23. Depresi

96 18 7
                                    

Wina baru saja tiba di rumah sakit ketika hari sudah menjelang malam. Saat itu, Ola terlihat masih berada di sana menemani Sabira yang masih terpukul dengan apa yang baru saja dialami. Seharian ini sahabatnya itu hanya menangis tanpa mau menyentuh sedikit pun makanan yang telah disediakan.

Ketika Wina datang, Ola langsung berdiri menyambutnya dengan canggung. Gadis yang biasanya cerewet itu mendadak kehilangan kata saat mempersilakan Wina mendekat pada Sabira yang kondisi wajah dan tangannya terluka parah.

Mata Ola bisa menangkap keadaan Ibunda Sabira yang saat ini tampak begitu kacau. Rambut yang biasanya cantik terurai kini hanya diikat asal-asalan. Wajahnya pucat dan tak sanggup menahan laju air mata tatkala melihat kondisi putri cantiknya yang begitu memprihatinkan. Tangan Wina membelai lembut rambut anaknya dengan hati nelangsa. Dia sungguh tak bisa menerima hal ini dan bertekad melaporkan mantan kekasih Sabira pada pihak yang berwajib sesegera mungkin.

Wanita yang saat ini masih mengenakan blazer dan celana panjang hitam itu segera mengambil ponsel dan menelepon supirnya yang sedang menunggu di lobi rumah sakit. Raut wajahnya tampak serius ketika berbicara pada sang supir.

"Pak, tolong siapkan rekaman CCTV yang ada di dekat gerbang, ya! Setelah itu segera serahkan ke pengacara saya. Nanti saya kirim alamatnya," perintahnya tegas.

Kemudian wanita berparas cantik itu menutup telepon dan kembali menatap sang putri yang tengah termenung sambil terus menangis di pinggir tempat tidur. Wina menghampirinya lalu memeluknya erat. "Tenang, ya, sweetheart ... Mami akan buat perhitungan dengan mantan pacar kamu itu. Masalah ini harus tuntas diselesaikan di pengadilan dan lelaki pengecut itu harus dihukum seberat-beratnya!" ucap Wina dengan geram. Napasnya memburu menahan gejolak amarah yang menjalar di dadanya. Sebagai seorang ibu, tentu saja Wina merasa sangat hancur ketika tahu anaknya diperlakukan seperti ini. Harga dirinya terluka dan nama besarnya terlecehkan.

"Sabira, anakku sayang, kamu jangan khawatir, ya ... wajahmu akan kembali cantik lagi, kok. Mami punya kenalan dokter bedah plastik yang terhebat di Korea. Kalau kondisimu sudah stabil, kita akan segera ke sana, ya!" lanjutnya sambil menatap Sabira dengan penuh kasih sayang.

Tanpa diduga, Sabira malah melepas pelukan maminya dengan kasar lalu berteriak kencang. "Nggak mau! Aku nggak mau ke Korea atau ke mana pun! Lebih baik aku mati aja nyusul Papi!" pekik sabira dengan suara bergetar. Tak lama setelah itu tangis histerisnya pecah memenuhi ruangan. Tangan kirinya menjambak rambut kuat-kuat dengan rasa frustrasi yang mendalam. Sontak saja mahkotanya yang hitam dan tebal itu tampak awut-awutan. Gadis cantik itu terus berteriak tak terkendali seolah ingin melepas beban yang ada di hati. Melihat itu, sang ibunda tetap berusaha memeluk dan menenangkan, tetapi Sabira terus saja memberontak.

Ola yang sejak tadi melihat pemandangan menyedihkan itu akhirnya turut membantu membujuk Sabira untuk lebih tegar dan mengendalikan diri dengan memegang tangannya, tetapi gadis itu langsung menepisnya dengan kasar seolah enggan disentuh oleh siapa pun. Ia terus meracau dengan tangisan yang kian memilukan.

"Ini semua juga salah Mami! Mami nggak pernah ada ketika aku butuhkan! Mami nggak pernah punya waktu untuk sekadar dengerin aku cerita apalagi ngobrol sama aku. Mami jahat! Ini semua juga salah Mami!" ucap Sabira sambil menangis tersedu-sedu dan melemparkan barang-barang yang berada di sekitarnya ke segala arah.

Ola dan Wina kebingungan menghadapi hal ini. Mereka memutuskan menekan bel untuk memanggil perawat yang berjaga di nurse station sambil terus berusaha menenangkan gadis yang tengah berada di titik nadir itu. Namun, Sabira benar-benar tak bisa dikendalikan lagi. Ia terus saja meronta-ronta seraya menangis tergugu dan tak henti meracau serta melemparkan apa pun yang ada di sekitarnya.

Sambil menunggu perawat datang, Ola tetap berusaha menenangkan selebgram cantik itu, sedangkan Wina merasa tak sanggup lagi. Ia melangkah mundur. Bibirnya bergetar lalu menggelengkan kepala pelan sambil meneteskan air mata saat menatap putrinya. Ia sama sekali tak menyangka gadis cantik kebanggaannya akan sedepresi ini.

Rasa bersalah diam-diam menyelusup ke dalam hatinya karena apa yang dikatakan anaknya tadi memang tak salah. Selama ini dia memang tak pernah punya waktu untuk anak satu-satunya itu. Berjuta pengandaian pun tiba-tiba muncul di benaknya. Andai saja dia lebih perhatian dan lebih peka, andai saja tak terlalu sibuk bekerja, dan seandainya ia lebih banyak di rumah dibanding bersama teman-teman sosialitanya mungkin anak gadisnya tak mungkin jatuh ke pelukan lelaki biadab itu dan peristiwa ini mungkin tak akan terjadi. Wina menelan ludah dan mengusap dada pelan sambil menjatuhkan dirinya ke sofa. Kedua tangannya menutup wajah lalu menangis pilu menyesali kesalahannya selama ini. Ia sungguh berharap hatinya bisa tetap kuat dalam menghadapi semuanya dan bisa memperbaiki hubungan dengan Sabira. Wanita itu berjanji tak akan pernah lagi menyia-nyiakan waktu dengan putri satu-satunya itu.

BERSAMBUNG..

Nah, kan, penyesalan selalu datang belakangan, kan! Hmm... Sumpah part ini berat banget nulisnya. Aku baper ikut ngerasain pedihnya hati Sabira. Hiks.
Kalau kalian gimana, Gaes? Komen yuk di bawah dan jangan lupa vote supaya terus semangat lanjut. Makasiii, yaa..

Luvluv
-DIA 💓

MY SEOUL-MATEWhere stories live. Discover now