Rangkaian Adat

5 0 0
                                    

Macam kena tampar aku dengan ucapan Bu Laksmi.

Meskipun, kami orang Batak yang selalu bicara terus terang, tetapi nggak pernah aku sesakit hati ini rasanya saat mendengarkan keterusterangan seseorang padaku. Macam terhina sekali aku dibuatnya.

Sepanjang perjalanan pulang, nggak berhenti-henti aku menangis. Mengalir begitu saja air mataku itu.

“Mbak, kenapa?” tanya seseorang yang nggak kulihat siapa. Nggak kujawab juga pertanyaannya.

Kesal benar aku rasanya hingga ada telepon dari Anubhawa. Awalnya, malas kali aku menerimanya. Namun, karena dia terus menelepon, kuangkat juga telepon itu.

Anubhawa: Kamu di mana?

Setelah mengucapkan salam, langsung saja dia menanyakan keberadaanku.

Mora: Aku pulang.

Kujawab dengan ketus saja pertanyaannya.

Anubhawa: Kenapa tidak sama-sama? Saya juga kan, mau pulang.

Mora: Ai, Mamak kau nggak setuju dengan hubungan kita. Jadi, buat apa lagi aku menunggu. Aku akan kabari Mamakku di kampung, kalau pernikahan kita batal.

Anubhawa: Tidak bisa begitu, Ra. Saya serius dengan kamu. Saya ingin menikah dengan kamu.

Mora: Tapi, Mamakmu nggak setuju.
Kupotong saja omongannya. Masih kesal aku dengan ucapan Mamaknya tadi. Belum jadi anggota keluarganya saja sudah disakiti seperti ini, apalagi nanti sudah jadi menantu, kan?

Selama ini, kutahu masalah mertua yang jahat itu hanya ada di sinetron yang sering di tonton Mamak di televisi. Eh, ternyata di dunia nyata juga ada. Apa nggak takut dia sama azab seperti film-film itu?

Beruntung kali si Sasa itu dapat mertua yang baik kali. Kalau sudah Sabtu Minggu, disuruhnya Sasa jalan-jalan sama suaminya, merekalah yang menjaga cucunya. Nggak pernah dia mempermasalahkan kelakuan si Sasa yang nggak pandai masak. Macam itulah mertua yang ingin kucari.

Anubhawa: Ra, kamu masih dengar saya?

Eh, apa pula kata Anubhawa tadi. Melamun pula aku rupanya.

Anubhawa: Ra, yang akan menikah itu aku, bukan ibuku. Jadi, buat apa meminta persetujuan dia. Lagian, pernikahan kita tetap sah, kan, tanpa restu ibuku?

Apa yang dikatakan Anubhawa memang benar. Namun, nggak bisa aku memberikan keputusan saat itu juga. Jadi, kukatakan saja pada Anubhawa kalau aku butuh waktu buat berpikir.

Setibanya di kos, tubuhku rasanya sakit semua. Nggak tahu kenapa, macam lelah kali aku rasanya.
Merasa nggak enak badan, ketelepon langsung si Sasa.

Sahabat terbaik itu selalu sigap dalam banyak hal. Nggak menunggu waktu lama, Sasa sudah tiba di kosku.
Bukan kepalang paniknya dia saat merasakan suhu badanku yang begitu panas.

Aku sendiri nggak terlalu peduli. Memang rasanya sulit kali aku membuka mata. Namun, nggak kusangka kalau itu terjadi karena demam. Aku mengira, mataku terlalu lelah menangis sehingga sulit untuk terbuka.

“Lu ngapain kemarin, Ra, kok badan lu bisa sepanas ini sih, Ra?”

Menggeleng saja aku menjawab ucapan si Sasa.
Sebenarnya, bukan demamku yang menjadi sebab ingin bertemunya aku dengan Sasa. Aku ingin kali menanyakan pendapat Sasa mengenai masalahku.

Akan tetapi, kondisi yang seperti ini bikin aku ingin tidur terus rasanya.

“Alhamdulillah, lu udah baikan akhirnya, Ra. Sorry ya, gue kemarin nggak bisa nemenin lu terus di rumah sakit ini. Untung ada Anubhawa yang standby jagain lu.”

Aku di rumah sakit? Anubhawa?

“Lu, kenapa nangis?” tanya Sasa yang tiba-tiba panik melihatku menangis.

“Bingung kali aku, Sa. Orang tua Anubhawa nggak setuju mengenai hubungan kami.” Langsung saja aku mengadu pada Sasa.

Dia nggak menjawab. Wajahnya hanya berkerut-kerut seperti berpikir keras.

Setelah menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan, barulah dia bersuara dan berkata, “Gue tahu, hal ini pasti sulit banget. Kita tentu ingin semuanya berjalan normal, kan? Tapi, di dunia ini nggak ada yang sempurna, Ra. Anubhawa sudah cerita semua ke gue dan laki gue masalah ini. Sebagai sahabat, kami nggak bisa berbuat apa-apa. Sekarang, semua keputusan di tangan lu. Kalau lu ragu, coba tanya ke Allah, gih! Salat istikharah kayak yang dilakukan Anubhawa.”

Anubhawa salat istikharah? Lalu, apa hasilnya?

“Tolong panggilkan aku Anubhawa, Sa. Mau ngomong aku.”

Sasa tampaknya bingung dengan sikapku. Namun, kali ini, nggak protes dia. Langsung saja dia keluar dan meminta Anubhawa menemaniku.

