35. Sorrow (2)

81 11 4
                                    

Tiba di Bandara Internasional Soekarno Hatta, Wina langsung bergegas menuju mobil yang sudah menunggunya sejak tadi. Pak Rahmat yang menjadi pengemudi tak banyak bicara ketika majikannya masuk dengan mata sembab. Sesuai instruksi, dia langsung melajukan mobil menuju kantor Ardi Yusuf, pengacara muda yang ditunjuk untuk menangani kasus Sabira.

Jalanan di siang hari itu tampak ramai tetapi masih lancar tanpa ada drama macet yang memusingkan kepala. Hanya saja mentari yang menyorot terang terasa begitu panas membara seolah ikut membakar hati Wina yang tak terima dengan keputusan pengadilan yang membebaskan mantan kekasih putrinya.

Wina menyandarkan tubuhnya ke jok mobil sambil memejamkan mata. Tubuhnya terasa ngilu dan nyeri karena bolak balik melakukan penerbangan jarak jauh yang melelahkan. Namun, nalurinya sebagai ibu kembali menguatkan untuk terus bertahan demi memperjuangkan keadilan bagi sang putri.

"Bagaimana bisa kita kembali kalah sedangkan bukti-bukti sudah teramat kuat dan jelas?" protes Wina setelah berada di hadapan pengacaranya.

"Maafkan kami, Bu. I did my best, tetapi inilah hasilnya. Terus terang semua orang yang paham kasus ini juga pasti akan merasa janggal dengan keputusan ini."

"Lalu, apa yang bisa kita lakukan selanjutnya?" tanya Wina geram seraya mengepalkan tangannya kuat-kuat untuk menahan amarah yang tengah bergejolak di hati.

"Hmm sebenarnya kita bisa mengajukan kasasi, Bu, tetapi memang prosesnya cukup panjang dan rumit."

"Ok, tolong lakukan saja apapun yang terbaik! Saya hanya ingin anak itu mendapat hukuman setimpal dan Sabira mendapatkan keadilan," ucap Wina dengan napas tertahan. "Saya menaruh kepercayaan penuh pada Anda, Pak. Oh iya, kalau bisa juga, tolong selidiki apa yang terjadi di "belakang layar" sehingga hakim bisa memutuskan lelaki pengecut itu bebas padahal bukti kita sudah teramat kuat!" lanjut Wina lagi dengan penuh emosi.

"Baik, Bu, kita akan berjuang sampai titik darah penghabisan," jawab pengacara muda itu yakin.

Wina baru saja hendak beranjak meninggalkan ruangan Ardi ketika ponselnya berbunyi nyaring. Sebuah telepon dari nomor tak dikenal terpampang nyata di layar. Mulanya ia tak mau menjawab telepon itu, tetapi hatinya penasaran dan mendorong untuk menekan tombol hijau di layar. Belum sempat Wina berbicara, orang di ujung telepon sudah langsung berkata tajam dan penuh penekanan. "Kamu tidak akan mungkin bisa mengalahkan kami. I told you. Lebih baik kamu berhenti dan menyerah!" Sedetik kemudian sambungan telepon terputus tepat ketika Wina ingin menjawab. Hal ini membuat dada Wina semakin merasa panas dan sesak. Berkali-kali dia menghela napas dan membuangnya dengan gusar untuk mengatur emosi yang semakin tak terkendali.

"Kenapa, Bu?" tanya Ardi dengan alis terangkat. Pengacara muda itu khawatir terjadi sesuatu pada client yang tengah berada di hadapannya karena napasnya terlihat sesak dan bahunya naik turun dengan cepat.

"Psywar. Mereka ingin kita mengalah dan menyerah. Hhh jangan harap! I'll fight for my daughter!" gumam Wina  sambil menatap kosong sudut ruangan yang dilapisi cat berwarna cokelat muda.

Untuk sesaat, suasana tiba-tiba hening sampai akhirnya seorang office boy masuk dan membawakan minum untuk Wina. Bersamaan dengan itu ponsel wanita itu kembali berdering nyaring, tetapi kali ini nomor teleponnya berkodekan negara Korea Selatan.

Wina mengernyitkan kening sejenak sebelum akhirnya mengangkat telepon.

"Ya, siapa ini?" tanya Wina to the point.

"Tante, ini Ola." Suara di seberang sana terdengar cemas dan ketakutan.

"Oh, kamu, La, Tante kira siapa. Ada apa?"

"Sabira, Tan ..." Ola tak mampu menahan isak tangis ketika ingin bicara.

"Sabira kenapa?" Wina langsung berdiri dan menajamkan telinga. Wajahnya menegang dan jantungnya seolah memompa darah lebih cepat dari biasanya.

"Tante, please tenang, ya, maafin aku juga karena kejadian ini sangat cepat sehingga luput dari pengawasanku."

"Ada apa Ola? Langsung saja bicara tidak perlu ngalor ngidul!" tegas Wina seraya menyiapkan hati untuk kemungkinan terburuk.

"Hmm ... Sabira mencoba bunuh diri, Tan dan sekarang kondisinya sedang kritis di ICU." Tangis Ola kembali pecah setelah mati-matian ia tahan untuk bisa menyelesaikan kalimat yang berisi kabar buruk itu.

"Oh my god," guman Wina sambil kembali terduduk lemas. Tangannya bergetar dan nyaris melempar ponsel ke lantai. Kepalanya tiba-tiba terasa sakit dan berputar sampai akhirnya seluruh ruangan terasa gelap dan ia tak ingat apa-apa lagi.

Melihat itu, Ardi panik dan langsung memanggil sekretaris dan seluruh stafnya yang berada di sana.

BERSAMBUNG..

Apa yang akan terjadi selanjutnya? Stay tune, yaaa... 😍

Vote dan komen ya supaya aku semangattttt. Makasiih..
Luvluv

-DIA

💓💓

MY SEOUL-MATEWhere stories live. Discover now