31. Insecure

99 14 3
                                    

Ola tiba di rumah sakit tepat ketika Wina tengah bersiap untuk pulang ke hotel. Mereka sudah sepakat membagi shift untuk menjaga Sabira. Wina sengaja memilih di shift awal karena harus mengurus beberapa berkas dan administrasi terlebih dahulu serta berkonsultasi dengan dokter yang akan menangani putrinya.

Setelah menyampaikan beberapa hal mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dan dimakan Sabira, Wina beranjak pergi meninggalkan ruangan. Sebelumnya ia menyempatkan juga untuk mengelus rambut dan mencium kening putri satu-satunya itu dengan lembut.

"Sab, lo tahu nggak tadi gue ketemu siapa?" tanya Ola dengan mata berbinar setelah memastikan Wina benar-benar pergi. Saat ini ola duduk di samping Sabira yang tengah termenung sambil berbaring membelakangi Ola.

Sabira bergeming dan tidak menoleh ke arah Ola sedikit pun. Direspons seperti itu Ola hanya bisa menghela napas dan membuangnya dengan gusar untuk menabahkan hatinya. Jika diperhatikan, sejak tiba di Korea, Sabira memang tak pernah lagi menangis histeris atau mengamuk tak terkendali seperti ketika di Indonesia, tetapi gadis itu malah lebih banyak diam dan menatap sekitar dengan tatapan kosong.

"Sab, lo denger gue nggak, sih?" desak Ola sambil menghadapkan dirinya ke arah wajah Sabira.

"Iya. Kenapa?" tanya Sabira dengan ekspresi datar dan intonasi suara yang tak bertenaga. Gadis itu masih tak mau menatap Ola melainkan hanya terpekur mengamati langit-langit kamar.

Ola menelan ludah dan kembali berusaha bersabar. "Tadi gue nggak sengaja ngeliat Kak Daffa, ketua OSIS kita waktu SMA dulu di lobi rumah sakit ini. Lo inget, nggak? Ya ampun dia tambah ganteng aja, tahu, Sab! Badannya jadi lebih berisi dan berotot gitu. Dulu kan meski emang udah ganteng, dia terlalu kurus kan, ya? Nah, sekarang tuh postur tubuhnya udah proporsional banget, Sab! Asli, dah, So perfect!" jelas Ola panjang lebar sambil senyum-senyum sendiri.

"Kayaknya dia juga baik, dah, Sab.  Cocok tuh kayaknya sama lo," ucap Ola bermaksud mencairkan suasana sekaligus menghibur hati Sabira yang hatinya telah disakiti Arqi. Namun, ketika bicara seperti itu, Ola lupa dengan kondisi fisik dan mental Sabira saat ini yang masih terguncang.

Dengan kondisi mentalnya sekarang, tak mudah bagi Sabira untuk membuka hati lagi pada lawan jenis. Terlebih kondisi wajahnya juga semakin membuatnya sebagai perempuan benar-benar merasa insecure dan takut untuk kembali membangun komitmen dengan siapa pun.

Sabira masih bergeming seolah tak peduli dengan apa yang baru saja dikatakan manajernya dengan penuh semangat. Lagipula gadis itu sudah tahu tentang Daffa dan bahkan sudah bertemu kakak kelasnya yang tengah menjadi koas itu.

Setelah tadi pagi lelaki itu visit bersama dokter senior, Sabira berusaha mengingat-ingat lagi  sosoknya. Secara fisik Daffa memang banyak berubah, tetapi karakter suaranya yang khas mampu mengingatkan Sabira pada kejadian di pagi pertama masa orientasi siswa dulu. Selain itu, nama panggilan yang disebutkan Daffa juga semakin menguatkan ingatan itu karena tak banyak orang yang memanggilnya dengan nama kecil yang diberikan almarhum papi.

Bagi Sabira, pertemuan kembali dengan orang yang mengenalnya di masa lalu membuat dirinya semakin tertekan karena malu dengan kondisi wajahnya saat ini. Berbagai pikiran buruk melintas di benaknya sehingga ia kembali terpuruk.

"Sab, lo kenapa, sih, diam aja?" tanya Ola penasaran. Gadis ekstrovert itu tampak cemas karena khawatir ada kalimatnya yang salah dan melukai hati Sabira.

Sabira menggeleng pelan lalu kembali berbaring di tempat tidur dengan posisi miring. Tak lama kemudian bibirnya terkatup dan bergetar sebelum air matanya berlinang di kedua pipinya.

"Sab, aduh! Sorry banget kalau omongan gue ada yang salah dan malah bikin lo sedih." Ola menggaruk kepala yang tak gatal lalu mengusap bahu gadis itu berusaha menenangkannya. Dia khawatir Sabira akan menangis histeris dan tak terkendali seperti yang sudah-sudah.

MY SEOUL-MATEDonde viven las historias. Descúbrelo ahora