12. Pelik

98 23 6
                                    

Sekarang pukul satu siang, Sabira dan Ola tengah menantikan Joni Andara, sutradara ternama Indonesia di kantornya yang cukup luas. Pandangan Sabira menyapu ruangan yang didominasi warna abu-abu. Komputer keluaran terbaru, beberapa berkas, dan foto-foto keluarga tertata rapi di atas meja kerja. 

Ruangan ini tidak terlalu luas, tetapi sangat rapi dan bersih sehingga membuat Sabira dan Ola nyaman menunggu di sofa empuk yang dilapisi bahan kulit berwarna hitam. Sambil menunggu, Sabira memperhatikan sebuah lukisan eksentrik yang menggantung  persis di atas sofa. Lukisan itu sungguh menarik perhatiannya karena warnanya yang kontras dengan ruangan dan bentuknya yang abstrak. Lukisan itu seolah menjadi anomali bagi suasana kantor yang terkesan gelap dan misterius. Sabira mengangguk, mungkin begilah cara sutradara idealis itu dalam mengekspresikan diri dan menunjukkan posisinya sebagai sutradara yang unik dan eksentrik.

Joni Andara memang bukan sutradara sembarangan. Karyanya sudah mencapai puluhan dan semuanya masuk dalam jajaran box office Indonesia. Setiap karyanya mengandung filosofi dan idealisme yang tinggi sehingga jutaan penonton puas dengan karyanya.

Sabira merasa beruntung kini bisa menjadi salah satu bagian dari karya sang sutradara andal itu. Terlebih perannya di sana adalah sebagai tokoh utama. Dia merasa terharu sekaligus gugup ketika membayangkan bisa bekerja sama dengannya. Ketika menunggu, Sabira tampak gelisah. Kakinya bergerak-gerak cepat dan tangannya mengepal erat-erat. Ola tampak menepuk-nepuk pundaknya dan menyodorkan sebotol air mineral agar temannya itu lebih tenang. 

Ketika Sabira baru minum sedikit, terdengar suara langkah kaki dari balik pintu. Tepat saat pintu terbuka, Sabira dan Ola bisa melihat sesosok lelaki paruh baya berambut cepak dengan postur tubuh tinggi menjulang. Mungkin jika Sabira berdiri, tingginya hanya setara dengan pundak sutradara itu. Siang ini, dia mengenakan celana jeans yang robek di bagian lutut dan dipadukan dengan kaus polos berwarna hitam.

"Halo Sabira, hai Ola, terima kasih sudah menunggu dan maaf juga saya telat karena tadi mobil tiba-tiba mogok," ujarnya ramah sambil duduk dengan kaki terlipat di depan kedua gadis itu.

"Nggak apa-apa, Pak. Kami belum terlalu lama juga kok. Mungkin sekitar sepuluh menit." Ola menjawab dengan sopan.

"Oh, syukurlah. So, langsung aja deh, gimana, Sabira, kamu yakin kan mau ambil peran ini?" tanya Joni sambil menatap lekat ke wajah wanita di hadapannya.

"Yakin, dong, Pak." Sabira menjawab dengan yakin meski jantungnya sejak tadi terus saja berdegup kencang. Tangannya tiba-tiba basah padahal pendingin ruangan masih berfungsi dengan baik.

"Bagus kalau begitu. Terus terang, saya memang merasa hanya kamu yang tepat memerankan tokoh ini. Tapi, saya khawatir kamu nggak mau memenuhi ide liar saya."

Mata Sabira membeliak dan mulutnya ternganga. "Ide liar? Maksudnya?" Gadis itu mulai takut sutradara di hadapannya ini memintanya melakukan adegan-adegan panas atau yang sejenisnya di dalam film nanti. 

Sang sutradara ternama itu tergelak hingga gigi gerahamnya terlihat. "Tenang aja, ini bukan bukan hal-hal menjurus ke sana kok!" ujarnya seolah bisa membaca pikiran Sabira.

"Lalu apa, Pak?" Sabira bergeser mendekat seolah sangat menantikan jawaban sutradara terbaik itu.

"Hmm, begini, Sab, film ini kan berkisah tentang pencarian jati diri seorang gadis yang labil. Nah, saya tuh pingin pemeran utamanya nanti mengecat rambutnya berwarna merah. Literally merah, loh! Semua bagian rambut ya, bukan sebagian aja. Well, saya tahu image kamu kan selebgram cantik dan polos yang nggak pernah aneh-aneh, makanya saya khawatir kamu menolak ini. Padahal menurut saya, karakter si tokoh akan semakin kuat dengan rambut merahnya."

MY SEOUL-MATEWhere stories live. Discover now