Kudeta

870 118 7
                                    


Kudeta



***



Aku merasa cukup yakin bahwa barangkali, otakku sudah tidak waras, mati, atau entahlah kata apa yang pas untuk mendeskripsikan keanehan ini.

Sejak dua hari lalu, tubuhku seperti sudah tidak mau lagi bekerja sama dengan otak. Entah otak yang sesungguhnya tidak bisa diajak kerja sama atau hatiku terlalu pandai menipu daya. Aku tidak bisa lagi menjalani hidupku dengan cara normal sebagaimana biasanya.

Baik, tidak perlu basa-basi lagi, biar kupertunjukkan padamu kegilaan macam apa yang telah kualami selama dua hari ini.

***

DUA anak kecil itu menampakkan diri lagi. Meski tak terpandang secara harfiah oleh kedua mata, mereka sungguhan hidup dalam dunia yang entah apa.

Barangkali, kalau kau penasaran dengan jenis kelaminnya, dua-duanya adalah anak laki-laki. Mereka mengenakan jaket biru, tampak letih dan saling bekerja sama untuk mengangkut sebungkus besar makanan dari relawan. Tidak ada sinar kebahagiaan yang biasa kau lihat pada raut wajah anak kecil pada umumnya. Kau bisa melihat betapa besar beban yang bertengger di bahunya yang sempit.

Ia tidak merasa letih dan merasa senang karena bisa membantu para orang dewasa yang tengah kerepotan mengevakuasi orang-orang mati. Matanya polos, pandangannya tulus dan seperti akan menumpahkan banyak tangis. Namun, pedih dan lagi-lagi teramat pilu, dengan segenap keteguhan dan kekuatan hatinya, ia hanya diam saja. Anggota tubuhnya tetap bergerak tanpa mau istirahat, ikut sibuk membantu mengangkut bantuan yang baru tiba.

Hatinya seakan berteriak dengan suaranya yang dipenuhi dekap nelangsa.

"Kami di sini kelaparan. Dia menghancurkan rumah kami. Dia membunuh ayah kami. Dia membunuh mainan-mainan kami. Saat malam, kami merasa kedinginan. Tidak ada Kakak yang memeluk lagi. Tidak ada Ibu yang mencium dahi lagi. Tidak ada Ayah yang menenangkan saat aku didatangi mimpi buruk. Orang itu seperti ada di mana-mana. Aku selalu takut bahwa dia akan membunuh aku juga. Aku selalu takut dia akan mendatangi keluargaku meski mereka tengah damai bersama Tuhanku. Aku ingin menangis, setiap hari aku selalu merasa cemas. Aku ingin menitikan air mata. Namun, setiap kali aku melihat sekelilingku dan kemudian mulai tersadar, aku menghentikan niatku.

"No mother no father to wipe away my tears. That's why I won't cry, I feel scared, but I won't show my fears. So, I keep my head high. Deep in my heart, I never have any doubt that tomorrow...." Dia mengusap air mata yang menetes di matanya. Ia tampak terkejut dengan aliran itu, namun dengan amat sigap, ia mencoba menghapusnya sampai tak berbekas apa-apa. Dia berusaha, tapi arus di aliran itu terlalu deras sampai dia tak bisa menghentikan pergerakannya. Dia terus berusaha, sampai akhirnya dia menyerah dengan upayanya sendiri.

"Tomorrow, we'll be free."




ROTI di tanganku terasa terlalu lezat ketika sampai di lidah. Seumur hidupku, aku tak pernah merasa senikmat ini ketika menyantap makanan. Bayangan itu masih terpatri di otak, setiap rintih lapar mereka yang dengan susah payah ditahan agar tak keluar keluhan dari mulut.

Berkali-kali, begitu banyak jeda menjaraki waktuku dalam menyantap roti itu. Setiap rasa yang kucicip seperti tersalurkan langsung kepada mereka yang tak pernah kutemui sama sekali.

HypnagogicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang