Jatuh Cinta

3.4K 315 71
                                    



Jatuh Cinta



***


Aku tahu pasti mukaku sudah semerah bokong ayam.

Biarpun tidak berbicara apa-apa, tapi berdiri seperti ini di sebelahnya, dalam jarak sejauh dua meter tanpa mengatakan apa-apa, aku jadi mati kutu tak bergerak. Bahkan meski hanya sekadar berdiri tanpa berkata-kata sama sekali, aku sudah nyaris mengompol dan sudah seperti bermandikan seember keringat. Aku sendiri heran, kenapa mau-maunya coba-coba pacaran padahal aku sendiri tak mengerti sebenarnya pacaran itu akan seperti apa.

Aku sekarang tahu, kenapa ada pepatah yang mengatakan bahwa, "Rasa penasaran terkadang bisa membunuhmu." Aku tahu pepatah itu, tapi aku terlambat ingat karena baru mengingatnya sekarang, bukan ketika aku dilema harus menerima cowok ini untuk mengatasi rasa penasaranku soal, gimana sih rasanya punya pacar?

"Arum," panggilnya tiba-tiba, yang akhirnya bersuara setelah nyaris lima belas menit kami berdiri bersebelahan. Bila saja ada personel Jamrud berdiri di antara kami, melihat kami yang saling mematung seperti manekin di toko baju batik couple, mungkin mereka sudah bernyanyi dengan penuh rasa kasihan khusus untuk baris, "Lima belas menit, kita disini ... tanpa suara...."

Iya, iya. Aku tahu kok kalau itu tidak akan mungkin terjadi. Apalagi tadi aku salah lirik.

"Gua mau minta maaf, ya," Arsyad berucap hati-hati. Salah seorang teman Arsyad yang berbadan gempal dan yang satunya lagi, kurus kering seperti padi gagal panen, mengawasi kami dari balik pintu. Sekarang aku tahu kenapa cowok ini tiba-tiba saja menghampiriku dan berkata bahwa dia ingin berbicara sesuatu. Sebenarnya, bukan Arsyad juga yang berkata begitu-itu adalah ulah Afrizal dan Hendri yang bukan hanya menyampaikan pesan tapi juga mendorong-dorong Arsyad agar mendekatiku secara langsung.

Apa kalau pacaran, kita akan selalu malu untuk berbicara langsung?

Aku tidak tahu apa aku sedang malu setengah mati, atau mau menangis karena mukaku kacau ketika pacarku akhirnya mau berbicara kepadaku secara langsung setelah dua minggu kami berpacaran. Aku tidak bisa menjabarkan perasaanku. Yang jelas rasanya, aku mau meneguk Baigon isi ulang dan mati suri agar tak perlu melewati kondisi seperti ini.

Kenapa juga Arsyad harus menghampiriku, sih?

Apalagi, sekarang hujan sedang turun dan lapangan yang basah seakan ikut bersorak bahwa akhirnya, Arum bisa berbincang dengan pacarnya. Tapi, 'kan, itu tetap tidak adil karena aku belum ada persiapan sama sekali.

"Hape gua rusak, terus ya ... akh, gitulah. Sorry gua nggak bisa bales SMS lu. Gua nggak bermaksud nyuekin juga, kok."

Aku mereguk ludah. Sial! Pasti Tari sudah menceritakan curhatanku dua hari lalu ketika menangis-nangis di rumahnya sambil membanting ponsel. Pipiku pasti lebih merah dari bokong ayam. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi.

Hujan masih turun, gerimis mungkin lebih patut disebut sebagai peran utama. Pohon palem yang tingginya sudah mencapai lantai dua sekolah, seakan menatapku geli. Aku bahkan berpikir seakan semua benda di semesta ini tengah memerhatikan aku dan Arsyad yang tengah berduaan di balkon depan ruang kelas.

Ini drama banget, ya ampun.

"Lo...." Aku kesulitan untuk mencari kata-kata yang tepat. "Sebenernya, lo masih suka nggak sih sama Sinar? Kok sering berduaan gitu. Katanya udah mantan." Aku tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya dengan nada ketus. Aku bahkan yakin kalau bibirku sudah lebih maju setengah senti dari ukuran biasanya, meski aku merasa ragu kalau aku sengaja melakukannya. Arsyad tampak berpikir sambil memandang lapangan basket yang tergenang hujan. Aku mulai gelisah.

HypnagogicWhere stories live. Discover now