Keping Rasa

2.6K 222 27
                                    


Keping Rasa



***


Belakangan, aku merasa seperti orang bodoh.

Jujur saja, jika ingin menjabarkan satu per satu setiap alasan yang ada, terlalu banyak temuan untuk mengerti akar-akar kerumitannya. Masalahnya di sini bukan pada dia yang memancing sehingga aku jadi dibuat segila ini-aku tahu dengan jelas kalau masalahnya terletak pada diriku sendiri.

Omong-omong sebelumnya, kamu pernah tahu rasanya jadi tempat curhatan teman-teman terdekatmu?

Oke, coret saja kata dekat, kamu sendiri tentu tahu bahwa hubungan antara kita tidak sedekat itu-kamu bahkan belum tahu siapa namaku, apalagi aku hanya menulis tulisan acak tak bernama yang tak tahu ditujukan untuk siapa.

Bagi kamu yang pernah membaca antologi cerpen buah pena penulis kondang, Dee Lestari, dengan judul Rectoverso-nya, aku ingin menceritakan kisah cintaku dengan analogi yang nyaris mirip.

Kita mulai dari kata punggung dan dada.

Aku jatuh cinta pada bulan Oktober. Hari ketujuhbelas di musim hujan. Dua puluh menit setelah jam pelajaran Fisika.

Omong-omong, mari kita ubah sasaran sebutan kamu ini ke orang lain. Bukan ditujukan kepada pembaca, apalagi orang yang entah siapa.

Kamu yang kumaksud hanya terbidik untuk satu sasaran. Satu objek yang akan jadi topik utama dalam tulisan tidak berguna ini.

Aku teringat dahulu, pernah ada seseorang yang membuatku jatuh cinta hanya karena melihat punggung yang selalu kulihat dari tempat duduk di barisan belakang. Aku sudah memerhatikannya sejak pertama kali masuk kelas dua belas, meski baru menyadari rasa itu ketika suatu hari, saat aku tengah memerhatikan kamu dengan dirimu yang berbeda.

Kendati kebanyakan kisah jatuh cinta disebabkan oleh mata yang bersua, cintaku cukup dihadirkan dengan menatap punggung yang selalu agak membungkuk. Cheesy dan menggelikan, tapi biarlah aku mengenang kisah yang kutulis dalam laman kosong ini.

Aku terpesona bahkan hanya dengan mendengar suaranya saat tengah presentasi di depan kelas. Sesuatu yang jarang dirasa ketika terjebak zona merah jambu di masa putih abu-abu.

Lalu ada suatu waktu di mana segala kekaguman itu mulai berganti arah jadi rasa yang semakin abstrak. Rasa di mana aku mulai takut kehilangan meski aku tahu bahwa kamu bahkan selalu duduk tepat di depan aku bertempat.

Kamu selalu dekat dalam jarak meski selalu terasa seperti bermil-mil kita berpisah.

Hari itu, kamu tampak amat sumringah. Tidak seperti biasanya saat aku melihat wajah kusutmu karena soal-soal yang terlalu rumit dikerjakan. Kamu hanya tersenyum, bersenandung, sambil memainkan sebuah game aneh di ponselmu yang kecil.

"Kenapa ya kita nggak bisa pake penghapus sampe habis?" tiba-tiba kamu bertanya, sedang aku tak memiliki amunisi untuk membalas. Ponselmu sudah tergeletak di atas meja. Dan tatapmu tampak menerawang seperti menerka sesuatu.

Karena tak ada jawaban yang cukup bagus untuk kuberi, saat itu aku hanya menyahut dengan kalimat yang tak menjawab sama sekali. "Enggak tau. Lagian memang mungkin? Kamu yakin kalau penghapus bisa dipake sampe habis?" Aku malah bertanya berurutan. Membuat kamu jadi semakin pusing.

Kamu diam lagi, seperti biasanya kalau kita mulai berbincang basa-basi. Tapi anehnya hari itu, kamu malah kembali bersuara. Tak seperti biasanya yang selalu kembali bisu kalau percakapan kita sudah saling bergilir satu-dua kali.

HypnagogicWhere stories live. Discover now