Pupus

3K 305 40
                                    


Pupus



***


"Aku tak mengerti apa yang kurasa;

rindu yang tak pernah begitu hebatnya."


Kamar dan bangku merah adalah sumber inspirasiku; dan lagu itu masih terngiang dalam otak besarku.

Aku tahu kali ini memang berbeda; aku tidak lagi menulis soal darah dan kebencian. Aku tidak membahas soal cara menguliti manusia dalam waktu kurang dari lima menit atau bagaimana cara menggenggam gendang telinga tanpa mengiris daunnya terlebih dahulu.

Aku bahkan menulis soal cinta.

Aku dan masa lalu, kami akrab dengan dendam dan kekejaman. Dendam dan kekejaman menjadi penggerak dan bagaimana aku bertahan hidup. Dendam menjadi obat sakit hati dan kejam menjadi tempat aku bersandar.

Tapi semua berbeda saat aku termakan sendiri oleh pembalasan dendam yang aku buat.

Peristiwa itu kira-kira terjadi dua tahun yang lalu. Hari di mana dendamku nyaris benar-benar terbalaskan seutuhnya, juga takdir yang seakan berpihak dengan menyemburkan bayaran atas kematian orangtuaku.

Hari itu adalah hari menjelang pernikahanku dengan anak dari lelaki tua setan yang telah merenggut jiwa orang-orang terkasihku. Lelaki tua setan itu adalah orang yang sama dengan lintah haus kuasa, yang tega menumbalkan banyak gelimpangan mayat untuk menonggakkan kekuasaannya.

Anak dari lelaki tua itu adalah kamu.

"Kamu ... jangan begini, harusnya." Aku masih ingat detail bagaimana kamu ketika mengucapkan kalimat itu. Tangan kamu gemetar, bukan takut dengan ucapanku, kamu juga hanyut dalam amarah yang meledak.

"Setiap masalah bisa dibicarakan. Kamu orang terpelajar. Kita bisa musyawarahin ini dengan kepala dingin."

Hari itu-dengan egoisme yang menganak lekat dalam relung hatiku, aku menjawab dengan sorot penuh kebencian. "Kepala dingin katamu? Pembunuhan tragis dengan cara apa yang bisa diselesaikan dengan kepala dingin? Lelaki set...."

Sialnya bibirku kaku, bahkan di keadaan seperti itu, aku masih kepikiran untuk menjaga ucapanku agar tidak membuatmu terluka. Aku baru menyadarinya sekarang. Bahkan selembut apa pun kalimat yang kupilih ketika tengah bertengkar hebat saat itu, aku tahu pada hakikatnya sejak awal, aku sudah menyakitimu terlalu jauh.

"Kamu tau dengan jelas, Rana. Kamu tau saya tulus ingin menikah dengan kamu. Saya nggak peduli sebesar apa dendam kamu, tapi nggak bisakah kita melupakannya saja sebentar? Gimana kalau kita pura-pura nggak terjadi apa-apa, lalu kita teruskan saja pernikahan ini, hidup bahagia bersama keturunan kita dengan rumah ramah lingkungan yang selalu kamu idamkan itu?

"Saya sudah menyiapkan semuanya untuk kamu, Rana. Saya sudah membangun rumah seperti yang kamu mau. Itu kejutan. Tapi kenapa kejutannya harus dirusak oleh momen seperti ini?" Matamu menyiratkan kelelahan, napasmu satu-satu nyaris hilang ditelan amarah. Aku tak bisa mengendalikan yang mana keinginanku dan yang mana kebutuhanku. Keinginanku adalah melenyapkan nyawa lelaki tua itu, tapi sialnya keburu mati karena komplikasi penyakit yang dia derita.

Aku tidak paham dengan keinginanku dan tidak menyadari bahwa kebutuhanku adalah kamu. Saat itu aku dikuasai oleh dendam sampai aku lupa bahwa yang aku perlu bukanlah pembalasan dendam, melainkan hidup bersama kamu. Aku terlalu haus darah sampai memasang bom bunuh diri. Sekarang aku hampa tak berbekas, lenyap menyatu dengan bara padam dalam gulita.

HypnagogicOnde as histórias ganham vida. Descobre agora