Rinai Hujan

5.7K 457 71
                                    

R i n a i

H u j a n



-||-


Awan hitam tak lagi menutup celah-celah langit, tempat sinar mentari biasa menyusup di pagi hari. Angin sejuk yang biasa buat orang-orang memaksa lengan untuk memeluk diri, tak juga hadir sapakan tiap-tiap makhluk di pagi hari.

Dia melaju sambil menyatukan untaian rambut yang terjatuh menyentuh bahu dengan sepita putih dilengkapi kiwir warna senada. Bahunya naik turun seirama dengan kayuh kaki yang menekan pedal di bagian bawah sepeda. Titik peluh sibuk menganak, berkembang biak pada kulit permukaan dahi.

"Nai!"

Gadis itu tak segera tanggap untuk menghentikan kayuhannya pada pedal sepeda. "Nai!" Panggilan orang itu tak kunjung lambatkan gerak kakinya untuk melaju di atas tanah.

"Nai?!"

Sang dara yang silau ditimpa mentari tersentak sesaat. Sebelah tangannya mengusap bagian dada dan sebelahnya lagi sibuk menggenggam setumpuk kertas yang ujungnya terlipat dan meninggalkan bekas kuning.

"Ada apa?" tanyanya, seperti biasa tanpa suara. Gerak bibirnya agak ditekan, lelaki yang ajaknya bersua tersenyum mengerti.

"Apa gerangan kauingin perbuat sampai demikian bergeloranya? Kupanggil kau hingga putus tenggorokan pun tak juga kepalamu menoleh. Apa yang kaulakukan di penjara ini, Nai?"

Rinai tak lantas menjawab karena matanya sibuk menelisik keadaan sekitar. Tidak adakah dedemit itu di mari? Gadis itu dapat embuskan napas dalam sejenak kalau memang begitu kenyataannya. Sesaat, tiga kata terakhir pada pertanyaan teruna itu membuatnya agak-agak meringis ngeri. Di penjara ini?

"Cari aku? Kupikir surat yang kukirim kemarin lewat Sumarno tak dapat sampai karena ia mati di tengah jalan. Rupanya anggapanku tak seutuhnya benar."

Rinai berdiam sejenak. Ia rasai seperti telinganya baru saja mengidap penyakit tinnitus, sakit berdenging, seperti ia tak mampu menangkap suara apa-apa. Apa kira telah terjadi sampai Tuhan buat ia jadi kian kikuknya kerap bertemu teruna yang satu ini? Mengapa ia jadi merasa sesak napas?

"Nai?"

Gadis itu kembali mengerjap. Bulu matanya yang panjang menyentuh bagian wajah yang tertimpa mentari di ufuk timur. "Ada apa, Tuan Arend Jan?" tulisnya di atas papan hitam kecil yang tergantung di bawah lehernya.

Lelaki yang dipanggil Tuan itu terbatuk, lantas tertawa dan mengakhirinya dengan lemparan pandang pada buana yang luas menghampar.

"Berapa kali kiranya lidah ini mesti berucap, Nai?" Ia mulai bercakap, maniknya yang hitam kilau-kemilau memandang lurus ke gadis itu. Tatap penuh harap, tatap haus balas. "Lupakah kau, Nai? Lupakah, kau bahwasanya teruna yang tengah hadap kau dengan arah mentari perak di kaki langit ini, lahir di tanggal dan bulan yang sama dengan milik kau sendiri? Lupakah kau, Nai?"

Gadis itu tak menjawab. Bibirnya tak bergerak, jangankan gerak, embuskan napas pun tidak. Lambaian sang bayu seakan berlari membelai-belai pipinya. Bisikkan ia agar tak lanjutkan rasa hina tak pantas ini.

"Nai, Nai. Puspitaku...." Dan lelaki itu pandang sang dara tanpa kedipan. Seperti macan, ya, macan gila yang pinta kawin. Sang dara hanya menunduk malu. Tiada tahu mesti berlaku macam apa. "Sudah kauputuskankah, Nai? Sudah kaupaham jelasku kemarin?" Teruna itu kembali mengemis seperti merintih. Mengemis! Seorang Indo, terpelajar pula, mengemis pada pribumi tiada berayah. Dara pula, bisu! Bicara pun tak becus. Hanya bisa menulis, seperti domba tak pandai mengembik.

"Tua bangka itu, Nai, ah. Papaku itu. Dia hendak kawinkan kau, Nai. Sudikah kau disentuhnya, Nai? Dijadikan gundik, menahan malu, Nai! Malu!" Nadanya kembali menghentak. Bukan amarah yang disasarkan pada sang dara, sungguh demi sang dewa matahari, tiada pernah terbesit olehnya pikiran-pikiran macam begitu. "Marilah, Nai. Mari, ikut aku. Tinggal denganku, berbahagia, berbagi dalam satu atap. Kaukata, kaucinta aku, 'kan, Nai? 'Kan, kaubilang begitu macamnya? Nai, Nai, Puspitaku. Jangan kaubikin aku gelisah macam ini, Nai."

"Tuan. Jangan seperti ini, Tuan." Dara itu menggoreskan kapur pada papan hitamnya. Setangan dari dalam saku digunakan sang teruna untuk mengguris peluh di permukaan wajah. Cinta, oi, cinta. Hebat betul ia mengubah hawa dingin bawaan hujan, jadi terasa panas, membakar dua orang saling berkasih sayang.

"'Kan, itu maumu, Nai? Yang kaubilang sebelum-sebelum sekarang? Menikah denganku, Nai? Berbagi-"

Dan tiba-tiba ... dor! Satu tembakan menembus daging teruna itu. Bibirnya yang bergerak-gerak lincah mendadak diam. Matanya melotot bagai kucing yang ekornya diinjak. Darah merembas, merangkak keluar dari pori-pori bahan. Badannya yang gagah tersungkur ke tanah. Tiada daya, dan dara itu meraung. Tangisnya luruh seperti pecahan kandil-kandil. Ablur hatinya diporakporandakan, hancur berkeping-keping di hadapannya yang bergeming.

Pemberontakan! Ketidakadilan!

Tidak pula. Tiada lagi adil bagi bangsa yang diinjak seperti cacing. Hindia ini, orang-orang ini, telah lama menelan pahit dan sakit-sakit jadi orang tak merdeka. Absolut. Tidak ada merdeka. Lenyap sudah. Segala hanya khayal tanpa wujud, tak berjamin, tiada pula mampu diraih.

Hawa dingin masih menusuk menembus kulit, dan hujan, butir itu sembunyi-sembunyi di balik awan. Seperti bupati! Para residen yang jadi kaki-tangan para kompeni. Mana pula para tentara yang kuat itu? Pelindung rakyat? Mana tentara kompeni? Mengapa dibiarnya Indo ini merasai lara?

Rinai ingin berteriak di hadapan pemuka-pemuka itu. Berteriak! Bayangkan! Pribumi, dara pula, melarat, berteriak pada para asisten residen. Tapi dara itu tersedan-sedan saja. Memeluk sang teruna, tak peduli hujan peluru di sana-sini.

Simbah darah menjadi saksi cintanya yang tak saling menggenggam. Dan rinai hujan, menjadi pengamat yang bersembunyi.

Tamat

Kandil-kandil, ablur: kristal

Dara: gadis

Teruna: pemuda

Asisten residen: pegawai tertinggi di suatu afdeling pada masa penjajahan Belanda

Indo: keturunan campuran antara orang dari etnik tertentu (dalam hal ini, Jan adalah campuran Indonesia dan Belanda)

Ditulis pada: 12 Februari 2016

Maafkan ketidakjelasan cerita ini. Serius, saya juga gatau kenapa nulis cerita kayak begini. Mungkin efek Bumi Manusia yang sekarang ini lagi saya baca ulang? Entah.

Berkomentarlah dengan bijak:)

Terima kasih sudah membaca^^

HypnagogicWhere stories live. Discover now