Kembang Tak Dianggap | 5

4.6K 684 59
                                    

"Dan beginilah akhir dari kisah kembang yang dilupakan. Mungkin penjelasan sesungguhnya akan semakin menggegerkan media, tapi semuanya memang murni kecelakaan." Minke menjelaskan kesimpulan akhir yang akan dia lanjutkan dengan kata-kata penutup.

"Meski dapat kita ketahui bahwa peristiwa ini tidak akan mungkin terjadi kalau tak ada yang mengerjai Maharani hari itu, tapi kita tak dapat menyetujuinya pula karena semua telah disusun menjadi suratan takdir. Saya hanya mampu berharap dengan amat sangat supaya kasus ini ditutup saja mengingat prihatin dan selaku simpati kita pada keluarga yang ditinggalkan." Mata Minke menunduk tenggelam ke bawah, pandangannya tertubruk jatuh menimpa dasar.

"Peristiwa ini melahirkan satu nilai moral yang tentu dapat kita ambil selaku makhluk-makhluk yang masih singgah di dunia." Ucapannya menggantung di udara, bahunya menaik selaku reaksi dari penarikan napasnya yang dilakukan dengan mendalam.

"Bencilah sesuatu sesukamu, kau tak akan dihukum atas upayamu dalam melakukan keburukan itu." Minke menghentikan ucapan lagi, berlaku seakan ia adalah pendongeng, dan wartawan-wartawan itu adalah anak kecil yang nyaris tertidur karena cerita yang dibawakannya.

"Kau boleh melakukannya, tapi ingatlah satu hal mutlak yang harus kaucerna baik-baik .... Pembenci tidak akan pernah lebih baik dari orang yang dibenci. Dan meski sebanyak apapun kau membenci orang yang nyatanya jauh lebih mahir akan apa yang tak kaumiliki, hal ini tak lantas membuatmu menjadi lebih baik dari orang yang kaubenci.

"Berhentilah melakukan hal yang sama sekali sia-sia dan mencoba cari hal lain yang jauh lebih berfaedah. Hapuskan pembully-an, tumpas akar-akarnya dari segala bentuk-bentuk kecil yang membuatnya jadi mungkin benar-benar terjadi. Bully bukanlah moral bangsa Indonesia. Berhenti menjadi biadab padahal sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikanmu seorang manusia yang bermartabat.

"Hapuskan bully, cerdaskan negeri!"

Minke membalikkan badan, dan di sanalah teman-temannya berkoloni. Tujuh perdelapan di antaranya adalah orang-orang yang sering membicarakan Hara di belakang, dan seperdelapan di antaranya lagi hanya orang-orang yang bersimpati tanpa melakukan apapun untuk menolong Hara.

Minke memandang keseluruhan dari delapan perdelapan orang-orang itu, menelisik ekspresi apa yang kini mereka tunjukkan. Mata mereka memerah, pipinya basah akan air mata. Minke tersenyum lalu tengadah menatap langit yang seakan jadi semakin cerah. Setidaknya segala rasa bersalah yang telah menggerayang dalam hatinya kini telah luruh bersamaan dengan tangis-tangis penyesalan yang orang-orang persembahkan pada Hara.

Minke tersenyum lagi.

"Terima kasih atas segala kemurahan hati dan ketegaranmu, Maharani Prameswari."

TAMAT


HypnagogicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang