Percikan Kecil

6 0 0
                                    

“Sudah ganti baju?” tanya Anubhawa saat masuk ke dalam kamar.

Mengangguk aku malu-malu.

“Saya mandi dan ganti baju dulu, ya?”

Ingin kali aku mengatakan jangan lama-lama, sebab sudah mengantuk kali aku ini. Namun, malu juga aku. Nanti dikiranya ingin benar aku melakukan malam pertama. Akhirnya, diamlah aku menunggu.

Sebenarnya, takut dan gugup kali aku menghadapi malam ini. Meskipun pernah membaca buku tentang malam pertama, tetapi tetap saja rasanya gemetaran. Sampai-sampai kaki dan tanganku jadi dingin semua.

Lima belas menit berlalu. Kupandangi lagi jam di dinding yang sudah kubeli sejak SMP dulu, tetapi lama kali dia bergerak. Macam berhenti jam itu berputar. Anubhawa juga nggak kunjung datang dari kamar mandi. Mana mataku rasanya sudah berat sekali. Sudah ribuan kali sepertinya aku menguap.

Ah, lebih baik aku lihat HP saja. Siapa tahu dengan begitu hilang pula mengantukku.

Setelah mencoba bertahan dengan melihat status dan video pendek di gadgetku, akhirnya tertutup rapat juga mataku.

“Bangun! Sudah azan subuh.”
Ternyata benaran tidur aku tadi malam?

“Sebaiknya kalau tidur mukanya dicuci dulu! Tidak baik tidur dengan wajah yang kotor,” ucap Anubhawa.

Pandai kali dia bicara. Padahal aku seperti ini juga karena menunggu dia kan, tadi malam? Entah mengapa tiba-tiba langsung kesal pula aku gara-gara tadi malam.

Eh, sebentar, apa si Anubhawa ini nggak normal seperti cerita pasangan yang lagi viral itu? Seperti video yang tadi malam kutonton di salah satu channel seorang dokter kecantikan itu. Jangan-jangan? Berdebar pula jantungku rasanya menghadapi kenyataan ini.

Bagaimana kalau ini benar-benar nyata? Makanya dia nggak suka sama aku. Apa mungkin tadi malam itu dia sengaja lama-lama di WC biar bisa menghindar dari aku? Terus kalau benaran bagaimana? Ai, jadi pusing pula kepalaku memikirkannya.

Karena masih kesal, langsung saja aku langsung berkata, “Urusi saja urusan kau sendiri!"

Seketika wajahnya tampak berubah. Namun, nggak peduli aku. Langsung saja aku keluar untuk berwudu dan salat bersama dengan yang lainnya. Sampai makan pagi tiba, nggak masuk-masuk aku ke dalam kamar. Tiba-tiba merasa jijik pula aku jadinya. Apalagi kalau dugaanku ternyata benar.

Setelah makan pagi, aku mendapatkan telepon dari Pak Adit yang memintaku segera masuk ke kantor karena ada proyek baru. Karena kupikir ini cara terbaik untuk menghindar dari Anubhawa, langsung saja kuterima tawaran itu.

“Kamu kenapa, Dik?” tanya Anubhawa saat aku nyatakan keinginanku untuk kembali ke Jakarta.

“Kau yang kenapa?” tanyaku balik. Bodohnya, kenapa nggak dari dulu kulihat kejanggalan ini. Bukankah sudah sejak pertama kali ketemu nggak pernah dia menyentuhku? Lalu, kenapa pula dia mau menikahiku? Tololnya lagi, mau juga aku menikah dengannya tanpa perlu mencari tahu tentangnya.

Nggak tahan aku menyembunyikan rasa penasaranku, langsung saja aku bertanya padanya. “Jawab Anubhawa, kenapa kau tadi malam nggak menyentuhku? Lama kali kau di kamar mandi, sampai lelah aku menunggu.”

Namun, nggak menjawab dia. Dilihatnya saja aku yang berdiri bercekak pinggang di hadapannya.

Karena masih nggak ditanggapi, langsung saja aku bilang. “Hari ini aku mau pulang ke Jakarta. Sudah ditelepon aku sama bosku.” Kemudian nggak kupedulikan lagi dia.

Sebenarnya, pikiranku benar-benar kalut. Ingin kali aku segera menyelesaikan masalah ini. Namun, melihat binar bahagia di mata Mamak dan Bapak, nggak tega aku menyakiti hati mereka. Nggak mungkin kan, baru sehari menikah lalu kami berpisah?

Saat kunyatakan keinginanku pulang ke Jakarta saja, Mamak langsung proses. Namun, Anubhawa dengan santai berkata, “Kami ingin bulan madu dulu, Mamak. Di sini, terlalu berisik.”

Apakah yang dikatakan Anubhawa ini benar? Ah, mungkin saja dia memang pandai berbicara. Buktinya, kemarin dia langsung diterima oleh keluargaku. Padahal awalnya jelas sekali kan, Mamak nggak suka padanya.

Setibanya di Jakarta, kuputuskan untuk benar-benar fokus pada kerjaanku. Namun, tetap saja masalah ini menggangguku.

“Woi, pengantin baru nggak boleh banyak termenung, pamali tahu. Apa masih nggak kangen?" goda Sasa. “Siapa suruh cepat amat masuk kantor. Si Amat aja nggak cepat-cepat,” ucapnya lagi.

Namun, hanya tersenyum aku menanggapi ucapan Sasa. Takut kali aku mengungkapkan masalah ini. Sebab, memang salahku ini. Bodoh kali aku jatuh cinta dan menikah sama seseorang tanpa mencari tahu terlebih dahulu asal usulnya. Bukankah aku sendiri yang membuat komitmen itu? Lalu, kenapa pula nggak aku jalankan?

Cinta Beda Suku #IWZPamer2023Where stories live. Discover now