Telepon Genting

48 4 4
                                    

“Mamak? Kenapa lagi dia menelepon sepagi ini? Seperti nggak tahu aja dia aku sedang sibuk-sibuknya,” omelku saat melihat gadget di hadapanku terus bergetar.

Merasa nggak ada yang penting, sebab hari Minggu kemarin Mamak sudah menelepon selama tiga jam, kubiarkan saja benda pipih itu bergetar terus-menerus. Sementara itu, aku tetap fokus pada kertas-kertas yang ada di hadapanku.

“Angkat, Ra!” perintah Sasa yang ada di kubikel sebelahku.

“Kemarin Mamak sudah telepon lama kali, Sa, sampai tiga itu."

Mendengar ucapanku, akhirnya Sasa hanya bisa mengangkat bahu dan kembali bekerja.

Namun, lama-kelamaan, naluriku sebagai seorang anak tergerak juga. Maka dengan berat hati kutekan juga tanda hijau di gadget itu.

Mora: Ada apa, Mak?

Mamak: Eh, ketus kalilah sapaan kau ini. Macam tak boleh Mamak kau menelepon.

Mora: Bukan nggak boleh, Mak. Tapi, sekarang aku sedang sibuk. Aku sedang di kantor, Mak. Lagian, semalam kan, Mamak sudah menelepon.

Dari jauh kudengar embusan napas yang berat sekali di seberang sana.

Mamak: Kemarin itu Mamak lupa tanya, kapan kau bisa kasi kami cucuk?

Mora: Astagfirullah, pertanyaan macam apa ini, Mak? Aku ini manusia, bukan kucing yang asal bisa kawin tanpa perlu pergi ke KUA.

Ah, ada-ada saja pertanyaan Mamak ini, bikin mood bekerjaku hilang seketika saja.

Mamak: Kalau begitu, cepatlah kau ke KUA.

Mora: KUA, Mamak. Kantor urusan agama.

Mamak: Ah, terserahlah apa namanya itu. Yang penting sekarang Mamak mau kau segera berikan kami cucu. Bukan apa-apa, Nang (Nak), Mamak dan Bapak kau ini sudah tua. Takut kami mati sebelum sempat melihat cucu.

Mendengar permintaan Mamak, aku hanya bisa menarik napas panjang. Mamak seperti nggak mengerti posisiku saat ini. Jangankan memberinya cucu, cowok saja aku nggak punya.

Mora: Sudahlah, Mak, lain kali saja kita bahas masalah ini. Sekarang aku sedang sibuk bekerja. Lagian, sekarang aku belum punya calon yang bisa diajak ke KUA.

Mamak: Kalau begitu ....

Mora: Siap, Pak. Saya segera ke sana. Ah, sudah dulu ya, Mak. Aku dipanggil bos. Assalamualaikum, Mamak.

Dengan segera kumatikan sambungan telepon dari Mamak tanpa peduli protes atau menunggu jawaban salam darinya.

“Kenapa, Ra? Kusut banget tu muka, udah kayak keset kaki aja,” tanya Sasa sambil tertawa lebar.

“Terus saja kau hina aku. Puas kau bahagia di atas penderitaan orang lain,” balasku kesal.

“Oke, oke, sorry. Lu kenapa?”

“Mamakku minta cucu.”

Kali ini, Sasa nggak bisa lagi menahan diri. Dia tertawa terbahak-bahak, saking besar suaranya, orang-orang di sekitar langsung menoleh ke arah kami. Karena kesal, kucubit saja perutnya.

“Aduuuuh,” keluhnya.

“Makanya, jangan tertawa terus kau.”

“Oke, oke.” Dia mencoba berhenti tertawa. Meskipun, harus menyumpal mulutnya dengan telapak tangan. “Nyokap lu tahu nggak sih kalau lu itu jomlo akut. Jadi, gimana caranya lu mau punya anak? Punya pacar aja nggak.”

Sebenarnya kesal juga mendengar ucapan Sasa. Namun, apa yang dikatakannya memang ada benar, bukan? Jadi, mending aku terima saja semuanya dengan pasrah hinaan ini. “Nah, itu masalahnya, Sa. Ah, tapi sudahlah. Mungkin saja Mamakku baru saja selesai mimpi buruk ketemu setan, makanya dia telepon minta cucu.”

“Mora, Mora, lagian nyokap lu ada benarnya. Sekarang sudah saatnya lu mikirin jodoh. Sekarang kamu sudah 29, kan?”

Karena kesal sama Sasa yang jadi ikutan Mamakku membahas masalah jodoh, kuabaikan saja pertanyaannya.  
“Ra, kalau lu mau, suamiku punya teman kantor yang masih jomblo loh. Katanya, anaknya sudah mandiri,” bisiknya.

Nggak kuhiraukan kembali ucapan ibu satu anak itu. Biasanya kalau sudah pusing dengan pekerjaan seperti saat ini, dia memang suka kumat gilanya dan menggoda orang lain. Dari pada bikin emosi sampai jambak-jambakan seperti biasa, kali ini aku memilih untuk fokus pada pembuatan akta notaris berapa klien yang belum selesai.

“Ra,” Sasa menarik kursinya agar lebih dekat denganku.

“Apa kau?”

“Mau nggak?”

Makin ngelantur saja tampaknya kawan aku ini.

“Ra!” Kali ini dia menarik lengan kemejaku dan bikin aku mau nggak mau jadi menoleh padanya. “Lagian, kenapa sih, lu, Ra, nggak mau punya pacar? Apa lu kena santet dan perlu mandi kembang tujuh rupa baru mau nikah? Lu tu cantik. Lihat! Pipi lu cubby dan ngegemesin.” Dia berdiri dan melihatku dari atas sampai kebawah. “Meskipun kulit lu kuning sawo gitu, tapi mata hitam lu yang sipit bikin tetap cantik seperti Fatin Shidqia Lubis.”

Aku tersenyum menoleh ke arahnya. “Ah, baru sadar kau kalau aku cantik?” tanyaku sambil menggerakkan alis penuh percaya diri.

“Mulai, mulai. Gue serius Mora Nasution. Gue mau cariin lu suami dan memenuhi keinginan nyokap lu.”

“Nggak butuh aku,” jawabku sambil kembali bekerja. Apalagi hari ini aku harus mengerjakan banyak sekali pekerjaan. Mulai dari membuat daftar klapper untuk penghadap, legalisasi, waarmerking dan pengarsipan dokumen.

Namun, konsentrasiku buyar saat tiba-tiba Sasa panik setengah mati seperti orang kebakaran jenggot setelah menerima telepon.

“Kenapa kau, Sa?” tanyaku mencoba menenangkan.

“Gue balik sekarang . Gue izin dulu ke Pak Adit.” Tanpa menjawab pertanyaanku, dia langsung menyambar tas tangannya dan pergi begitu saja.

Karena penasaran, kuiikuti saja perempuan yang tingginya kira-kira hanya sampai telingaku.

“Tapi, kenapa kau pulang? Ini masih jam kantor. Kerjaan kau juga belum selesai? Meja kau pun belum dirapikan.”

“Anak gue sakit, Ra.” Air matanya langsung mengalir. “Gue harus dampingin anak gue.”

“Tapi kau belum dapat izin dari Pak Adit.”

“Gue nggak peduli, Ra. Gue pergi sekarang. Nanti gue kabarin Pak Adit lewat telepon aja. Semoga dia bisa ngerti.”

Melihat wajah panik dan sedih Sasa, aku hanya bisa termenung. Ini yang bikin aku nggak mau nikah. Rasanya belum siap aku. Namun, apakah akan seperti ini aku sampai tua? Lalu, bagaimana dengan keinginan Mamak?

Cinta Beda Suku #IWZPamer2023Where stories live. Discover now