Pujian

2 0 0
                                    

“Ra, lu kenapa? Astagfirullah, kenapa bisa terjadi seperti ini?” Suara Sasa bikin aku berani mengangkat kepalaku yang kusembunyikan di balik lututku.

Dengan bibir bergetar, beringsut aku keluar dari tempat persembunyian.
Sasa memelukku kuat-kuat. “Lu butuh ke psikiater, Ra,” ucapnya sambil menangis.

Nggak tahu kenapa, kali ini aku nggak bisa menangis. Aku hanya termagu. Bingung kali aku, seperti kosong otakku ini.

“Lu minum dulu, Ra!”

Setelah minum, barulah aku berkata, “Tadi ... itu ... aku pesan ... air,” ucapku terbata-bata.

“Terus kenapa lu nggak buka pintu pas ada tukang air ngantarin barang. Gue ketemu tu pengantar di depan.”

Aku pun menceritakan semuanya pada Sasa secara detail . Takut kali aku ternyata.

Mengangguk-angguk dia mendengarkan penjelasanku. Kemudian dia berkata, “Kotak ini dari Anubhawa, Ra. Tadi dia ke sini. Tapi, karena tahu gue udah pulang, dia nggak berani masuk. Dia takut lu masih trauma.”

“Terus, kenapa pula kau ada di sini, Sa? Kau nggak pergi ke kantor?” setelah mendengar penjelasan Sasa, sedikit legalah perasaanku.

“Catatan gue tinggal di sini.”

Baru ingat aku akan buku catatan Sasa yang tertinggal.

“Hari ini gue nggak usah ke kantor aja. Gue temenin lu di sini aja, ya?”

Sebenarnya, aku ingin Sasa di sini. Namun, kutahu kalau aku harus berjuang sendiri.

“Lu kenapa, Ra? Gue nggak papa kok, kalau nggak kerja.”

“Tapi, kan, nggak boleh egois aku, Sa. Kau juga dibutuhkan sama keluarga kau. Jadi, harus kerjalah kau.” Tahu kali aku kalau saat ini Sasa lagi butuh duit. Banyak kali uang yang dikeluarkannya waktu anaknya masuk rumah sakit kemarin.

“Tapi ....”

“Nggak papa aku, Sa,” potongku berpura-pura benar-benar sudah membaik.

Nggak ingin aku terus bergantung pada orang lain. Jadi, akan kucoba untuk mengatasi ketakutanku sendiri.

“HM...,” ucap Sasa sambil senyum-senyum. “Ada yang nanyain kabar lu, nih? Katanya dia WA lu, tapi nggak dibalas.”

“Siapa?” tanyaku sedikit penasaran.

“Lu lihat sendiri, deh. BTW, beneran nih, nggak papa gue tinggal?”

Mengangguk aku untuk meyakinkannya. Meskipun, rasa takut ini belum hilang total.
Namun, sebenarnya apa juga yang harus kutakutkan, kan? Bukankah apa yang kupikirkan nggak ada yang terjadi? Sudah di penjara juga si penjahat itu, kan?
Hanya butuh aktivitas yang mengalihkan perhatianku saja saat ini.

Saat kutengok gadgetku setelah kepergian Sasa, tersenyum pula aku melihat pesan yang masuk. Mau kalian tahu detailnya seperti apa? Biar kutuliskan dengan gamblang, ya. Biar ikut berbunga-bunga juga hati kalian. Siapa tahu ada yang sedang mengalami trauma seperti aku ini, bisa lega mungkin hatinya sedikit.

Nomor baru : Hm ... Sekarang apa kabar?

Pesan ini ditulisnya beberapa saat yang lalu. Namun, karena nggak kubalas, dia mengirim pesan lagi.

Nomor baru: Kamu nggak apa-apa, kan? Aku Anubhawa. Boleh chat?

Ingin kali aku tertawa membaca pesan ini. Kenapa pula dia harus minta izin segala. Sopan kali dia.

Nomor baru: Kamu kenapa? Kata Sasa kamu ketakutan sekali, ya? Apa perlu ke psikiater?

Kali ini, langsung kubalas saja pesannya.

Mora: Nggak papa, mungkin hanya sedikit trauma aku.

Anubhawa: Mau kutemani ke suatu tempat biar merasa lebih baik?

Sebenarnya, masih takut aku untuk bertemu banyak orang. Namun, kurasa nggak baik juga terus mengurung diri. Aku harus melawan diriku sendiri seperti yang dikatakan para motivator itu, kan?

Mora: Mau ke mana memangnya?

Anubhawa: Saya jemput pas makan siang, ya?

Kalau dia ingin mengajakku pergi siang ini, lalu apa pula yang bisa kulakukan sepanjang pagi ini?

Ah, sesaat baru pula aku teringat dengan Mamak di kampung. Jadi, kuputuskan untuk menelepon Mamak.

Berjam-jam kuhabiskan waktu untuk berbicara Mamak. Kuceritakan kejadian kemarin. Meskipun, nggak terlalu detail, biar nggak terlalu bimbang Mamak denganku. Namun, dengan begitu, bertambah lega pula hatiku.

Habis itu, karena belum juga masuk waktu siang. Kuputuskan saja untuk membuka video-video motivasi yang ada di gadgetku.

Sudah lama kali aku lupa sama diriku sendiri. Pokoknya, pekerjaan saja yang kufokuskan selama ini.

Dengan kejadian ini, aku jadi banyak melihat diriku lebih dalam. Bukan menyalahkan diri sendiri. Namun, lebih pada mencintai diri sendiri.

Saat gadgetku berdering, terkejut pula aku. Namun, buru-buru aku segera beristigfar. Ternyata Anubhawa yang menelepon. Sudah ada di depan kosku dia.

Setelah berganti pakaian yang lebih tertutup, kugunakan straight maxi skirt berwarna cokelat dengan atasan berwarna lilac, serta jilbab langsung berwarna hitam, segera aku membuka pintu.

Di hadapanku, sudah berdiri seorang laki-laki berpakaian rapi. Rapi kali menurutku. Berbeda sekali denganku yang dari atas sampai bawah nggak ada yang serasinya.

Dia menggunakan celana kain panjang berwarna abu-abu senada dengan jasket yang digunakannya. Di bagian dalam bajunya, dia menggunakan kaos berwarna putih. Cocok kali, kan?

“Kamu suka bernyanyi, kan?” tanyanya sambil menunduk.

Ai, tahu dari mana dia hobiku?
Sebentar, sebentar, sekarang kenapa pula dia yang menunduk? Macam malu-malu dia kutengok? Bukannya kemarin, aku yang salah tingkah?

Setelah masuk ke dalam mobil, ini bukan mobil punya Anubhawa, ya, melainkan taxi online yang dipesannya, kami sama-sama menjaga jarak. Selama perjalanan pun, dia nggak banyak bicara. Dia lebih banyak melihat gadgetnya. Sedangkan aku memilih untuk melihat keluar sana.

Saat tiba di tempat tujuan, dia membawaku ke sebuah kafe, terkejut kali aku dibuatnya. Dia memintaku bernyanyi di depan panggung.

Dengan gaya yang malu-malu, selalu nggak mau dia melihat ke arahku, dia memperkenalkanku dengan banyak orang.

“Wah, keren banget suaranya, Mbak. Mau nggak jadi penyanyi tetap di kafe kami?” tawar seseorang setelah aku turun panggung.

Belum kepikiran aku sampai ke sana. Memang aku senang kali menyanyi, tetapi belum bisa aku membagi waktuku jika harus jadi penyanyi. Jadi, tersenyum saja aku menjawab pertanyaan orang itu.

“Bro, lu punya pacar yang bersuara emas. Terus, kenapa cuma disimpan buat diri sendiri?”

“Kilauan yang berharga hanya dinikmati oleh orang yang berharga,” jawab Anubhawa.

Cinta Beda Suku #IWZPamer2023Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