Kembang Tak Dianggap | 2

6.6K 697 53
                                    

Saya tak pernah bertemu dengan perempuan segesit dia. Jangan salah paham mengartikan bahwa kisah ini adalah cerita cinta remaja lelaki SMA-tolong, Hadirin, meski usia saya baru seumur jagung, tapi pemikiran saya tidak sekanak-kanak itu.

Pertama kali masuk di kelas ini, saya sempat terkagum dengan semangat dan kemampuannya dalam mengatasi waktu-waktu belajar di sekolah. Selama dua belas tahun bersekolah, baru kali ini saya lihat ada siswi SMA dengan semangat tinggi dan kerajinan yang meluap seperti dia. Setiap ada selang waktu sedikit saja, pasti selalu diisinya dengan mengerjakan kumpulan soal ujian nasional atau tes uji masuk perguruan tinggi.

Seperti proton yang dikelilingi elektron dalam sebuah atom, ada pemikiran negatif di antara sisi positif yang terjadi dalam sebuah kehidupan. Tidak semua dari orang di kelas ini benar-benar menyukainya selayak saya mengagumi usaha dan semangatnya. Saya tak pernah memikirkan apa alasannya, yang terlintas di benak saya hanyalah, rasa irilah yang menggelapkan mata orang-orang hingga begitu saja melupakan seluruh kebaikan-kebaikan kecil yang perempuan itu bagikan pada orang-orang di sekelilingnya.

Saya mengenalnya dengan nama Hara, namun orang-orang mengetahuinya dengan keakraban nama ... Maharani Prameswari.

"Kembang kembang apa yang paling wangi?"

"Kembang opo, tho?"

"Kembang Kai Maharani aduhai Prameswari."

Saya menelisik perempuan itu dengan fokus yang diatur penuh. Seperti biasa, dia menenggelamkan wajah dengan gaya duduk punggung yang agak membungkuk. Rambut hitamnya yang tegerai panjang menutupi sebagian belakang tubuh bergoyang-goyang tertiup angin. Seakan menguak segala misteri ketidakberdayaan yang dia sembunyikan di balik semangat-semangat yang dia tunjukkan, wajahnya yang pucat tak bertenaga terlihat kontras dengan rambut hitamnya yang mengilau tertimpa sinar mentari.

Saya memerhatikan dia, perlahan bibir merah pucatnya yang seakan tak teraliri darah segar itu tertarik membentuk satu ulas senyum tipis. Saya tahu itu bukanlah senyum tulus yang biasanya dia tunjukkan, tapi saya tetap tak berbuat apa-apa. Saya memerhatikan dia yang hanya diam dijadikan bahan lelucon para manusia tak bertanggungjawab. Setelah lama mata saya melelah terfokus pada objek yang sama, barulah ia bangkit, lalu melesatkan tubuh dan menghilang ditelan daun pintu yang menutup tertiup angin.

Dalam hati, saya bertanya. Apakah benar bahwa dirinya sungguh sekuat itu?

Tapi lagi-lagi, saya hanya diam saja. Saya jadi merasa bersalah. Apakah saya sama jahatnya dengan manusia lain yang memperolok-oloknya?

***

Akhir-akhir ini saya perhatikan, perempuan itu tak begitu sering menunjukkan semangat belajarnya yang selalu berkobar selayak pejuang tahun empat lima. Dia lebih sering murung, jarang tertawa dan bibirnya selalu pucat selayak mawar layu yang tertimbun lama di dalam rendaman salju-salju cair. Suatu kali saya bertanya kepadanya, adakah gerangan masalah telah menimpa dirinya, namun kali itu dia hanya menjawab.

"Masa, sih, gitu? Setahuku vampirnya belum nggigit aku, deh malam itu."

Saya tahu perempuan itu memiliki selera humor yang agak aneh. Di saat yang lain tertawa, dia justru kebingungan tak menangkap bagian lucu mana yang ditertawakan orang-orang. Hari itu saya hanya tersenyum saat mendengar lelucon anehnya yang sama sekali tak lucu di telinga saya. Dan karena mengingat satu hal kecil itu, justru malah membuat saya jadi semakin menguatkan teguh agar tidak mengulang lagi cerita yang sama.

"Nggak istirahat bareng yang lain?" Saya memulai percakapan ketika dia kembali menenggelamkan kepalanya ke atas meja. Dia terkejut mendengar suara saya di sisinya, terlebih ketika melihat tubuh saya yang tiba-tiba menubrukkan diri di atas kursi yang tergeletak kosong di sebelahnya. Saya mendesis prihatin, bahkan teman sebangkunya pun begitu acuh tak acuh kepadanya. Saya dibikin jadi makin heran. Sebenarnya ada apa dengan manusia-manusia di ruang kelas ini?

"Aku bawa bekel, tapi belum lapar jadi nggak dimakan."

