Dimensi Tanpa Suara

940 119 18
                                    


Dimensi Tanpa Suara



***


Di antara pohon-pohon yang berdiri kukuh, aku tahu sejatinya hatimu rapuh.

Aku selalu percaya bahwa ada bahasa selain kata untuk menjabarkan rasa. Mata adalah wadah yang menyimpan genangan kata. Segala sesuatu yang tak tersampaikan dengan wicara, namun tak sanggup lagi untuk ditampung oleh benak, perlahan-lahan akan meluap melalui binaran mata.

Kamu adalah bagian dari suatu zona benteng kukuh yang melindungi bangunan dari kaca. Dari luar, eksistensimu seakan menjelaskan bahwa kamu adalah maha perkasa. Kata-kata dan keyakinanmu seumpama benteng yang mengelabui pejalan kaki dalam ketersesatan penilaian yang bias. Kamu tak membiarkan mereka hadir untuk mengusap bahumu dan memberikan dukungan moral yang selalu kamu anggap sebagai bayang-bayang fana.

"Jangan berdiri di belakangku.

Kar'na ku bukan pemimpin yang baik."

Hari ini, entah mengapa aku merasa bahwa kamu tidak lagi begitu. Cara kamu memandang dia adalah definisi bahwa idealisme tak selalu berhasil merenggut ego orang-orang keras kepala. Aku tidak selalu berharap bahwa cara pandang seperti itu akan aku temukan di mata yang sama ketika mengarah kepadaku. Tapi, melihatmu pada akhirnya berhasil menemukan objek yang paling pas untuk kaujadikan sandaran, entah mengapa hatiku menghangat. Kamu seumpama secangkir coklat panas yang menjadi teman bermain ketika langit merengek.

Kemudian, kamu menarik napas dengan begitu dalam. Kamu memejamkan mata seakan terbawa bersama angin dan cicitan burung. Kamera yang tergantung di lehermu tak membuatmu bereaksi untuk melakukan sesi penangkapan memori. Kamu berelaksasi seakan tengah melakukan sesi pelatihan yoga dalam ruang yang hanya diisi dirimu dengan alam.

Tanpa sadar, bibirku tersenyum begitu saja tanpa aba-aba. Aku selalu mengingat betapa kamu begitu menggilai memori dan hujan. Kamu selalu berambisi untuk menangkap segala kenangan lewat potret kamera karena memang begitulah kamu. Aku selalu mengingat betapa kamu begitu menikmati hujan meski tinggal di sebuah kota sesak yang jarang dijatuhi tangis langit.

"Hati-hati, memang agak licin. Makanya tadi aku nggak saranin kamu pake sepatu yang tadi."

Kamu menangkap tangan orang itu. Aku bisa melihat segaris senyum tipis yang ditahan untuk ditampakkan di wajah orang yang tengah di sisimu. Aku merasa heran. Mengapa dia harus menyembunyikan kebahagiaan yang timbul karenamu ketika dia tengah bersama orang yang menjadi alasan dari kebahagiaan itu?

Ha-ha-ha. Lucu sekali. Aku tidak mampu menahan tawaku. Aku tidak paham apakah tawa ini adalah milik lelucon yang dibuat oleh gadismu atau hanya karena bentuk simpati yang diberikan untuk diriku sendiri.

Hati kecilku bertanya-tanya. Bukankah dulu, aku juga seperti itu? Bukankah itu yang hampir selalu aku lakukan ketika tengah bersama denganmu dahulu?

Menyembunyikan kebahagiaan yang membuncah ketika kamu memberikan sebait perhatian, menyembunyikan kesedihanku ketika perlahan-lahan waktu mulai menyisipkan spasi di antara kita, menyembunyikan perasaanku hingga detik-detik terakhir dari hidupku sampai akhirnya aku pergi dan membuat kita hidup dalam dimensi yang terpisah?

Di sebuah tempat luas yang ditanami pohon besar dengan tinggi menembus langit, kamu telah tiba di tempat yang kamu tuju. Senyummu mekar sambil dengan sengaja memamerkannya pada gadis di sebelahmu. Seakan belum cukup dengan semua itu, kamu menggenggam tangannya dan mengelusnya dengan ibu jarimu.

Kamu memang selalu tak banyak bicara dengan kata karena memang begitulah kamu. Hanya saja, meskipun begitu, aku ingin membagimu satu kotak penuh berisikan puisi, kebahagiaan, dan duka yang kusimpan kepadamu. Aku ingin membuatmu setidaknya memahami bahwa aku—yang kauminta untuk melewati hari-hari di sampingmu sebagai kawan—akan senantiasa hidup bersama memori-memori yang kautangkap di masa lalu.

Meski tidak ada lagi kata. Meski tidak lagi dengan suara.

"Tiap pagi menjelang, kau di sampingku.

Ku aman ada bersamamu."

[]

HypnagogicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang