PROLOG

696 66 55
                                    

Suasana aula SMA Nasionalis mendadak ramai seiring dengan terdengarnya lengkingan teriakan histeris yang keluar dari mulut seorang gadis di tengah-tengah mereka. Daffa, sang ketua OSIS yang sedianya hendak memberikan sambutan pada siswa-siswa baru di acara Masa Orientasi Sekolah pagi ini mendadak panik dan segera menuruni panggung untuk menghampiri sang gadis.

Matanya terpana ketika melihatnya dari dekat. Isak tangis dan wajah mendungnya tak mampu menutupi paras indah gadis itu. Daffa ingat, dia yang tadi pagi datang terlambat dan nyaris tak dibukakan gerbang jika dia tak berada di sana untuk membujuk satpam sekolah.

"Terimakasih sudah membantu." Gadis itu tersenyum riang dengan mata berbinar. Tatapannya ramah dan penuh percaya diri meski telat datang di hari pertama masa orientasi.

Gadis bermata indah itu mengulurkan tangan. "Aku Bia, kamu anak baru juga?"

Demi kesopanan, Daffa membalas uluran tangan tersebut sambil menunduk malu. "Ehem, aku kelas XII." Wajah baby face yang dimiliki Daffa memang seringkali menipu, membuat orang yang melihatnya mengira dia jauh lebih muda.

"Ups, sorry, Kak." Bia menunduk kikuk. Merasa bodoh karena salah mengira, padahal kalau mau berpikir jernih mana mungkin anak baru bisa merayu satpam sekolah untuk membukakan gerbang. Bia menepuk jidat keras-keras tanpa sepengetahuan lelaki di sampingnya.

Daffa ingin mengatakan, "Tidak apa-apa, Bia, santai saja. Aku bisa jadi temanmu." Namun, lidahnya terlalu kelu untuk itu. Alih-alih beramah tamah, pemuda itu malah diam dan melengos ke arah lain menghindari tatapan Bia sehingga membuat kesan jemawa. Semua orang di SMA Nasionalis juga tahu, Daffa selalu dingin pada wanita. Mereka mengira dia terlalu cuek, sombong, dan tak peka. Padahal pemuda itu hanya terlalu gugup menghadapi perempuan. Apalagi yang  memesona seperti Bia. Daffa merutuki diri sendiri mengapa jantungnya mendadak berlompatan tatkala melihat Bia tersenyum dan melambaikan tangan ke arahnya. Belia itu pamit meninggalkan Daffa yang masih terpana dengan kehadirannya.

Sebenarnya, Daffa ingin mencegah lalu berbincang lebih lama, akan tetapi, selain gugup, dia juga harus segera ke ruang OSIS untuk mengurus segala sesuatu untuk persiapan MOS hari pertama ini. Bia juga tampak terburu-buru karena khawatir terlambat masuk ke aula untuk mengikuti acara.

Siapa yang menyangka dalam waktu kurang dari setengah jam keceriaan yang terpancar dari wajah gadis itu berubah menjadi duka yang begitu pilu dan menggetarkan siapa pun yang melihat.

"Ayo bawa ke Ruang PMR. Cepat!" perintah Daffa pada teman-teman lain. Bia masih menangis terisak ketika mereka memapahnya ke ruang PMR. Tubuhnya lunglai dan tak lama kemudian matanya terpejam.

"Dia pingsan, Daf!" pekik Runi, wakil ketua OSIS yang agak tomboy dan berwajah tegas. Sontak saja keadaan menjadi riuh. Semua orang termasuk guru-guru juga bertanya-tanya. Ada apa dan kenapa salah satu siswanya menangis histeris hingga tak sadarkan diri seperti itu.

"Sudah-sudah, yang tidak berkepentingan silakan kembali ke aula dan lanjutkan acara!" perintah salah seorang guru yang merupakan wakil kepala sekolah bidang kesiswaan. Kumisnya yang tebal membuat siswa yang melihatnya jeri dan menuruti perintahnya segera.

"Runi, tolong kamu gantikan aku untuk isi sambutan, ya! Aku akan di sini sampai dia sadar." Daffa menunjuk ke arah gadis itu dengan matanya. Runi mengangguk. Wakilnya itu memang sangat bisa diandalkan dalam keadaan apa pun. Sejurus kemudian Runi berlalu meninggalkan Daffa bersama Bia dan anggota PMR lainnya.

Daffa menelusuri lagi wajah oval Bia yang putih bersinar meski tanpa riasan. Bibirnya tipis kemerahan, alisnya tebal dan hitam legam sewarna dengan pupil matanya yang indah. Rambutnya tebal dan panjang bergelombang serta hidungnya yang mancung menambah kesempurnaannya. Hati Daffa tiba-tiba berdesir dan debaran jantungnya berloncatan saat Bia akhirnya siuman dan memandangnya lamat-lamat dengan air mata yang masih menetes.

"Kamu kenapa? Ada apa sebenarnya?" tanya Daffa lembut mencoba melawan gejolak rasa aneh di dada.

Belum sempat menjawab, tiba-tiba seorang perempuan yang belakangan diketahui sebagai tante Bia merangsek masuk ke ruang PMR sambil menangis kencang dan memeluk kemenakannya erat-erat.

"Maaf, yaa, Tante kabarin lewat Whatsapp. Kamu pasti shock banget, ya! Tante juga kaget menerima kabar itu. Tadi pagi Papa masih antar kamu, kan?" Ayo kita pulang sekarang, Bia. Kita lihat Papamu untuk yang terakhir kalinya." Tangisnya pecah lagi diikuti tatapan nanar Bia yang seolah masih tak percaya dengan kenyataan yang ada di depan mata. Daffa ikut terenyuh melihat pemandangan pilu pagi itu. Hatinya turut hancur. Namun, ia mencoba tegar di depan semua orang.

Daffa melepas kepergian gadis itu dengan perasaan yang tak bisa ia kenali. Hatinya baru saja membuncah bertemu dengan gadis impian, tetapi di waktu yang sama keadaan berubah. Membuatnya semakin takut untuk melangkah dan akhirnya malah membuatnya semakin tersiksa.

BERSAMBUNG...

===

Halooo teman-teman, i am back! 😍
Kali ini aku mengangkat isu yang sangat menjamur di kalangan remaja yaitu tentang toxic relationship dan segala kerumitannya. Latar yang digunakan juga nggak cuma di Indonesia aja, loh! Tapi di Korea juga. Uwowww siapa di sini yang KPopers dan penyuka drakor? Yuk merapat! Hehe.
Mudah-mudahan kalian suka, ya!

Happy reading! 😍
Jangan lupa vote dan komen, yaa!
Luvluvv 💓💓
-DIA

MY SEOUL-MATEWhere stories live. Discover now