergegas keluar dari kamar Indah. Mereka seakan lupa, untuk apa masuk ke kamar gadis cantik itu.

"Saya harus segera kembali ke Pondok, Mas. Saya akan menemui Ilham secepatnya. Saya juga akan meminta bantuan kepada Kiai Sobirin. Siapa tahu, beliau bersedia membantu." Ucap Ahmad sambil terus mengamati sekitar. Siapa tahu akan ada lagi yang datang.

"Mas, apa Mas Ahmad benar-benar yakin, mau kembali ke Pondok? Saya takut Mas, kalau nanti justru Mas Ahmad akan mengalami banyak kendala. Soalnya ..." Yudi secara sengaja menghentikan kalimatnya. Pemuda itu terlihat tegang.

"Soalnya apa, Mas?" Tanya Ahmad penasaran.

"Soalnya saya benar-benar khawatir dengan keadaan Mas Ahmad. Apalagi dengan kondisi kepala di perban. Saya takut, Mas Ahmad kenapa-kenapa di jalan." Yudi berbohong. Sebenarnya ia ingin sekali menceritakan tentang permintaan Pak Parta, namun segera ia mengurungkan niat. Yudi tidak mau menambah beban pikiran pemuda itu.

"Saya akan baik-baik saja, Mas. Mas Yudi tak perlu risau," balas Ahmad.

Yudi menganggukkan kepala, lalu menghela napas panjang. Kepalanya terasa amat berat. Memikirkan diri sendiri saja sudah sulit, kini ia harus memikul tanggung jawab yang lebih berat, menjaga Adiba.

***

ALLAHU AKBAR ... ALLAHU AKBAR

Suara azan kembali menggema memecah keheningan senja. Matahari dengan senyumnya yang menawan, melambai penuh lembut. Perlahan jingganya mulai tenggelam. Menyisakan kilau yang menyembul dari celah langit abu-abu. Sampai detik ini, hanya suara tonggeret yang terdengar. Seakan mengambil alih peradapan manusia di desa Giung Agung. Melodi yang dilantunkan perlahan memecah kesunyian. Menjadikan huru-hara langkah kaki yang hendak bersembunyi, dari pekatnya malam.

"Hari ini tidak ada yang datang untuk shalat berjemaah ya, Mas?" Tanya Ahmad pada Yudi. Setelah percakapan mereka selesai siang tadi, Yudi segera berpamitan pulang. Sementara Ahmad kembali ke kamarnya. Merapikan beberapa baju, mengemasnya ke dalam tas.

Keputusannya untuk kembali ke Pondok sudah bulat. Ia harus meminta bantuan kepada Kiai Sobirin dan juga Ilham. Peristiwa janggal yang terjadi, membuatnya lupa apa tujuan sebenarnya. Isi kepalanya sekarang bukan lagi menjaga Adiba, tetapi mengungkap misteri di desa tersebut. Ia merasa jika hal itu perlu dilakukan, supaya bisa secepatnya tahu siapa dalang dibalik semua ini. Perbuatan yang disangka baik itu, justru membuatnya semakin terjerumus ke dalam jurang yang gelap. Bahkan, untuk meraih setitik cahaya pun, ia merasa kesulitan. Apalagi, menemukan jalan pulang. Hal itu menjadi harapan tabu yang menguasai alam sadar.

"Tidak ada, Mas. Mana berani mereka keluar rumah. Saya saja kalau tidak karena terpaksa, milih shalat di rumah saja. Kenapa harus membahayakan diri, cuma sekadar shalat di mushola. Shalat di rumah juga sama saja." Balas Yudi.

JALAN PULANGWhere stories live. Discover now