Terkungkung Angan

1.9K 180 28
                                    


Malam semakin memeluk pekat. Dan langit tak memberikan tanda bahwa hujan akan reda.

Mataku tak jua penat memandang ke luar jendela. Tidak tahu sudah pukul berapa sekarang, kami bahkan sudah terbiasa hidup tanpa perlu menghargai waktu dengan angka.

Tenang, jangan salah paham dulu. Terbiasa hidup tanpa mengetahui waktu dalam bentuk angka, tak berarti membuat kami jadi menyia-nyiakan hidup. Kami memang hanya sekelompok orang desa dengan pendidikan terbelakang dibanding kondisi serbamaju yang kini ada di kota. Jangankan listrik, jam saja tidak ada. Desa kami bukan tipe desa miskin yang masyarakatnya serba kekurangan. Meski jauh tertinggal dalam hal teknologi, tapi hidup kami makmur dengan kebutuhan yang serba berkecukupan.

Kami sudah terbiasa bermalam dengan bertemankan nyamuk dan suara jangkrik. Kadang-kadang kalau hujan turun, dari atap rumah kami akan ikut menurunkan tangis dari langit. Meskipun begitu, kami tidak pernah repot-repot untuk mengeluh dan berisik soal lantai yang licin-karena kami tinggal di rumah yang beralaskan tanah biasa. Selain itu, kami juga tinggal di atas balai bambu, sehingga bilamana banjir semata kaki sekalipun, kami masih tetap bisa tidur meski cukup terganggu dengan temperatur di sekeliling yang menjadi dingin.

Omong-omong soal banjir, di desa kami, jarang sekali bencana itu melanda. Dengar-dengar dari gosip para tetangga, katanya di kota sering sekali banjir mampir. Aku tidak tahu bagaimana mereka bisa mengetahui semua itu, barangkali ini adalah pengaduan dari para supir yang biasa menyalurkan hasil panen ke daerah perkotaan. Pengaduan itu lantas ditujukan kepada para istri mereka. Sang istri meneruskan berita itu kepada para tetangga, saling bergosip saat tengah membajak sawah, lalu berita itu menyebar begitu saja seperti kapuk jatuh dari atas pohon yang tertiup angin.

Sekali lagi kukatakan, desa kami cukup makmur dengan kecukupan materi yang dilimpahkan Tuhan kepada kami.

Omong-omong, untuk mempermudah menyampaikan maksud cerita, izinkan aku untuk menerjemahkan setiap dialog menjadi bahasa Indonesia saja. Aku tahu tidak semua orang dari kalian yang mengerti bahasa daerah. Apalagi, desa kami agak terpencil, tidak begitu dikenal, dan barangkali, hanya ada dalam pemikiran si pembuat cerita.

Dan meski dalam cerita ini menggunakan sudut pandang berupa aku dan kami, tak berarti bahwa cerita ini ditulis dari penduduk asli desa ini.

Jadi, daripada sibuk mencela kualitas cerita atau penyampaian dalam gaya bahasanya, lebih baik engkau menyimak, duduk manis, dan memerhatikan setiap nilai moral yang bisa dipetik dalam semua peristiwa.

"Amba, kau harus berhenti menanti kalau tak mau cepat mati." Aku tersentak begitu suara itu menyusup tanpa malu ke dalam telingaku. Kepalaku tertoleh setelah lama sekali hanya menghadap ke jendela. Aku menatap Odi, barangkali dia lapar, makanya jadi cerewet begitu.

Aku mengelus badan Odi, bulunya yang keriting dan baunya yang menyengat tak serta membuatku jijik dan terganggu. "Ayah belum jua datang. Padahal malam telah menggantikan petang," kataku, sambil mengembuskan napas dan merenung. Barangkali Odi tidak akan bisa mengerti, tapi saat ini, hanya dialah satu-satunya orang yang bisa kuajak berbicara.

"Ayahmu tidak akan datang, Amba."

Lagi. Lagi, aku termenung. Aku memberikan rumput yang teronggok di pojok dinding agar bisa dimakan oleh Odi. Suaranya sangat nyaring malam ini. Aku takut para tetangga jadi terganggu karena suaranya yang besar.

"Odi, makanlah banyak-banyak. Besok Ayah pasti sudah datang. Besok, Ayah pasti akan membawa banyak makanan. Kautahu, kan, Odi? Bahwa Ayah tengah dalam perantauan?"

Sekarang, Odi sedang sibuk mengunyah makanannya. Benar perkiraanku, Odi sedang lapar makanya ia jadi banyak berbicara. Aku memang satu-satunya orang yang paling mengerti Odi, tapi aku sering bersedih hati karena tak seorang pun bisa mengerti keadaanku.

HypnagogicWhere stories live. Discover now