1. Sabira Aninria

300 39 23
                                    

Sabira melepas high heels yang dikenakan lalu melemparnya ke arah pintu. Kakinya berselonjor sambil dipijat pelan-pelan untuk mengusir pegal. Kemudian gadis itu bersandar di tempat tidur sambil menggeliat sampai tulang-tulangnya berbunyi. Sabira mengembuskan napas lelah setelah melakukan pemotretan untuk sepuluh produk yang di-endorsenya sampai siang ini. Sebagai selebgram dengan hampir satu juta pengikut ditambah wajah cantik dan postur tubuh yang proporsional banyak client yang mempercayakan produk mereka untuk di-endorse olehnya. Mulai dari sepatu, celana, baju, jam tangan hingga makanan semua diterima selama memenuhi syarat.

Ya. Syarat. Sabira termasuk selektif dalam menerima produk endorse. Gadis itu tak mau menerima produk KW alias palsu, skin care abal-abal, peninggi, pelangsing, dan semacamnya, sebab hal itu hanya akan membodohi masyarakat awam yang kebanyakan mengikuti saja apa pun yang dikatakan idolanya. Sebagai influencer, Sabira tak mau menyesatkan. Terlebih dari itu, dia juga enggan mengambil risiko.

"Sab, 15 menit lagi ready, ya!" teriak Ola, manajer yang juga temannya sedari SMA. Sabira menelan ludah. Wajahnya beberapa kali diusap untuk mengusir rasa lelah. Dari pagi sampai siang ini, berbagai pose dengan aneka produk telah dilakukan. Jangan dipikir mudah, sebab Setiap produk yang difoto bersamanya harus berkonsep. Sabira harus menggunakan pakaian, angle, dan background yang berbeda. Client-nya kebanyakan ingin produknya dipotret secara ekslusif seperti itu sehingga dia harus berganti pakaian berkali-kali dan berpindah-pindah tempat untuk mencari background foto terbaik. Beruntung, rumah peninggalan ayahnya ini sangat luas dan mewah hingga ia leluasa menentukan tempat untuk mengambil gambar.

Sabira yang anak tunggal hanya tinggal bertiga dengan Wina, Ibunya yang workaholic dan jarang berada di rumah serta seorang Asisten Rumah Tangga di rumah bertingkat dua dengan halaman luas ini. Sementara Angga, Ayahnya sudah meninggal empat tahun lalu.

"Sab, Ayo siap-siap!" teriak Ola lagi membuyarkan lamunannya. Sabira beringsut dari kasur sambil mendengkus sebal. Kakinya masih terasa pegal-pegal dan matanya sudah mengantuk luar biasa. Terlebih semangkuk mie ayam telah berpindah tempat ke perutnya sebelum dia masuk ke kamar tadi. Namun, demi profesionalitas, dia dituntut harus terlihat selalu ceria di depan kamera.

"Kok layu gitu, sih? Tuh lihat masih ada sepuluh produk lagi untuk hari ini!" Ola menunjuk tumpukan produk dengan ujung dagunya ketika Sabira keluar kamar dengan wajah tak bersemangat.

Mata Sabira terbelalak. "Hah! Sepuluh lagi? Emang nggak bisa besok, ya? Capek banget gue, La!" Sabira melemparkan bokongnya ke sofa dengan mata terpejam.

"Heh! Jangan ngadi-ngadi! Semakin lo tunda, maka akan semakin numpuk tu barang. Lo sih enak, kaga dikejar-kejar ama client, lha gue nih yang babak belur di WA-in mulu." Ara dengan logat betawinya bertolak pinggang memandang Sabira yang masih bersantai-santai di sofa.

Sabira memang berbeda dengan selebgram lain yang biasanya memakai jasa manajemen profesional untuk mengatur produk endorse-nya. Gadis itu hanya mengandalkan Ola, anak Betawi yang semangat bekerja membantu Sabira demi bisa membiayai kuliahnya sendiri. Sabira tersenyum dengan fakta itu, dia memperkerjakan Ola agar bisa melanjutkan kuliah. Sedangkan dirinya sendiri justru kehilangan minat meneruskan kuliah sejak merasakan asyiknya jadi selebgram dari kelas XI SMA. Padahal Wina, Mamanya sangat menginginkan putri satu-satunya itu melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, mengingat dia satu-satunya ahli waris di keluarga ini.

