36. Penolakan

90 12 6
                                    

Kepanikan dan teriakan beberapa staff Ardi Yusuf memenuhi ruangan ketika mengetahui ada yang pingsan di sana. Dengan cekatan mereka datang membantu memindahkan tubuh Wina yang lunglai itu ke sofa lalu mencoba menyadarkannya dengan memanggil nama dan menepuk-nepuk pipi serta mengoleskan minyak kayu putih ke dahi dan hidungnya.

Sepuluh menit berlalu akhirnya Wina tersadar dan langsung berusaha bangkit dari posisi tidur. Namun, tubuhnya langsung terjatuh lagi ke sofa. Tulang-tulangnya terasa lemas dan kepalanya pening luar biasa. Wanita itu tampak kelelahan akibat bolak balik terbang puluhan jam Jakarta-Seoul dan sebaliknya. Terlebih tadi mendengar kabar tentang Sabira sehingga membuatnya semakin merasa begitu lemah hingga harus tak sadarkan diri seperti ini. 

"Bu, jangan bangun dulu! Ini, Bu diminum teh manis hangatnya," ujar Fitri, sekretaris Ardi Yusuf sambil menyodorkan gelas. Sementara itu staff lain yang tadi membantu kembali keluar ruangan untuk melajutkan pekerjaannya masing-masing.

Wina mengambil teh itu lalu menyesapnya setelah dibantu duduk oleh Fitri. "Saya harus ke Korea sekarang," ucapnya sambil menatap lurus ke depan.

Semua orang di sana terutama Ardi tersentak. "Tapi, Bu, bukankah Anda baru saja tiba dari sana?" tanya sang pengacara muda itu seraya menatap iba client-nya.

Wina mendesah pelan dan meneteskan air mata. "Sabira lebih membutuhkan kehadiran saya." Meskipun tubuhnya sakit dan lelah, nalurinya sebagai ibu tak mau menyerah.

Ardi menatap bingung Wina yang masih terbaring lemah. "Hmm baik, Bu, tapi lebih baik Anda istirahat dulu sebelum berangkat. Saya rasa juga sebaiknya Anda ke dokter terlebih dahulu sebelum terbang lagi ke negeri ginseng itu."

"Tidak perlu. Saya baik-baik saja, kok, ini hanya sedikit kelelahan dan shock. Nanti di mobil juga bisa istirahat. Sepeninggal saya ke Korea, tolong bantu saya untuk menyelesaikan masalah ini! Lakukan saja apa pun yang terbaik agar penjahat itu mendapat hukuman setimpal," ujar Wina lagi dengan tatapan tajam ke arah Ardi Yusuf.

Pengacara muda itu mengangguk mantap seraya menatap wanita di hadapannya itu dengan penuh rasa empati.

****

"Gimana, La?" tanya Daffa dengan wajah cemas.

"Nggak ada jawaban. Hmm... aku rasa beliau pingsan, deh, Kak, sebab tadi terdengar suara teriakan beberapa orang yang panik di sana.

Daffa menghela napas dan membuangnya perlahan. "Semoga beliau baik-baik saja," gumam pemuda itu.

Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki yang keluar dari ruang ICU. Dari kejauhan tampak seorang perawat senior berjalan dengan tenang menghampiri Daffa dan Ola yang tengah menunggu dengan gelisah.

"Pasien atas nama Sabira Aninria sudah sadar. Kalian keluarganya?" tanya perawat itu sambil tersenyum lega setelah tiba di hadapan Daffa dan Ola.

"Sungguh, Sus?" tanya Daffa dan Ola berbarengan.

Perawat itu mengangguk mantap. "Iya, dan sekarang kondisinya sudah stabil."

"Alhamdulillah," teriak Daffa dan Ola setelah saling tatap untuk beberapa saat. Tanpa menunggu aba-aba mereka langsung berlari menuju ruang ICU karena telah tak sabar untuk menemui Sabira. Namun, karena hanya satu orang saja yang diperkenankan masuk, Ola mengalah. Dia menunggu di luar dan mempersilakan Daffa yang masuk terlebih dahulu.

"Kenapa kamu nyelametin aku?" tanya Sabira lemah ketika Daffa sudah duduk di kursi yang tersedia di samping tempat tidurnya.

Daffa diam karena tahu itu hanyalah pertanyaan retoris.

"Kenapa kamu nggak membiarkan aku mati saja?" protes Sabira sambil meneteskan air mata.

