Kecemasan

1 0 0
                                    

“Dorong dirimu sendiri, karena tidak ada orang lain yang akan melakukannya untukmu.”

Kalimat Najwa Shihab ini kuulang kembali untuk menguatkan diri.

Memang, nggak selamanya kita harus bergantung pada orang lain, kan? Sasa juga punya kepentingan sendiri dan keluarganya. Nggak boleh egois aku.

“Lu yakin udah bisa gue tinggal?” ucap Sasa setelah kuminta dia untuk pulang.

“Iya. Sudah nggak papa sekarang aku ini, Sa.”

“Oke. Tapi, kalau ada apa-apa lu langsung telepon gue, ya! Lu jangan sungkan. Gue ini sahabat lu. Gue akan selalu ada buat lu.”

Ah, Sasa selalu berhasil dia membuatku menangis.

“Banyak-banyak terima kasih aku, Sa.”

“Udah, lu hari ini nggak usah ke kantor. Ntar biar gue yang jelasin semuanya sama Pak Adit.”

Mengangguk saja aku kali ini. Sebab, memang sudah nggak ada yang bisa kulakukan. Sudah banyak kali kebaikan Sasa yang diberikan padaku.

Sebelum Sasa pergi dari kosku, dia menerima telepon. Di telepon, kudengar dia melarang seseorang. Entah siapa orang itu, nggak tahu juga aku.

Kepergian Sasa bikin aku merasa sedih dan kesepian lagi. Namun, nggak ingin aku bergantung pada orang lain.

Sejak kecil, Mamak sudah mengajariku untuk nggak bergantung pada orang lain. Kalau ada yang kuinginkan, nggak pernah langsung bisa kudapat. Harus berjuang aku terlebih dahulu. Meskipun, menjadi anak satu-satunya, nggak bisa aku bermanja-manja seperti orang lain.

Untuk mengalihkan pikiranku biar nggak macam-macam, kuputuskan untuk membuka laptop. Kucari tahu bagaimana caranya menghilangkan trauma yang kuderita. Namun, saat tiba di meja kerja, kulihat pula ada buku catatan Sasa yang tertinggal.

Ingin kali aku menghubunginya, tetapi nggak tega juga aku. Dia tentu baru saja tiba di rumahnya. Biar besok saja pas aku ke kantor, kuberi catatan ini sekalian.

Habis membaca beberapa artikel, bisa aku simpulkan kalau trauma ini bisa hilang dengan melawannya. Aku harus punya banyak aktivitas positif biar nggak kepikiran lagi masalah itu.

Setelah kutimbang-timbang, mungkin lebih baik aku membaca buku. Membaca bisa bikin otakku berisi. Nggak akan kuingat lagi peristiwa kemarin itu.

Sambil membuka buku, kuputuskan juga untuk menyetel musik, biar nggak sepi kali kosku ini.

Bermenit-menit berlalu, bosan juga aku dengan buku yang kupegang. Ah, entahlah, biasanya nggak pernah aku seperti ini. Kunikmati semua buku yang kubeli tanpa ada alasan apa pun. Namun, kali ini, nggak mood aku ingin menyelesaikannya.

Akhirnya, kuputuskan untuk berolahraga saja. Sudah lama juga aku nggak pernah menggerakkan tubuh.

Untuk langkah awal, gerakan yang sederhana saja yang akan kulakukan.

Namun, sebelumnya, kubereskan dulu ruangan sempit ini. Kasur buluk ini kulipat dua dan kusimpan di ujung ruangan. Biar nggak terbuka-buka lipatnya, kuhimpit saja benda itu dengan meja tempat kerjaku.

Merasa sudah memiliki tempat yang cukup, langsung saja kumulai kegiatan senamku ini.

Ngos-ngosan juga aku rasanya setelah melakukan beberapa gerakan. Ini tentu gara-gara aku sudah lama nggak pernah olahraga. Jadi haus pula aku kalau begini.

Ai, habis pula air di dalam galonku itu. Dengan segera, langsung saja aku memesan air secara online. Kalau begini, nggak perlu lagi aku bertemu dengan orang luar. Masih malas aku bertemu orang banyak.

Nggak lama setelah aku memesan air, pintu kamarku sudah diketuk.
Wah, cepat kalilah orang itu mengantar pesananku. Namun, kubiarkan dulu beberapa saat, agar nggak perlu aku bertemu dengan orang yang mengantar air itu. Lagi pula, sudah kubayar juga lewat aplikasi pesanan itu.

Sekitar tiga menit berselang, baru kubuka pintu kamarku. Akan tetapi, bukannya botol air yang kutemukan melainkan sebuah kotak kecil berwarna putih.

Dengan tangan gemetaran kututup pintu kamarku dengan segera. Kubiarkan saja benda berpita merah itu di depan pintu.

Tuhan, siapa pula yang mengirimkan benda itu? Kira-kira apa isinya? Apa jangan-jangan itu dari orang suruhan Erik? Apa kotak itu berisi racun atau semacam teror?

Tubuhku seketika bergetar. Detak jantungku memompa lebih cepat. Benar-benar gemetaran aku. Keringat dingin juga mulai membasahi seluruh tubuhku.

Apa yang harus aku lakukan sekarang?

Di tengah kalutnya aku berpikir, tiba-tiba gadgetku berdering. Makin kacaulah pikiranku.

Dengan tubuh yang lemas dan bergetar hebat, aku merangkak menuju ke kolong meja kerjaku. Meringkuk di sana sambil menangis.

“Tok, tok, tok!” Pintu kamarku digedor kencang.

Tuhan, itu pasti orang suruhan Erik yang ingin segera membalas dendamnya.

Dalam selimut ini kudengar pula pintu itu berbunyi kembali. Ai, bodoh kalilah aku. Kenapa nggak kunci pintu itu tadi.

Aku ingin berteriak, tetapi lidahku rasanya kelu kali. Seperti ada benda ditengorokkanku yang bikin suara itu nggak mau keluar.

Kini, terdengar suara kaki berjalan. Makin dekat, makin dekat, dan ....

Cinta Beda Suku #IWZPamer2023Where stories live. Discover now