Bab 3

942 50 0
                                    

Pak Heru, Ilham dan Ahmad berkumpul di ruang tamu rumah Parta. Sebelumnya, Adiba meminta izin kepada Pak Heru untuk menunggu di dalam kamar. Adiba juga berkata kalau dirinya lelah. Pak Heru mengizinkan Adiba untuk istirahat. Sementara itu, ketiga orang tersebut tengah sibuk membahas soal rumah yang akan di tinggali Ahmad untuk sementara waktu.

Ahmad berusaha memendam perasaannya, saat berhadapan dengan Pak Heru. Ahmad yakin, jika Pak Heru sudah lupa kepadanya. Bisa dilihat dengan jelas, saat pertemuan mereka, Pak Heru sama sekali tidak mengenali Ahmad.

"Bagaimana kalau malam ini, kalian menginap di rumah saya. Kebetulan ada kamar kosong yang tidak terpakai. Kalian bisa tidur di sana. Saya harap, Mas Ahmad dan Mas Ilham mau, dan bersedia menginap," Pak Heru mencoba memberi usulan.

"Saya ikut mana baiknya saja, Pak. Yang penting kami punya tempat untuk beristirahat." Ujar Ahmad setengah memaksakan diri untuk berbicara, walaupun sedikit gugup.

"Baiklah kalau begitu. Mari ikut saya," ajak Pak Heru. Ahmad dan Ilham beranjak mengikuti Pak Heru,  kemudian berpamitan kepada Adiba. Gadis itu hanya mengangguk pelan, kemudian segera menutup pintu setelah mereka bertiga sudah pergi.

"Mas ..." Ahmad memandang sendu pada Pak Heru. Ia berjalan di belakang Pak Heru dan Ilham. Kedua orang itu tampak asik mengobrol. Ahmad mencoba melihat keadaan sekitar, sudah banyak rumah warga yang asing baginya. Mereka saling bertegur sapa ketika bertemu dengan Pak Heru.

"Pak Usman," panggil Pak Heru saat melihat pria yang sedang membawa cangkul di pundak saat berpapasan di jalan.

"Ya, Pak RT. Ada apa?" Pak Usman segera menghampiri Pak Heru. Arah pandangnya tertuju kepada dua orang pemuda yang tengah berdiri di samping ketua RT tersebut.

"Bagaimana dengan pemakaman Mbah Suri, semua berjalan lancar to?" Tanya Pak Heru.

"Lancar, Pak. Tadi juga para warga ikut membantu proses pemakamannya. Seperti biasa, Pak Parta ikut membantu menggali tanah. Kita merasa terbantu dengan hadirnya Pak Parta. Kalau tidak, ya siapa lagi yang mau menggali tanah, Pak. Di sini bapak-bapaknya hampir tua semua, sudah tidak kuat lagi untuk mencangkul, tenaganya sudah lemah," jawab Pak Usman dengan sedikit merendahkan suaranya.

"Ya, Pak. Alhamdulillah kita masih diberi kemudahan oleh Sang Pencipta melalui Pak Parta. Semoga beliau diberi kesehatan dan keberkahan dalam hidup, Aamiin." Pak Heru mengatupkan kedua tangan, mengusapkannya ke wajah.

"Aamiin," disusul juga oleh Pak Usman.

Jika dilihat dari percakapan antara Pak Heru dan Pak Usman, sosok Parta tidaklah seburuk yang dipikirkan Ahmad. Ahmad terus menyimak percakapan kedua orang tersebut. Sementara Ilham, tengah tertegun melihat seorang gadis yang sedang menjemur pakaian di halaman rumahnya. Gadis yang sangat cantik, dengan tubuh tinggi semampai, berkulit putih, serta hidung mancung layaknya seorang model. Rambut panjangnya terkena kibasan angin, hingga terurai indah. Gadis itu kesusahan menyeka helaian rambutnya, saat jemarinya menyentuh rambut, pesonanya semakin memikat.

"Jika Pak Parta dianggap orang baik di desa ini, mengapa Kiai Sobirin menyuruhku menjaga Adiba? Bukankah dia bapaknya? Apa seorang bapak akan tega mencelakai anaknya sendiri?" Pikiran itu terus berputar-putar di kepala Ahmad.

"Cantik sekali ..." tak sengaja Ilham memuji kecantikan gadis itu dengan suara keras.

Ahmad yang mendengarnya, langsung melihat ke mana arah pandang Ilham. Ahmad segera memalingkan wajah. "Astaghfirullahaladzim. Ham! Ilham! Istighfar Ham!" Ahmad menepuk pundak Ilham dengan keras. Pemuda itu terlonjak kaget, kemudian memutar tubuh.

"Astaghfirullahaladzim," Ilham bergegas menundukkan pandangan. Beristighfar berulang kali.

"Jaga pandangan, Ham. Sesungguhnya tipu daya wanita itu dahsyat." Ahmad mencoba mengingatkan Ilham.

JALAN PULANGWhere stories live. Discover now