Nggak banyak yang ingin kutanyakan dan bicarakan saat bertemu laki-laki Jawa ini. Aku hanya ingin bertanya masalah hasil salatnya yang ternyata tetap ingin melanjutkan pernikahan.

Nggak tahu seperti terhipnotis atau bagaimana, kusetujui pula pendapat Anubhawa.

Di atas ranjang besi rumah sakit, kami menghubungi Mamakku di kampung. Kami langsung mengabari tanggal pernikahan kami yang bikin Mamak mau pingsan.

Mamak: Mendadak kali kau mengabariku, Mora. Tapi, tak apa-apalah. Akan kuminta semua keluarga untuk membantu persiapan acara pesta pernikahanmu.

Mora: Nggak perlu bikin pesta besar, Mak. Yang penting acaranya hikmat dan sesuai dengan ketentuan agama dan negara. Nggak perlulah Mamak dan Bapak repot-repot buang uang dan tenaga untuk bikin acara besar-besaran.

Mamak: Apa yang kau katakan, Mora? Kau anak Mamak satu-satunya. Tentulah kami akan mengadakan pesta besar di hari sakral kau.

Mora: Tapi, Mak. Mending uang yang ada disimpan untuk keperluan Mamak. Uangku juga mau kusimpan untuk masa depan rumah tanggaku, untuk anak-anakku, Mak.

Mamak: Ai, pelit kali kau rupanya, Mora. Kau menikah sekali seumur hidup. Kenapa pula kau perhitungan seperti itu.

Ingin kali aku melawan ucapan Mamak dengan mengatakan kalau pendidikan anak juga sekali seumur hidup dan nggak bisa diulang. Jadi harus kita persiapkan matang-matang. Namun, karena belum terlalu pulih perasaanku, akhirnya kubiarkan saja dia mengoceh sampai telepon ditutup.

Sejak resminya pengumuman tanggal pernikahanku, benar-benar cuti aku dari kantor.

Anubhawa juga memintaku langsung pulang ke kampung halamanku, Sumatra Utara, tepatnya di Tapanuli bagian Selatan.

Disambut dengan rumah-rumah khas Batak Mandailing yang terbuat dari dinding dan lantai kayu, aku mencium aroma segar kampung halamanku.

Para tetangga juga tampak berkumpul di bawah naungan atap berbentuk tarup silengkung dolok, seperti atap pedati yang menjadi ciri dari bangunan tua rumah-rumah orang di sini.

Begitu banyak kenangan masa kecil yang terlintas saat melihat bangunan berbentuk empat persegi panjang di hadapanku ini.

“Hai, Mora, sampai juga kau akhirnya, Nak.” Langsung saja Mamak memelukku begitu aku tiba di depan rumah. Menangis pula dia melihatku. Macam rindu kali dia denganku.
Aku pun langsung menangis juga. Nggak tahan aku melihat wajahnya itu.

Setelah penyambutan yang terlalu mewah menurutku, ada semuanya anggota keluarga itu datang. Dari Amang boru, Boru tulang, Inang, Opung, dan banyak lagi lainnya yang nggak bisa kusebutkan satu persatu.

Anubhawa sendiri diminta datang lebih awal untuk mengadakan acara adat pranikah. Kegiatan yang menurutku nggak penting-penting amat.

Dimulai dengan acara mangaririt boru, di mana keluarga sebelah Bapak datang ke rumah untuk melakukan penyelidikan. Apakah aku sebagai calon mempelai wanita sudah ada yang melamar atau belum? Percuma kali, kan? Bukannya mereka semua sudah tahu kalau aku ini belum ada yang punya.

Selanjutnya ada lagi acara padamos hata, dimana aku dan Anubhawa saling dikenalkan. Konyol kali menurutku acara ini. Namun, mau nggak mau, tetap mengikut saja aku.

Kemudian, acara yang kurasa sedikit berkesan yaitu lamaran atau dalam bahasa kami patobang hata. Di sini, Anubhawa bersama keluarga bapak membawa salipi.

Isi dalam kotak segi empat yang terbuat dari anyaman tikar itu ada kapur sirih, pinang, gambir, tembakau, daun sirih. Barang ini sebagai simbol diterima atau tidaknya lamaran.

Kemudian, pihak perempuan akan menetapkan barang apa saja yang perlu dibawa pihak laki-laki dalam prosesi selanjutnya. Di sini, aku juga dimintai pendapat mengenai emas kawin yang kuinginkan.

Sebelum prosesi selanjutnya, kusempatkan diri untuk mengirim pesan pada Anubhawa.

Mora: Maaf, Anubhawa. Keluargaku sudah merepotkan kau. Jika kau nggak bisa membawa semua yang dimintai keluargaku, nggak perlu repot-repot kau mencarinya.

Anubhawa: Tidak apa-apa, Ra. Saya sudah menyiapkan segalanya. Mamak kamu sudah membicarakan mengenai tradisi ini pada saya saat saya berkunjung ke sini kemarin.

Mendapatkan jawaban Anubhawa seperti itu, tenang sedikitlah hatiku.

Keesokan harinya, dilakukanlah prosesi hantaran atau manulak sere.

Melihat banyaknya barang yang dibawa Anubhawa, nggak tahu aku berapa banyak uangnya habis untuk acara ini. Namun, dari sini, aku melihat kesungguhan Anubhawa.

Berbalas pantun yang dilakukan oleh para tetua juga bikin hatiku berbunga-bunga.

Nasihat demi nasihat juga jadi pengingat yang bikin aku nggak berhenti tersenyum dan bersyukur.

Cinta Beda Suku #IWZPamer2023Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang