Kembang Tak Dianggap | 3

5.9K 660 69
                                    

Tak puas dengan jawaban pertama dan kedua, saya masih dirundung oleh rasa penasaran tingkat tinggi. Meski telah berkali-kali dibalas dengan jawaban tak memuaskan, saya tetap teguh kalau dua di antara jawaban yang dia lontarkan kepada saya, seluruhnya tak ada yang diutarakan dengan jujur dan sungguh-sungguh.

Saya tahu dibalik sifat ramah-tamahnya yang berlaku kepada siapa saja, dia merupakan tipikal orang yang memiliki kepribadian teramat tertutup. Setiap kali ada seseorang yang mendekat ke arahnya dalam artian 'mengorek' informasi pribadi, pasti tak akan bisa masuk ke wilayah teritorialnya yang seakan telah terjaga oleh angkatan militer bersenjata.

Siang itu, saya kembali mencoba untuk mengorek banyak informasi dari dirinya. Dengan berbekal singkong goreng dan susu coklat kocok yang telah dibeli dari kantin, saya kembali bertanya dan menghampiri dia yang tengah sibuk mengutak-atik selembar soal Fisika. Saya perhati alisnya berkerut dan ada butir-butir peluh yang menganak di permukaan dahinya. Saya dekati, saya hampiri ia yang tengah sendiri seperti hari biasanya.

"Nggak dimakan lagi bekalnya? Nanti keburu basi, loh."

Saya memulai dengan candaan krispi, tapi dia tak lantas tertawa karena sepertinya lelucon saya bukan lagi garing, melainkan telah kering. Saya menunggu dia bereaksi, setelah dua menit menunggu barulah ia menoleh merespon saya yang terdiam seperti patung.

"Kamu lagi melucu, ya?" Dia tersenyum sambil menunduk. "Suaramu nggak cocok untuk membanyol." Dia memberikan jeda pada ucapannya, seakan sibuk memilah kata yang paling tepat. "Lebih cocok kalau jadi pemimpin demonstrasi, pasti aksinya bakal sukses berat." Dan dia menggeleng, kembali lagi pada pangkuan soal-soal Fisika di atas meja.

Tanpa saya sadari, kening saya ikut berkerut seperti alis miliknya yang kini mulai bertaut. Dia menoleh ke arah saya seakan sadar akan perubahan ekspresi saya yang menggelap secara tiba-tiba. Ia tak lagi memandang soal-soal, matanya memerhatikan saya yang ternyata masih memberengut tak terima. Saya lihat ia gelisah, dan ...

"Yah, yah, Min. Jangan marah, dong." Dia memohon dengan takut-takut. "Becanda doang, kok. Jangan dibawa serius, gitu dong." Dia memohon dengan hentakan-hentakan nada yang naik-turun secara teratur. Bahkan saat dalam percakapan biasa pun, dia masih mengatur intonasi suara dengan teramat baik. Sekali lagi saya salah mengira bahwa itu hanya dia lakukan ketika tengah melakukan presentasi di depan kelas. Sepertinya ada banyak sekali hal yang tidak saya ketahui dari perempuan satu ini. Penggemar macam apa saya ini?

"Seperti sebuah atom penyusun molekul, di setiap bagiannya akan ada proton yang dikelilingi oleh elektron-elektron negatif. Meski sebaik atau sehebat apapun seseorang, pasti akan ada saja pihak yang tidak setuju dengan apa yang dilakukannya. Itulah yang dinamakan hidup, Ra.

"Kamu nggak perlu takut. Hanya lakukan apa yang ingin kamu lakukan, selama itu memang bermanfaat bagi orang lain. Jangan hiraukan mereka yang membicarakanmu di belakang, padahal mereka sama sekali nggak mengetahui apapun selain kebencian yang mendalam. Jangan pernah bersedih lagi karena sesuatu yang sama sekali nggak bermanfaat, Hara. Kamu orang yang kuat, kamu orang hebat. Jangan rusak kehebatanmu karena sesuatu yang sama sekali nggak berguna."

Saya tatap matanya yang mengilap, terlihat berkilau bak lelehan prastika yang menggenang di pelupuk mata. Saya telisik ekspresinya yang nyaris roboh selayak pohon tak miliki akar, pandangannya seakan mengabur bersamaan dengan kebahagiaannya yang gugur. Ia tersenyum mengarah pada saya yang mendadak kaku karena genang air matanya yang kemudian luruh menelusuri wajah. Bibirnya bergerak-gerak, melontarkan satu jawaban yang tak pernah saya kira.

"Kamu orang baik, Pramoedya Anarkie."

Satu ulas senyum terlukis lagi di atas kanvas wajahnya, menjadi satu saksi bisu bahwa tetes air yang luruh dari matanya tak lagi jadi bukti akan kesengsaraannya yang berada dalam kepedihan.

HypnagogicWhere stories live. Discover now