Saya menelisik ekspresinya, semangat itu seakan naik lagi lewat matanya. Dia selalu terlihat bahagia kerap kali ada yang mengajaknya bicara, tapi sayangnya begitu sedikit orang-orang yang mau mengajaknya untuk memulai percakapan. Saya mengangguk untuk menjawab pernyataan perempuan itu sekaligus pertanyaan saya sendiri. Perempuan itu ikut menegakkan punggung ketika saya membetulkan posisi duduk.

Dia sangat mudah terkena sugesti.

"Kamu nggak ikut ekskul, ya? Aku jarang lihat kamu nimbrung di himpunan-himpunan, gitu." Saya bertanya lagi, dan sepertinya itu membuat semangatnya jadi semakin terpercik lagi. Saya tahu dia tipikal perempuan yang suka banyak berbicara. Tapi mengapa akhir-akhir ini dia jadi sangat pendiam?

"Tadinya ikut, tapi Mami bilang lebih baik aku nggak perlu ikut kegiatan lain-lain lagi. Katanya, aku harus fokus sama sekolah aja. Lagipula sebentar lagi, ujian nasional bakal tiba, kan?"

Saya mengangguk lagi, tiba-tiba saja ingin menyela ketika ia menyangkutpautkan ini pada perintah fokus kepada sekolah. Bukankah akhir-akhir ini, fokusnya tak lagi terpancang pada urusan mengenai sekolah? Sebagai seorang pengagum sifat rajin dan semangatnya, boleh jujur saya tak suka dengan keanggunan barunya yang malah membuatnya jadi terlihat seperti gadis dungu. Saya berdeham mengatur sistem pernapasan. Nyaris saya saya melontarkan hal yang sama sekali buruk.

"Ada apa nyamperin aku? Apa ada tugas kelompok yang perlu aku kerjain?"

Saya dan perempuan itu berada dalam satu kelompok belajar yang sama. Kami membuatnya atas dasar manusiawi dengan menganut prinsip bahwa satu kelas berarti juga satu tubuh. Kalau ada satu sistem yang terasa sakit, maka yang lainnya juga akan merasakan hal yang sama dan apabila ada satu yang tidak mengerti, maka yang mengerti harus saling mengajarkan.

Hara mengerjakan tugas itu, mengajar dengan telaten, berbagi ilmu apabila ia mengerti suatu materi. Hal ini justru membuat saya jadi berpikir. Mengapa orang lain tak pernah memedulikan rasa sakitnya? Di mana keadilan sesungguhnya berada? Beginikah kehidupan sekarang berjalan?

"Emangnya kalau seorang Minke nyamperin orang, berarti ada maunya, ya?"

Dia tertawa. "Bukan begitu." Dia menghela napas, senyumnya mengembang lebar sekali. "Bukan kamu yang kumaksud." Dia memberikan jeda lagi, lalu jarinya mulai menari-nari di atas keyboard laptop di atas meja. "Yah, kalau kamu tau maksudku, nggak ada yang mau terlalu dekat denganku kalau lagi nggak ada sesuatu yang perlu dibicarakan."

Seharusnya saya prihatin, tapi bibir saya malah mengulas senyum tipis. Saya baru menyadari bawa kosakatanya yang baku tidak hanya dia gunakan saat tengah melakukan presentasi di depan murid lain. Sekilas, kelihatannya seperti saya tengah mengejek ia yang tengah berkeluh kesah, tapi dia sama sekali tidak memperdebatkannya.

"Akhir-akhir ini, kamu kelihatan pucet ... sakit?" Saya bertanya dengan hati-hati, dan jemarinya yang menari pada keyboard laptop putih di atas meja perlahan berhenti dalam aksinya. "Jangan bilang soal vampir lagi. Aku nanya serius, loh."

Saya menunggu perempuan itu menjawab pertanyaan, tapi tak lantas disahutinya dengan segera. Saya semakin meyakini bahwa ada sesuatu yang disembunyikannya ... dan itu tak urung membuat saya menyerah dengan segala keingintahuan yang ada.

"Begitu, ya?" Ya, dia menjawab dengan balasan yang sama. "Aku cuma kurang tidur, kok. Akhir-akhir ini, 'kan, tugas presentasi makin meledak. Aku jadi makin sering tidur larut malam."

Saya pura-pura mengangguk, meski terlihat agak skeptis. Menunggunya menjawab pertanyaan, seakan waktu mendadak berhenti dan seluruh aktivitas ikut stagnan. Saya memerhatikan jemarinya yang menari lagi di atas keyboard dengan layar Ms. Word yang terpampang terang-terangan di layar laptop.

Satu hal baru yang saya ketahui dari seorang Maharani Prameswari.

Dia juga seorang literator handal. []

HypnagogicWhere stories live. Discover now