BAGIAN 20. MASA KECIL KURANG BAHAGIA

1.3K 58 15
                                    

Ilustrasi: Ayo tebak, siapa artis pemeran Gatotkaca dan Arimbi ini?

Rentetan peristiwa di Pringgandini yang menyertai kelahiran bayi Gatotkaca sepertinya sudah akan berakhir. Sang bayi kini telah menjadi seorang remaja yang gagah, tidak pernah disangka oleh siapa pun bahwa akan begitulah kejadiannya. Namun tidak ada yang bisa dilakukan untuk menghalangi takdir dan perintah Dewata atas Gatotkaca, walaupun memang hampir semua orang melihat bahwa peristiwa tersebut adalah anugerah bagi Gatotkaca. Bahwa kini Gatotkaca telah menjadi ksatria yang luar biasa hebat dan sakti dalam waktu yang sangat singkat, seorang pangeran yang secara fisik sudah menjadi remaja yang gagah, tampak seakan sudah siap menjadi putra mahkota bagi kerajaan Pringgandani. Satu orang yang sangat setuju dengan pendapat tersebut tidak lain dan tidak bukan tentulah sang ayah, Bimasena.

Lalu bagaimana dengan perasaan sang ibu, Dewi Arimbi?

Hari itu, Drupadi mengetuk pintu kamar yang terbuka. Di dalam kamar dilihatnya Arimbi sedang terduduk di kursi sambil memandang kosong kepada seisi kamar. Kamar itu adalah kamar bayi yang disiapkan untuk Gatotkaca, sudah disiapkan dengan segala kebutuhan bayi. Ada ranjang bayi yang sangat bagus, lemari baju bayi yang sudah terisi penuh, dan berbagai peralatan kebutuhan bayi yang terbaik, terbagus dan terindah di Pringgandani. Juga di satu sudut kamar, bertumpuk kado-kado dari sanak famili dan relasi yang tak terhitung jumlahnya, semua untuk menyambut bayi Gatotkaca. Yang tentunya, semua isi kamar itu tidak ada gunanya lagi saat ini setelah Gatotkaca berubah menjadi seorang remaja sepulang dari kahyangan.

"Kakak Arimbi," sapa Drupadi. "Boleh aku masuk?"

Arimbi menoleh pada Drupadi seraya terkejut, lalu menjawab, "Oh, silakan Dinda. Ehm, maafkan aku tidak menyadari kedatangan Dinda."

Drupadi pun menghampiri Arimbi yang dengan cepat menyusut air mata dari mata dan pipinya.

"Kau baik-baik saja, kak?"

"Hmm..." jawab Arimbi sambil mengangguk berbohong.

Drupadi menghela nafas, lalu berkata, "Maaf bila aku mengganggu, tetapi karena kami, aku dan Kanda Yudhistira tidak lama lagi akan segera pulang ke Indraprasta, aku ingin menemui kau, Kakak."

"Ya, tentu saja, dinda. Kau dan sang Prabu tentunya punya banyak urusan yang tertunda di Indraprasta," sahut Arimbi. "Maafkan kami karena telah menahan kalian terlalu lama di Pringgandani karena masalah putra kami, Gatot ... kaca..."

Arimbi mulai terisak saat menyebut nama Gatotkaca, tanpa tertahan tangisnya pun menyembur dan kedua tangannya segera menutup mulutnya. Drupadi yang bisa melihat dengan jelas gelagat kesedihan Arimbi sejak kepulangan Gatotkaca dari kahyangan, segera memeluk Arimbi. Arimbi langsung menangis tersedu-sedu di pelukan kakak iparnya yang berusia lebih muda itu. Perasaan Arimbi sebenarnya sangat sedih saat itu, layaknya seorang ibu yang kehilangan masa yang sudah dinanti-nanti selama sembilan bulan kehamilannya. Hatinya seakan berteriak menyuarakan kepedihan hati di balik anugerah yang menimpa putra yang belum lama dilahirkannya itu.

'Sesosok bayi dipisahkan dari susuanku dan pulang sebagai seorang remaja yang tak pintar berkata-kata. Kebanggaan apa yang aku miliki? Tak tahukah mereka bahwa aku masih ingin menggendong dan meninabobokan sebelum tidur dengan lagu anak-anak, mengajari berjalan dan menyuapi dengan riang.'

'Kini anakku pulang dengan sorot mata yang asing. Aku tak akan kuat lagi membimbing tangannya dan bahkan tubuhnya pun telah setinggi ayahnya. Kumisnya melintang, dadanya bidang lengkap dengan bulu lebatnya. Namun ayahnya tidak pernah mau tahu kalau matanya tetap mata seorang bocah.'

'Dia bahkan tak mengenaliku sebelum ayahnya mengatakan bahwa aku ibunya. Neraka meledak di kepalaku saat ia bertanya apa itu seorang ibu.'

'Ia akan menjadi ksatria paling setia di keluarga Pandawa. Semua orang menyayangi, merasa lebih berhak atas hidupnya dan selama itu pula aku hanya bisa menjadi penonton. Anakku menjadi milik semua orang, milik sekian ratus ribu prajurit Pringgandani dan Indraprasta yang merasa bangga dipimpin olehnya. Ia milik Pandawa yang telah memiliki rencana besar akan masa depannya.'

'Namun saat dia melihat anak-anak kecil lainnya dengan keriangan mereka bercanda di halaman, memanjat pohon beringin yang ditanam Trembaka, ayahku, sementara Gatutkaca hanya mengawasi dari kejauhan. Dalam tubuh kekarnya, aku merasakan jiwa kecil yang memberontak karena ia tidak pernah mengalami masa-masa indah sebagaimana anak-anak lainnya. Ia tidak pernah bergulat di kubangan, naik rakit batang pisang di kali kotor, menangkap capung atau sekadar kejar-kejaran. Dalam hidupnya tak ada sejarah layang-layang daun gadung, topeng tempurung atau sekedar perang-perangan. Ia hanya mengenal perang yang sesungguhnya, yang menjadikan nyawa sebagai taruhannya.'

'Aku pernah menanyainya suatu kali.'

"Anakku, apakah kau ingin memanjat pohon beringin itu? Yang ditanam oleh kakekmu?"

"Mereka tidak mengajakku."

"Tapi kau boleh."

'Tak ada jawaban.'

"Kau ingin menangkap capung?"

"Terlalu mudah bagiku."

'Anakku mungkin memiliki pohon dan capung sendiri. Ya, di balik dada anakku yang bidang terdapat sayap pemberian dewa. Ia tak perlu memanjat untuk berkenalan dengan angkasa. Ia bebas pergi ke mana saja. Seperti burung elang, ia adalah penguasa di udara, tapi ia tetap tidak bisa bermain di sana. Segalanya terlewat begitu saja tanpa pernah tahu siapa yang telah merampasnya.'

'Ia tidak pernah tahu barus bagaimana, di mana dan seperti apa. Tak tersediakah sekejap waktu untuk mengenalkannya pada apa itu senang, apa itu indah, apa itu duka? Biarlah ia tidak bergulat di kubangan. Ia tidak harus bermain layang-layang. Aku hanya ingin anakku menjadi seorang manusia.'

Begitulah perasaan Arimbi yang sesungguhnya, yang hanya disadari oleh kaum wanita. Walaupun Drupadi belum menjadi seorang ibu, tetapi nalurinya bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Arimbi. Di sisa waktu sebelum kepulangannya ke Indraprasta, semampunya dia mencoba hadir untuk Arimbi agar bisa membagi kepedihan atas kehilangannya itu.

Oh...di kedalaman tidurmu

Kau tersenyum lugu

Hmm...mendekap damai dan tak berdosa

Kubelai gelombang rambutmu

Menitipkan kasih sayang

Semoga berlimpah ruah bahagia

Kita reguk bersama

Tidurlah tidur bidadari kecilku

Setelah lelah kau bermain

Mimpikan dirimu dalam istana

Menari lincah dan bernyanyi merdu penuh suka

Dan kukecup lembut keningmu

Rasa haru luluh jua

Jangan dulu terjaga sampai pagi tiba

Menjemput hari

Tidurlah tidur bintang kesayanganku

Bersinar menerangi sukma

Engkaulah juga yang jadi alasan

Hingga kupacu semangat hidup menyimpan harapan

Kelak satu saat nanti kau beranjak dewasa

Pilihlah jalan lurus nan murni tempatmu melangkah

Menuju cita mengenggam asa

Kau tentukan warna tuk hidupmu

Sejak dari mula lebih baik kau jaga langkah

Berbekal waspada

(Lagu oleh: Katon Bagaskara – Tidurlah Tidur)

*) Episode peristiwa kelahiran Gatotkaca serta bagian 'Masa Kecil Kurang Bahagia' ini disadur dengan sedikit perubahan dari isi Cerpen Nanang Hape berjudul 'Gatotkaca Tanding' yang dimuat di surat kabar Suara Merdeka tahun 2005.

MAHACINTABRATA 4: ARJUNA MASIH MENCARI CINTAWhere stories live. Discover now