Kembang Tak Dianggap | 4

4.9K 655 96
                                    

Saya tak pernah melihat raut wajah yang sebahagia itu. Saya tahu sejak awal, kalau perempuan itu bisa mendapatkan apa yang dia inginkan tanpa mendapatkan doa dari saya sekalipun.

Hari itu, saya ikut hadir menjadi satu dari sekian penonton yang hendak mendengar lantunan-lantunan kata berirama sama dengan alunan indah dan intonasi luar biasa. Mulanya, saya sangsi untuk hadir karena saya pikir, rasanya tentu akan berlangsung sangat canggung.

Terbangun di pagi buta dan merasa ragu untuk datang membuat ide tidur kembali jadi menggerayang di kepala saya. Membayangkan perempuan itu berdiri di atas panggung untuk membacakan puisi yang diciptanya dengan susah payah, ternyata membuat bayangan tidur kembali di pagi hari jadi tak senikmat yang saya imajinasikan sebelumnya.

Dengan berbekal sebungkus pisang goreng hangat yang saya dapatkan dari penjaja makanan di pinggir jalan, cukup menjadi teman yang nyaman untuk melewati kesendirian yang saya hadapi selama menonton perlombaan ini. Pada saat tiba waktunya perempuan itu hadir di atas panggung, gerak kedua rahang saya yang saling beradu mengunyah makanan jadi stagnan karena penampilan luar biasa dari pembawaan puisi bertemakan tentang sastra ciptaan indah perempuan itu.

"Nusantara kaya budaya ... Nusantara mahligai sastra. Dari kerajaan turunan surga ... Namun kini jadi neraka"

"Rakyatnya bangga dalam berbahasa ... Bukan sansekerta apalagi jawa. Inggris Perancis dipuja-puja ... Tetapi sastra dilepas saja.

"Lahirku kini pribumi biasa ... Tapi hatiku penuh rasa bangga. Meski korupsi di mana-mana ... Nusantara tetap kucinta."

"Wahai, engkau generasi muda ... Juga pula generasi tua. Saling merangkul lukiskan asa ... Mari kita cintai sastra."

"Aku percaya engkaupun bisa ... Bangkitkan sastra yang dulu dipuja. Hidupkan literasi milik Nusantara ... Kapan lagi kita wujudkannya?"

"Bagaimana bisa mencinta ... Kalau hati masih ditutup saja. Gerakkan tangan goreskan pena ... Marilah kita mulukkan sastra."

"Tak mesti buat kabaret mewah ... Tak jua pula angkat senjata. Cukup kautulis keluh dan kesah ... Sastra bangkit, Indonesia jaya."

Semua tangan bertepuk memberikan apresiasi saambil berdiri. Tidak diherankan apabila puisi dengan kosakata sebagus itu, dapat dijadikan pilihan terbaik dari para juri untuk menjadi juara pertama lomba cipta puisi Asosiasi Sastrawan-Sastrawati Nusantara.

Saya melihat perempuan itu tersenyum ke arah saya dengan pandangan yang agak berkaca. Terlampau bahagia dengan anugerah yang didapatinya, membuatnya jadi tak kuasa mengukuhkan pertahanan luar biasa.

"Aku tahu sejak awal, tanpa perlu meminta doa dari aku pun, kamu pasti bisa menang," ucap saya di hari itu ketika kami bertemu selepas pembagian trofi. Dia memandang saya yang berkata dengan dramatis dan tertawa setelah menelisik air muka saya.

"Habis ini aku mau balik ke sekolah. Ada urusan dadakan. Kamu mau ikut?"

Karena tak mengetahui peristiwa apa yang akan terjadi selanjutnya, maka saya putuskan untuk menggeleng dengan cepat. Hari itu hari Minggu, dan saya tak mau kelewatan program TV kesukaan saya yang hanya tampil di hari itu.

"Yaudah, aku duluan, ya." Dia pamit, lantas menghilang ditelan tikungan jalan. Dari kejauhan saya hanya memandangnya yang tak berbalik di tengah-tengah upaya dalam melangkah dengan cepat. Dari satu di antara berjuta kemungkinan yang ada, hari itu saya hanya kembali ke rumah tanpa berpikir kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi meski sehebat apapun saya mengira.

Hari itu, saya benar-benar tak berisyarat untuk menerawang, bahwa di hari saat matahari bersinar terang ditemani embusan angin petang itu, menjadi hari terakhir saya untuk dapat berbincang dengannya di dunia ini.

HypnagogicWhere stories live. Discover now