Daffa menggeleng pelan. "Bia, jika kamu masih diberi kesempatan untuk hidup, itu artinya dunia ini masih butuh kamu dan Tuhan masih memberikan kesempatan untuk melakukan banyak hal."

Daffa menelan ludah sambil melanjutkan sebuah kalimat dalam hati, "Karena kamu penting buatku. Sudah lama sekali aku memimpikan pertemuan ini. Ada banyak yang ingin aku bicarakan padamu, Bia."

Daffa menatap gadis yang kini tampak tirus itu dengan lembut. Ingin rasanya Daffa membelai rambut dan mengusap wajah gadis itu, tetapi tentu saja urung karena ia tak ingin membuat Sabira tambah takut dan risih padanya.

"Aku udah nggak punya masa depan!" ucap Sabira sambil meneteskan air mata.

Daffa menggeleng kuat-kuat. "Masa depan akan selalu ada bagi orang yang tidak berputus asa, Bia. Kamu harus semangat dan buktikan sama semua orang kalau kamu kuat dan bisa bangkit lagi dengan lebih hebat."

"Buat apa aku bangkit, semua mimpiku sudah hancur. Tak ada lagi yang tersisa," protesnya lagi dengan wajah muram.

"Jika impian lamamu sudah hancur. Kenapa tidak membuat mimpi yang baru? Aku yakin kamu bisa mewujudkan impian lain yang tak kalah luar biasa." Daffa tersenyum mencoba menularkan optimisme untuk gadis pujaannya.

Mendengar itu, hati Sabira terasa sejuk dan jiwanya seolah baru saja ditetesi bahan bakar yang membuatnya kembali bergairah menatap masa depan. Namun, tentu saja ia masih tak mau mengakui hal itu di depan Daffa, seorang lelaki yang masih asing dalam hidupnya.

"Menciptakan mimpi baru tak akan pernah mudah, mungkin mati lebih baik bagiku," ujar Sabira lagi seolah ingin menantang Daffa.

"Memang tak ada yang mudah di dunia ini, Bia. Untuk kembali bertemu kamu saja, aku harus menunggu bertahun-tahun. Kamu pikir mudah setiap hari hanya bisa melihatmu dari kejauhan? Kamu pikir hati tak perih ketika menyaksikanmu bersama lelaki lain?" lagi-lagi Daffa hanya mampu melanjutkan kalimatnya di dalam hati.

"Tetapi mati bukan solusi karena bisa jadi itu malah hanya akan menambah masalah baru," lanjut Daffa sambil memandang Sabira dengan penuh kasih.

Sabira menatap balik wajah Daffa yang terlihat begitu tulus. Hatinya yang membeku tiba-tiba terasa cair oleh keteduhan wajahnya. Kata-katanya menenangkan dan senyumnya membuat hatinya nyaman. Namun, gadis itu masih takut membuka hati pada lelaki. Rasa trauma itu tak mampu dicegah dan seringkali tiba-tiba muncul begitu saja.

"Tidak-tidak, aku sudah jelas -jelas tidak punya masa depan," ucapnya dengan suara serak. Air matanya kembali mengalir deras membasahi kedua pipinya.

"Aku yang akan menjadi masa depan untukmu, Bia," tegas Daffa. Akhirmya calon dokter itu tak mampu mengendalikan lisannya untuk mengatakan apa yang ada di dalam hati.

Alih-alih bahagia, Sabira malah semakin tersedu-sedu. "Tolong tinggalkan aku sendiri," pungkasnya dengan kedua tangan yang menutupi wajahnya.

Daffa berdiri lalu menatap gadis di hadapannya lekat-lekat. "Maaf, kalau ucapanku tadi membuatmu sedih. Aku tahu, mungkin bagimu ini terlalu dini. Hmm, aku harap kita bisa menjadi sahabat," ucap Daffa sebelum beranjak pergi meninggalkan cintanya yang masih tenggelam dalam duka yang begitu menghunjam.

BERSAMBUNG..

======

Sabiraaa maunya apa, yaaa hiks..
Btw, ending seperti apa sih yang kamu harapkan dari kisah Sabira? Plisss komen, yaa...😊
Jangan lupa vote juga hehe (klik tanda bintang di bagian kiri bawah)
Makasihhh
Luvluv
-DIA

💓💓💓💓

MY SEOUL-MATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang