43. Festival Musim Semi

76 9 4
                                    

Sabira memandang takjub hamparan bunga sakura yang bermekaran begitu indah di hadapannya dengan pandangan mengabur. Ada terlalu banyak air mata menggenangi, meski sejak tadi sudah cukup banyak yang meleleh di pipi. Sabira tahu kali ini air matanya bukan lagi berasal dari rasa sedih di hati melainkan karena bahagia dan terharu luar biasa dengan apa yang dilihatnya kini.

Bagaimana tidak, selama berminggu-minggu setelah kejadian menyakitkan itu, hidupnya hanya berkutat di rumah sakit dan tak pernah mendapat pemandangan yang luar biasa seperti ini.

Sekitar pukul empat sore Sabira bersama Ola dan Daffa pergi ke Yeouido Cherry Blossom Festival, salah satu festival musim semi yang diselenggarakan di kota Seoul, tepatnya di area Yeouido-dong, Yeongdeungpo-gu. Di belakang Gedung Majelis Nasional yang juga terletak di dekat sungai Han yang sering ditampilkan di beberapa drama Korea terkenal.

"Kamu suka, Bia?" Daffa yang baru saja kembali dari membeli tteokbokki bersuara dari arah punggungnya. Sabira terpekik pelan karena kaget, tangan kanannya refleks menghapus air mata lalu tersenyum ke arah Daffa.

Dia belum sempat berbalik saat menyadari sekuntum bunga diselipkan di telinganya. Aroma bunga yang begitu semerbak menggelitik hidungnya dan tentu saja sentuhan kecil itu menghadirkan gelenyar aneh di dada dan perutnya mendadak mulas. Gadis itu hanya terpaku untuk beberapa waktu.

"Aku suka banget. Terima kasih sudah mengajakku ke sini." Sabira akhirnya mampu bersuara setelah mati-matian mengendalikan perasaan. Gadis itu tak mampu lagi menampik fakta bahwa Daffa adalah lelaki yang begitu tulus dan mampu membuatnya merasa begitu bahagia.

"Sama-sama, Bia. Aku juga senang bisa ke sini sama kamu," ungkap Daffa sambil menatap Sabira lekat-lekat dari jarak yang begitu dekat. Gadis yang hari ini mengenakan cardigan pink dan rok biru muda selutut itu bisa merasakan jantungnya semakin kencang berdetak.

"Bunga-bunganya cantik banget, ya? Rasanya pingin aku bawa pulang," ucap Sabira sambil menahan desir halus di hatinya dan menutupi kegugupan yang tiba-tiba hadir di antara mereka.

"Kamu lebih cantik. Boleh aku bawa pulang?" kata Daffa pura-pura serius lalu tak lama kemudian tersenyum lebar.

Sabira bisa merasakan wajahnya memanas dengan rasa jengah. Hatinya bertanya-tanya bagaimana bisa lelaki ini begitu tulus mendampinginya padahal wajahnya kini tak lagi sempurna. Pemuda itu juga terus berusaha mendekatinya padahal berkali-kali ia menolak dan mengabaikannya.

"Maaf, Bia, aku becanda." Daffa mulai khawatir dengan ekspresi Bia yang tak terbaca. Gadis itu hanya diam seraya termenung dan terlihat berpikir keras.

"Eh, nggak, nggak apa-apa, kok. Aku hanya, hmm, ah sudahlah," Sabira tiba-tiba merasa kikuk dan lidahnya kelu hingga begitu sulit menguraikan kata.

"Bia, kamu tahu nggak, bunga sakura yang cantik itu hanya bisa bertahan paling lama seminggu lalu kemudian mati dan berguguran begitu saja," kata Daffa sambil ikut duduk di samping Sabira.

"Oh ya? Sayang banget, dong!"

"Ya begitulah, Bia, sesuatu di dunia ini tak ada yang abadi. Semua punya waktu untuk kembali. Begitu juga dengan kita, semua yang kita miliki sejatinya bukan milik kita. Jika suatu waktu Tuhan memintanya kembali harusnya kita bisa menerima dan berlapang dada."

Sabira tersentak karena merasa kalimat itu ditujukan langsung untuknya yang belakangan putus asa karena wajahnya tak lagi sempurna.

"Kamu benar, aku harus banyak belajar untuk itu," ucap Sabira seraya menatap bunga sakura berwarna pink yang begitu melimpah di sekitarnya.

Perhatian Sabira masih terpusat pada semaraknya bunga Sakura yang cantik ketika Daffa menggenggam tangannya. Sabira menoleh. Daffa mengarahkan telunjuknya ke bibir, menyuruhnya diam. Perlahan Sabira ditarik menerobos dan menyelinap di antara wisatawan-wisatawan lain yang sedang menonton pertujukan musik yang ada di sana.

MY SEOUL-MATEWhere stories live. Discover now