15. Usai di Sini

97 19 3
                                    

"Bukannya aku mudah menyerah. Tapi bijaksana. Mengerti kapan harus berhenti. Ku menunggu tapi tak selamanya."
Raisa, Usai di Sini

Pagi ini, Sabira bangun dengan rasa nyeri yang begitu menusuk di sekujur tubuh. Kepalanya terasa berat dan matanya sembap. Ia mencoba bangun dan duduk di pinggir kasur, tetapi tubuhnya begitu lunglai. Tulangnya seolah tak sanggup menopang tubuhnya saat ini sehingga ia kembali berbaring dengan selimut yang menutupi tubuh.

Sabira memegangi wajahnya yang masih terasa perih setelah semalam ditampar berkali-kali oleh kekasihnya sendiri. Dia juga bisa merasakan ujung bibirnya robek karena tamparan Arqi yang terlalu keras. Sabira tak tahan lagi. Harapannya agar Arqi berubah ternyata hanya angan-angan yang mustahil terwujud.

Dengan penuh keyakinan, gadis itu mengambil ponsel lalu mengirim pesan whatsapp pada Arqi untuk meminta putus. Kali ini dia benar-benar meneguhkan hati dan bertekad untuk tidak lagi menerimanya kembali. Hati wanita itu sudah terlalu lelah menerima perlakuan Arqi yang semakin kasar terhadapnya. Setelah mengirim pesan pada Arqi, Sabira juga menghubungi Ola agar tak datang ke rumah hari ini, tetapi telat, manajernya itu ternyata sudah berdiri di depan pintu kamar.

"Sab, lo udah ready, kan?" teriak Ola dari balik pintu.

"Masuk, La," sahut Sabira lemah.

Ola menekan handel pintu lalu masuk ke dalam kamar Sabira yang cukup luas. Ruangan itu didominasi cat berwarna pink dengan beberapa furnitur import dengan harga selangit. Ola kaget saat melihat Sabira masih terbaring lemah di kasur.

"Lo kenapa? Sakit?" tanya Ola setelah duduk di pinggir tempat tidur. Sabira tampak lemah dan wajahnya juga terlihat pucat. Ola memegang kening Sabira lalu terkesiap.

"Panas banget, Sab. Udah sarapan belum? Udah minum obat?" tanya Ola tanpa henti.

Sabira menggeleng pelan.

"Oke bentar, gue ambilin makan dulu, ya. Habis itu lo minum obat. Hari ini istirahat aja, deh, nggak usah ngurusin endorse-an dulu!" Ola berdiri lalu bergegas ke ruang makan untuk mengambil makanan. Di sana Mbok Darmi terlihat sedang merapikan meja makan.

"Eh, Mbak Ola. Ayo sarapan, Mbak! Mau saya ambilin?" tawar Mbok Darmi ramah.

"Eh, enggak, Mbok, makasih. Aku mau ambilin makan buat Sabira. Kasian dia, badannya panas."

"Oh ya? Ya ampun. Ya udah biar Mbok yang ambilin, Mbak. Sebentar, ya!"

Ola menurut, dia menunggu Mbok Darmi menyiapkan makanan sambil mengunyah kerupuk udang yang tersedia di atas meja.

"Mbok, maminya Sabira tuh emang sibuk banget, ya?"

"Ya begitulah, Mbak, dari waktu masih ada bapak, beliau memang jarang di rumah. Opo yo istilahne?" Mbok Darmi mendongakkan kepala sambil menggerakkan bola matanya ke kiri dan ke kanan.

"Wanita karir?" tebak Ola.

"Nah iya itu, Mbak." Mbok Darmi tersenyum dan mengarahkan jempol pada Ola.

"Mbok sama sekali nggak pernah lihat mereka ngobrol gitu?" tanya Ola penasaran.

"Ya pernah, Mbak, tapi jaraaang banget. Emang kenapa, ya, Mbak?" tanya Mbok Darmi sambil menyodorkan sepiring nasi lengkap dengan sayur sop, ayam goreng, dan kerupuk udang.

"Eh, enggak apa-apa, Mbak." Ola menerima piring lalu bergegas kembali ke kamar Sabira untuk menyuapinya. Dengan telaten, Ola juga memberikan obat penurun panas dan menyuruhnya istirahat.

"Gue tinggal dulu, ya, Sab. Kalau butuh apa-apa panggil aja. Gue di depan kamar mau upload beberapa foto ke instagram lo," ucap Ola setelah selesai merawat Sabira.

"La, tunggu!" ujar Sabira seraya memegang tangan manajernya.

"Eh, kenapa?" Dahi Ola mengernyit saat menatap mata Sabira yang tiba-tiba berembun.

"Arqi udah tahu soal film itu, La!" ucap Sabira dengan suara serak. Tak lama kemudian terdengar tangisan memilukan yang keluar dari mulutnya. Bahunya juga berguncang hebat seiring dengan air mata yang terus mengalir.

"Ya ampun! Terus gimana? Lo disiksa lagi?" ucap Ola sambil menenangkan Sabira dengan memeluk dan mengusap-usap punggungnya pelan. Sebenarnya itu pertanyaan retoris yang tak perlu dijawab sebab Ola sudah tahu lelaki pengecut itu pasti sudah menyakiti temannya secara fisik dan mental.

"Sialan tu orang!" ujar Ola geram. Tangannya terkepal menahan emosi yang semakin memuncak pada Arqi.

"Mending lo visum, deh, Sab. Laporin si brengsek itu ke polisi." Ola melepaskan pelukannya lalu memperhatikan wajah Sabira yang lebam dan terluka.

Sabira menggeleng sambil mengusap air mata. "Biarin aja, La. Gue udah minta putus."

"Nah bagus itu! Mending begitu, Sab daripada lo tersiksa kaya gini. Toxic banget tu orang!" Ola yang kesal tak mampu menahan lagi makiannya untuk lelaki pengecut itu.

"Eh, tapi lo yakin nggak mau laporin dia?" tanya Ola lagi.

"Nggak, La. Gue males berurusan sama hukum."

"Hmm, kalau ke rumah sakit?"

"Nggak, La. Gue istirahat aja dulu, deh. Mudah-mudahan bentar lagi enakan."

Ola tampak ragu, tetapi dia tak bisa memaksa keinginan sahabatnya. "Ya udah, Sab, cepet sembuh, ya! Gue tinggal dulu ke depan. Tidur ya jangan malah main hape!"

Sabira mengangguk lalu mencoba memejamkan mata. Namun, baru sesaat ia terlelap, tiba-tiba terdengar suara ponsel berbunyi nyaring. Sebuah video call dari Arqi. Sabira mengabaikan panggilan yang dilakukan berkali-kali itu sampai akhirnya Arqi mengirimkan sebuah foto di aplikasi whatsapp.

Awalnya gadis itu malas membuka lagi pesan darinya, tetapi rasa penasaran tak mampu mencegah untuk melihat apa yang dikirimkan lelaki itu. Betapa kagetnya ia ketika matanya melihat foto tangan Arqi yang berdarah karena sayatan silet yang terlihat berada di dekatnya. Gadis yang masih merasa lemas dan pusing itu langsung bangkit dan menelepon Arqi dengan panik.

"Arqi! Kamu apa-apaan, sih?" bentak Sabira dengan hati yang dongkol.

"Aku nggak mau putus dari kamu!" teriak Arqi dari ujung telepon.

Sabira mencebik dan tersenyum miris. "Kamu gila, ya?"

"Iya aku gila karena cintamu!"

Sabira mendecak penuh benci. "Terserah lah kamu mau bunuh diri atau apa pun aku nggak peduli!" teriak gadis itu sebelum menutup telepon. Setelah itu dia memblokir nomor Arqi dan semua media sosialnya. Sabira juga langsung mematikan ponsel lalu melemparnya ke bawah kasur. Gadis itu berusaha tak mempedulikan ancaman lelaki itu meski hatinya diserang rasa takut yang teramat dalam ketika membayangkan jika ancaman Arqi benar-benar terjadi.

Namun, Sabira kembali meneguhkan hati dengan keputusannya untuk berpisah dari Arqi. Kejadian semalam  benar-benar menyakitinya secara lahir dan batin dan kali ini dia tak mau lagi mentolerir perbuatan lelaki beracun itu. Dia harus tegas dalam mengambil keputusan agar bisa benar-benar lepas dari toxic relationship yang sangat menyiksa ini.

BERSAMBUNG..

Hmm.. Apakah Sabira bisa benar-benar lepas dari Arqi? 🤔

Jangan lupa vote n komen ya, gaes! 😎

MY SEOUL-MATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang