Bab 6

768 41 4
                                    

Setibanya di rumah Pak Parta, Ahmad dan Ilham disambut hangat oleh Pak Parta. Keduanya dipersilahkan masuk, dan dijamu dengan baik.

"Silahkan diminum Mas," Pak Parta menyodorkan dua gelas teh hangat kepada Ahmad dan Ilham. Keduanya segera meneguk jamuan tersebut.

"Ada perlu apa ya, Mas? Sepertinya penting sekali, pagi-pagi sudah ke rumah," tanya Pak Parta.

"Begini, Pak. Kedatangan saya ke sini, mengantar Ilham untuk berpamitan dengan Bapak. Hari ini, dia akan kembali ke Pesantren. Tapi, sebelumnya kami ingin menjenguk keadaan Mas Yudi terlebih dahulu. Sayangnya, kami tidak tahu di mana rumahnya," jawab Ahmad dengan wajah berseri, melihat Ilham yang tiba-tiba salah tingkah.

"Owalah, begitu to. Saya doakan supaya Mas Ilham selamat di perjalanan. Dan juga saya sangat berterima kasih kepada Mas Ilham, karena sudah mengantar Adiba sampai rumah dengan selamat." Ucap Pak Parta.

"Sama-sama, Pak. Saya juga mau mengucapkan banyak terima kasih sudah baik pada kami. Sa--

"Pak, Adiba izin ke rumah Indah sebentar. Ada yang ingin Adiba tanyakan padanya, boleh tidak?" Adiba muncul dari dalam, tiba-tiba menyela pembicaraan Pak Parta serta kedua pemuda tersebut.

"Lain kali, kalau ada orang sedang mengobrol, jangan menyela, Ba. Tidak baik." Tukas Pak Parta dengan nada tegas.

Adiba langsung menunduk. "Maaf, Pak. Adiba tidak tahu, kalau ada tamu,"

Pak Parta mengembus napas panjang. Kemudian berdiri menghampiri anak gadisnya. "Ya, sudah. Bapak izinkan kamu ke rumah Pak Heru. Tapi, jangan lama-lama. Tidak baik seorang gadis berkeliaran di luar rumah terlalu lama."

"Baik, Pak. Adiba pergi dulu, Assalamu'allaikum." Adiba meraih tangan Pak Parta, mencium punggung tangannya, kemudian berlalu pergi. Gadis itu hanya menganggukkan kepala saat melihat Ahmad dan Ilham yang sedari tadi tertegun dengan sikap Pak Parta dalam mendidik anak gadisnya. Dalam hidup, adab sopan santun memang harus diajari dari sedini mungkin. Agar terbentuk kepribadian yang baik dan bisa saling menghormati satu sama lain.

Di era zaman modern memang banyak anak muda yang sudah terbawa arus. Pergaulan diluar batas sering kali memicu perilaku kurang terpuji. Seperti berperilaku semena-mena menuruti hawa nafsu, tanpa memikirkan sebab akibat yang akan terjadi kemudian hari. Ambisi jiwa muda menjadikan sosok yang enggan dikritik.

Sebagai anak muda, Ahmad merasa beruntung bisa mengenal Pak Parta. Ahmad kagum dengan cara Pak Parta mendidik Adiba. Begitu juga dengan Ilham. Sedari tadi wajahnya menunjukkan ekpresi terpana, melihat sikap Pak Parta yang berwibawa. Ahmad teramat terlena akan kekagumannya sendiri. Hingga lupa, pada tujuannya datang ke desa Giung Agung.

"Wa'allaikumussalam. Maaf ya, Mas, terpotong tadi. Oh ya, kalau begitu kita ke rumah Yudi barengan saja, saya pun belum menjenguknya. Mari, kita berangkat sekarang," ajak Pak Parta. Ahmad dan Ilham langsung mengangguk setuju.

Ketiganya pun pergi bersama menuju rumah Yudi. Di sepanjang perjalanan, Pak Parta tak berhenti mengobrol dengan Ahmad dan Ilham. Pria itu seperti tak pernah kehabisan topik untuk berbincang-bincang. Ahmad masih menyimak dengan baik, sementara Ilham sudah mulai bosan.

"Masih lama ya, Pak." Keluh Ilham ketika merasa lelah saat Pak Parta mengajaknya berjalan kaki ke rumah Yudi. Pak Parta menyarankan untuk berjalan kaki, karena letak rumah Yudi berada di gang sempit. Yudi tinggal sendirian di rumah peninggalan sang kakek. Awalnya dia tinggal bersama orang tuanya di Pulau seberang. Namun, setelah kematian sang ibu, Yudi memutuskan untuk merantau ke kampung halaman sang kakek, di desa Giung Agung.

"Sebentar lagi sampai, Mas. Itu rumahnya ada di belakang pohon," balas Pak Parta sambil menunjukkan jalan setapak.

Ilham menghentikan langkah sejenak. Kedua matanya tak berkedip memandang dua pohon beringin kembar yang berjejeran layaknya sebuah pintu.

"Kenapa berhenti, Ham?" Tanya Ahmad.

"Tidak apa-apa, Mad. Kakiku keram," jawab Ilham mengelus lutut.

"Pak, boleh istirahat sebentar? Kaki Ilham keram," pinta Ahmad kepada Pak Parta.

"Boleh, Mas. Kalau keram, selonjoran saja kakinya," Pak Parta membantu Ilham untuk meluruskan kakinya yang keram.

Ilham hanya meringis pelan, ia merasa canggung karena telah berbohong. Kakinya sama sekali tidak keram, ia hanya ingin duduk di bawah pohon beringin kembar. Ilham mencoba mengatur pernapasan, sesekali ia mendongak ke atas, dilihatnya rerimbunan daun hijau yang tumbuh lebat. Akar-akar yang menggantung, bergerak seiring dengan hembusan angin.

"Teduh sekali di sini," lirih Ilham. Ahmad meliriknya, tanpa mengatakan sepatah kata pun.

"Bagaimana, Mas? Sudah enakan kakinya?" Tanya Pak Parta. Sedari tadi sibuk mengurut kaki Ilham.

"Sudah, Pak. Sepertinya saya memang harus istirahat, maklum tidak pernah jalan jauh," jawab Ilham.

"Ya sudah, Mas Ilham dan Mas Ahmad tunggu saja di sini. Saya mau ke warung dulu, saya lupa membeli buah tangan untuk Yudi. Saya tinggal sebentar ya, Mas." Ujar Pak Parta, kemudian pergi menyusuri kembali jalan beralas tanah dan batu yang mereka lewati sebelumnya.

Ucapan Pak Parta seakan menyentil batin kedua pemuda tersebut. Keduanya merasa tak enak hati, karena hal sekecil itu sama sekali tak terpikirkan oleh mereka.

"Jangan menatapku seperti itu, Mad. Aku pun lupa," ketus Ilham ketika Ahmad menatapnya begitu lama. Seakan mengerti arti tatapan tersebut.

Ahmad mengembus napas pelan, tak ada yang ingin diucapkannya. Ahmad hanya melihat sekeliling. Keadaan desa jauh lebih sepi. Tidak ada aktifitas warga yang terlihat. Rumah mereka tampak tertutup rapat.

Srek!

Srek!

Srek!

Terdengar suara langkah kaki.

"Ham, kamu dengar tak," ucap Ahmad sedikit berbisik.

Ilham mengernyit. "Dengar apa, Mad,"

Melihat ekspresi wajah Ilham yang penasaran, Ahmad segera tahu jika sahabatnya itu tak mendengar suara seperti yang didengarnya.

"Tidak apa-apa. Mungkin suara perutku yang keroncongan. Aku belum makan tadi," Ahmad berdalih supaya bisa merahasiakan apa yang ia dengar dari Ilham.

"Ow, aku kira kamu dengar sesuatu," desis Ilham.

Ahmad mengulas senyum manis, sambil menggaruk kepala.

"Maaf, menunggu lama. Saya sudah dapat buah tangannya. Mari, kita segera menjenguk Yudi." Pak Parta muncul dari belakang. Ahmad dan Ilham saling mengangguk, kemudian melanjutkan perjalanan menuju rumah Yudi.

Setapak demi setapak, jalan telah dilalui. Ahmad tiba-tiba merasa pusing. Kakinya terasa berat untuk melangkah. Sedetik kemudian, ia melihat bayangan Hawiyah sedang menangis di antara semak. Hawiyah dengan wajah pucat pasi, menatap sedih ke arahnya.

Dada Ahmad terasa sesak, udara di sekelilingnya kian berkurang. Matanya mulai berkunang, kepalanya semakin sakit. Ahmad tumbang, tak sadarkan diri setelah ia melihat Hawiyah menunjuk ke arah rumah Yudi dengan wajah geram.

KE MANA PUN KAMU PERGI, DI MANA PUN KAMU BERADA, AKAN KUCARI BAHKAN SAMPAI KE LIANG LAHAT SEKALI PUN, AHMAD!

"Astaghfirullahaladzim!" Seru Ahmad yang terbangun dari pingsan. Dahinya berkeringat, seluruh tubuhnya bergemetar. Napasnya tersengal-sengal. Ahmad mengedarkan pandangan, ia tak lagi berada di jalan setapak, melainkan berada di rumah Yudi.

"Kamu kenapa, Mad?" Tanya Ilham, dia begitu khawatir dengan keadaan sahabatnya yang akhir-akhir ini sering pingsan.

"Ini minum dulu, Mas." Yudi menawarkan segelas air putih untuk Ahmad. Kedua bola mata Ahmad membulat, ketika menyadari ada sosok lain di belakang Yudi. Sosok gadis kecil berambut panjang, dengan wajah pucat pasi tengah menangis sesegukan.

Ahmad terbawa suasana. Ia ikut menangis. Meratap pedih sambil terus terisak. Ilham, Yudi dan juga Pak Parta tampak bingung melihat perubahan pada diri Ahmad.

"Mad, kamu kenapa? Kalau ada masalah, cerita saja. Aku siap membantu," Ilham berusaha menenangkan hati Ahmad yang sedang kacau.

"Astaghfirullahaladzim ... maafkan hambamu ini ya Allah," rintih Ahmad penuh tangis.

Di sisi lain, ada seseorang yang sedang tersenyum lebar, merayakan kemenangan.

JALAN PULANGWhere stories live. Discover now