Utuh

1.4K 109 2
                                    




Utuh



***


Dalam kegelapan, mata itu menatapku dengan penuh kemarahan. Di jemarinya, tergenggam sebilah pisau yang tampak sedikit berkilau karena memantulkan satu-satunya sumber cahaya dari lampu di atas meja.

Aku memandanginya dengan sorot penuh arti. Meski terasa tajam dan memilukan sebab menyimpan kedendaman, aku tahu sejatinya ada kekosongan dan kehampaan di dalam tatapan itu. Aku berupaya untuk menyentuhnya—membelai inti dari jantungnya yang seakan-akan menguarkan nanah lewat tatapannya yang penuh luka. Kabar buruknya, aku tahu bahwa aku tidak akan mampu. Dia terlalu menyimpan dendam amat dalam kepada diriku yang tidak memahami apa pun selain ketulusan.

Kadang-kadang, kuupayakan untuk bisa berdamai dengan dia. Kadang-kadang, tak sekali dua kali ia mau menerima ajakan gencatan senjata itu meski aku tahu bahwa perang ini hanyalah dilakukan dari satu pihak saja. Aku begitu menyayangi dia, bahkan kadang-kadang, ingin kudekap dia dengan seluruh cinta yang kupunya dan meyakinkan bahwa sejatinya, aku selalu ada untuk dia. Tetapi, di antara kami, sayangnya seperti selalu ada sekat amat besar dan cinta bukanlah paduan yang tepat untuk mengisi kekosongan tersebut.

Dia selalu membentengi dirinya dengan segenap kebencian meski aku berupaya menawarkan ketulusan yang kukumpulkan seumur hidupku untuk dipersembahkan demi meredakan badai dan petir di antara kami.

"Tidakkah kau menyadari bahwa tak seharusnya kau ada? Kau bajingan, tidak berguna, dan tidak seharusnya memiliki hak untuk ada di muka bumi ini. Orang-orang parasit seperti kau, seharusnya ada di neraka, seharusnya tidak pernah muncul di hadapan orang-orang. Kau tidak patut untuk hidup. Kau tidak berguna. Kau busuk dan naif. Aku sangat membenci manusia busuk sepertimu."

Aku terdiam di tempatku—menunduk dan menatap kedua kakiku yang terlihat pucat meski dalam cahaya yang temaram. Sudah berapa lama aku tidak keluar dari ruangan ini? Sudah berapa lama aku mengisolasi diri dan berupaya untuk memenangkan hatinya agar mau menerima kehadiranku? Sejenak, suara-suara dalam Hati Kecil-ku membuatku terlupa bahwa ada seseorang yang begitu membenciku sejak lama, berupaya untuk membunuhku. Melenyapkan hidupku!

Ketika aku menengadahkan kepala, pisau di tangannya telah berpindah posisi ke sisi kanan tubuhnya. Tangannya tak lagi teracung ke atas meski matanya masih menyiratkan amarah yang begitu membara. Aku tahu walaupun sewaktu-waktu, ia masih mau berdamai denganku setiap kali aku menyogoknya dengan es krim, coklat, atau Edelweiss yang begitu ia idam-idamkan, ia tidak pernah betul-betul mau memaafkanku yang dia anggap sebagai manusia paling hina.

Aku bahkan masih ingat kilatan bahagia di matanya ketika menceritakan tentang pemikirannya terhadap bunga yang dianggap sebagai lambang keabadian cinta bagi kebanyakan pasangan—Edelweiss, Edelweiss yang begitu ia banggakan itu. Tetapi, pemikirannya selalu saja berbeda dari kebanyakan orang—dan itulah yang paling kukagumi dari seseorang seperti dia.

"Aku ingin hidup seperti Edelweiss!" Matanya berkilat-kilat—tetapi kali ini, bukan karena kemarahan. Ia tampak begitu hidup ketika mengatakan hal itu dan aku menyadari bahwa ada yang berbeda dari dia ketika mengatakan itu. Ada harapan yang amat besar di dalam matanya yang hitam pekat itu. Tersimpan sebongkah ketulusan yang begitu dalam saat ia menyampaikan semua itu—yang bahkan mampu memadamkan kebakaran hebat dari dirinya kerap kali berhadapan dengan aku.

HypnagogicWhere stories live. Discover now