Serotonin

3.1K 223 11
                                    

Serotonin

"Aku mau ngomong sesuatu!"

Seperti ada berbagai warna terlukis dalam binaran cahaya di mata itu. Bola ajaib tersebut memang memiliki kekuatan magis tersendiri dalam memikat pandangan orang agar tetap tertuju kepadanya. Bukan hal yang aneh lagi bagi siapa pun apabila mereka, yang diajaknya berbicara, akan terfokus seluruhnya.

Gadis itu memang tak memiliki wajah luar biasa rupawan, seperti Srikandi atau berbagai tokoh wanita lain yang dikenal akan keindahan rupanya. Arsita, gadis itu memang berbeda. Daya tarik yang dia punya memang lain dari kebanyakan perempuan. Dia punya mata yang indah, sorot pandang yang merayu siapapun agar terperangkap dalam daya tariknya. Meskipun begitu, dia juga dianugerahi Tuhan dengan kebaikan hatinya yang suci, membikin siapa pun akan merasa tenang ketika berada di sisinya.

Seperti itulah cara Damar memandang sosok Arsita dalam hatinya.

"Oh, samaan dong. Aku juga mau ngomong." Damar menjawab seraya meletakkan kain lap yang tadi dia gunakan untuk membersihkan meja kasir. Senyumnya terkulum tipis seperti seuntai benang yang dibentuk segaris lengkungan. Keduanya tampak antusias, tak sabar untuk saling melontarkan pemikiran masing-masing.

Gadis itu menarik napasnya agak lama. Seperti tengah melakukan senam pernapasan atau yang sejenis dengan itu. Senyumnya terangkat lebih tinggi, menandakan kegembiraan hati yang meluap dalam dirinya. "Mama-Papa setuju!" serunya nyaris lepas kendali. Untungnya kafe itu tidak sebegitu penuh karena hari ini adalah hari kerja. Orang-orang pasti sibuk dengan tugas sekolah atau deadline dari kantor.

"Aku, Romy, kami bakal nikah secepatnya! Aku bener-bener nggak percaya. Akhirnya restu yang ditunggu selama lima tahun, bisa didapet juga. Damar, you have to know how happy I am." Gadis itu menjelaskan pernyataannya yang pertama. Lebih jelas, lebih komunikatif, lebih lugas dari sebelumnya. Senyum di wajahnya berbanding terbalik dengan milik Damar yang tadi terpatri. Perlahan, senyum Damar mengendur, agak segaris, dan akhirnya lenyap secara keseluruhan.

Saliva Damar turun menelusuri kerongkongannya yang mendadak tandus. "Tapi kan kalian...." Dia tidak meneruskan ucapannya. Keduanya seperti memiliki pikiran yang sejalan. Gadis itu mengangguk seraya meneruskan bagian yang rumpang.

"I know!" Arsita mengangguk dengan cepat. "Mungkin ini yang namanya keajaiban? Gosh! Aku beneran nggak bisa percaya kalau ini beneran kejadian."

Mata Damar terpaut pada susunan lantai yang dipasang dalam barisan rapi. Sedikit-sedikit, kepalanya dia anggukkan seakan menyetujui bahwa ia sendiri pun bingung harus berkata apa. Bibir Damar stagnan tak bergerak, begitu juga terjadi pada lidahnya yang kelu. Tangannya tak lagi mengelap meja kasir dan kakinya tak lagi bergetar karena gugup akan menyampaikan perasaan. Dadanya mendadak tenang seakan jantungnya tak lagi memompa darah. Damar seperti kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupnya.

"Bulan depan kami nikah. Pokoknya kamu harus dateng sama cewek yang sering kamu ceritain ke aku. Kamu bilang hari ini kamu mau nyatain perasaan ke dia, 'kan? Kamu harus siap-siap sekarang biar nggak telat nembak dia. Semangat Damar!" Gadis itu berseru lagi. Kelima jarinya terkepal untuk memberikan semangat pada Damar. Tak berselang waktu setelah itu, Damar mengangkat kepala seraya menatap perempuan itu dalam diam. Yang ditatap sempat bergeming, namun ucapan Damar setelahnya membuat keheningan yang mencekam, jadi menghapus senyum yang mengembang.

"Aku berenti kerja ya, Ta," pintanya dengan suara rendah. Agak serak. Tapi bukan karena flu atau sejenisnya. "Kamu pasti bakal sibuk juga kan ngurus pernikahan? Aku juga kayanya bakal sibuk nyiapin diri buat UN." Ia menjabarkan dengan singkat. Tidak hanya membuat senyum Arsita menjadi lenyap, tapi juga membawa serta kebahagiaan Arsita yang berkilat dalam matanya.

HypnagogicWhere stories live. Discover now