"Oke, Bosku! Ayo lah abisin! Produk apa sekarang?" Sabira bangkit lalu men-touch up riasannya sebentar sambil berupaya memperbaiki moodnya dengan sebatang cokelat yang merupakan produk endorse juga. Hampir semua barang dan makanan yang berada di rumah ini adalah produk dari client. Sabira hanya tersenyum ketika mendengar masyarakat kebanyakan berpikir betapa beruntung hidupnya dibanjiri produk cuma-cuma plus dibayar. Mereka tak mengerti produk-produk yang datang itu adalah tanggung jawab yang harus diselesaikan. Jika tidak, maka nama baiknya yang menjadi taruhan.

"Ini nih!" Ola menyodorkan sebuah tas berwarna merah berbentuk hati yang tampak serasi dengan baju Sabira saat ini. Tas itu sudah mengantre dua bulan sampai akhirnya mendapat jadwal hari ini. Bisa dibayangkan bukan betapa banyak barang yang harus difoto setiap hari?

Sabira mengenakan tas itu lalu berpose dengan aneka gaya dan senyum lebar di depan taman rumahnya. Ola tersenyum puas lalu memberikan produk berikutnya dan berfoto lagi sampai tak terasa senja telah menyapa dan akhirnya sesi pemotretan hari itu selesai. Tugas selanjutnya adalah mengunggah foto-foto itu di feed instagram. Tentu saja itu masih tanggung jawab Ola, sang manajer tercinta.

Ketika Ola merapikan barang-barang yang sudah difoto, tiba-tiba seorang lelaki yang sosoknya tak asing datang dengan wajah tegang menghampiri Sabira yang tengah duduk di halaman sambil meminum air mineral dingin.

"Ke mana aja kamu, cewek bodoh?" Kata-kata kasar itu memelesat begitu saja dari mulutnya sambil melayangkan sebuah tamparan ke pipi Sabira. Ola yang melihat itu langsung datang menghampiri mereka dengan wajah geram.

"Eh, jangan kasar ama cewek, dong!" Ola bertolak pinggang dan memasang wajah ingin menerkam.

Mata Arqi memandang Ola dengan tatapan menyilet. "Heh, lo nggak usah ikut campur! Ini urusan gue sama Sabira!"

"Enak aja! nggak bisa gitu dong! Gue nggak bisa diem aja lihat temen gue dipukul kaya tadi!" Ola semakin emosi. Matanya menyalak dan ingin balas memukul si lelaki pengecut itu.

"La, la, it's ok. Lo pulang aja, deh! Gue aman." Alih-alih membiarkan Ola membelanya, Sabira malah menyuruhnya pulang. Sontak saja Ola menolak dan memilih menunggui mereka sambil mengawasi dari jauh.

"Kenapa nggak balas pesanku, brengsek?" bentak Arqi setelah Ola meninggalkan mereka berdua. Wajahnya memerah menahan marah dan tangannya mengepal kuat-kuat.

"Maaf banget, aku belum sempat lihat ponsel," kilah Sabira dengan suara serak.

Mendengar itu, Arqi nyaris saja melayangkan lagi tamparan ke wajah cantik Sabira jika Ola tak memelotot ke arahnya.

"Aku tahu, kamu mau menghindariku, kan?" Kali ini tangan Sabira dicengkram erat-erat hingga dia merasa kesakitan.

Sabira menunduk sambil memegangi tangannya yang sakit. "Nggak, By, aku nggak jauhin kamu, kok. Endorse-an emang semakin banyak jadi aku harus pemotretan setiap harinya dan jadwalku full. Bener-bener belum sempat liat hape. Maaf banget."

"Atau ada lelaki lain di hatimu?" Mata Arqi menyelidik.

"Enggak ada, demi Tuhan." Sabira mengacungkan jari. Bersumpah agar Arqi percaya dan menghentikan siksaannya.

"Ah, sudahlah! Bosan aku dengar omong kosongmu! Stupid! Nanti malam dandan yang cantik dan pakai baju ini. Kita mau makan malam bareng teman-temanku!" teriak Arqi sambil melempar sebuah paper bag berisi pakaian. Kemudian dia bergegas pergi tanpa mempedulikan Sabira yang mati-matian menahan air mata agar tak sampai jatuh di pipinya.

BERSAMBUNG...

======

Halooo teman-teman, gimana gimana, suka nggak dengan Bab pembuka ini? Ada saran atau kritik? Boleeh banget looh komen di bawah ini! Makasiiih, yaaa..

Luvluv..💓

-DIA

MY SEOUL-MATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang