Calon Menantu

5 0 0
                                    

“Mbak, makan apa rakus?” tanya seseorang yang dengan seriusnya memandangiku.

“Kenapa? Mau juga kau kumakan?”

Kesal kali aku melihat kelakuan Anubhawa. Pokoknya nggak mau lagi aku diantarnya ke kantor. Biar saja aku beli sepeda dan pergi sendiri ke kantor. Kenapa pula dia membawaku ke sana kalau hanya untuk melihatnya bermesraan dengan pacarnya itu.

Setelah bersendawa beberapa kali, lega sedikit perutku sekarang. Tinggal hatiku yang terasa masih panas.

Anubhawa: Kenapa pulang? Mubazir nih makannya.

Sebuah pesan masuk dan bikin aku tambah manyun. Sama saja dia dengan laki-laki lain yang suka banyak pacar.

Namun, nggak mau aku jadi korban laki-laki macam ini. Langsung saja kubalas pesannya.

Mora: Kau berikanlah makanan itu pada pacarmu itu!

Anubhawa: Dia bukan pacar saya, Mora. Dia sahabat saya dari kampung. Kamu cemburu, ya?

Mora: Ai, terserah kaulah. Kupikir kau serius denganku. Tapi, ternyata aku yang terlalu percaya diri. Langsung pula aku jatuh cinta pada kau. Sekarang, mau nggak mau, patah hatilah aku.

Anubhawa: Kamu nggak patah hati, kok. Saya juga suka sama kamu.

Macam berhentilah bumi ini berputar. Detak jantungku juga seperti berhenti berdenyut.

“Mbak, Mbak, keselek, ya?” Anak setengah baya yang sejak tadi usil pada kehidupanku menghampiriku.

Karena kesal, kutepuk meja di hadapanku dengan keras. Langsung kabur anak usil itu. Namun, orang-orang pada melihatku. Jadi, malu kali aku kalau seperti ini. Akhirnya, kuputuskan saja untuk membayar makananku dan pulang.

Di jalan, masih kuanggap ucapan Anubhawa itu mimpi. Akan tetapi, rasa sakit bekas menepuk meja masih terasa jelas di telak tanganku. Ah, berarti benarlah semua ini terjadi. Lalu, apa yang harus aku lakukan?

Setelah agak tenang, di atas motor mulai sadar aku kalau mungkin saja Anubhawa selalu melakukan ini pada perempuan. Jadi, nggak perlu aku tanggapi, kan?

Namun, nggak lama berselang, ada lagi pesan yang masuk dari Anubhawa.

Anubhawa: Jadi, kita?

Ai, mau main-main rupanya laki-laki ini? Baiklah, kau tengok siapa yang mempermainkan siapa kali ini?
Langsung saja kuketik balasan perlahan dari atas motor.

Mora: Nggak mau pacaran aku. Kalau kau serius, datanglah ke kosanku. Ngomong langsung kau dengan orang tuaku.

Kalau tantanganku seperti ini, yakin kali aku, akan langsung kabur dia seperti anak tadi.

Anubhawa: Oke. Sebentar lagi saya langsung ke kos kamu.

Eh, serius pula dia ini?

Aku tiba di kos tepat saat Anubhawa juga sedang memarkirkan sepeda motornya.

Nggak tahu kenapa, langsung bingung aku jadinya. Macam kosong otak aku ini.

Lama kali aku berdiri saja memandangi kakiku yang nggak ada apa-apanya.

“Ibu ada di dalam?” Suara Anubhawa memaksaku untuk melihatnya.

“Ha?”

“Katanya tadi mau mengenalkan saya sama ibu kamu. Jadi, sekarang ibu sudah ada di dalam?”

Oh, itu maksudnya? Aduh, kenapa pula jaringan di otakku jadi lelet begini. Padahal, sudah satu porsi besar nasi Padang masuk ke dalam perutku.

“Mau tetap mematung sampai kapan di sini? Kasihan ibu di dalam menunggu.”

“Ah, nggak adalah Mamakku di dalam. Mamakku ada di kampung sana.”

“Terus, tadi katanya mau mengenalkan saya sama ibu kamu?”

“Iya, tapi bukan ketemu langsung. Aku mau mengenalkan kau pada Mamakku lewat telepon.”

Kami pun duduk di kursi yang berseberangan di ruang tamu. Di kosku ini ada banyak peraturan. Salah satunya, anggota kos nggak boleh membawa cowok masuk ke dalam kamarnya. Jadi, kalau ada yang bertamu, cukup bertemu di ruangan yang sudah diberi kursi dan meja ini saja. Nggak boleh melampaui batas. Kalau ketahuan melanggar, Bu Kosnya yang selalu tepat janji dalam hal ini, langsung saja mengusir yang bersalah dari kamar.

Dengan tangan yang agak gemetaran, langsung saja kuhubungi nomor Mamak.

Saat sambungan telepon itu terhubung, tanpa mengucap salam langsung saja Mama mengoceh.

Mamak: Akhirnya, mempan juga jampi-jampi yang Mamak kirimkan pada kau Mora. Jadi rindu kau dengan Mamak, kan?

Mora: Apa yang Mamak bicara ini? Nggak ada jampi-jampian itu, Mak. Kutelepon Mamak karena mau mengenalkan seseorang pada Mamak.

Setelah mengucapkan itu kuberikan gadgetku pada Anubhawa. Dia menerimanya dengan tersenyum. Nggak ada ketakutan di wajahnya sedikit pun.

Anubhawa: Assalamualaikum, Bu.

Mamak nggak menjawab.

Anubhawa: Perkenalkan saya Anubhawa. Saya mau izin melamar Mora.

Masih nggak ada jawaban. Setelah lama hening, Anubhawa kembali berkata.

Anubhawa: Bagaimana, Bu? Apakah boleh saya memperistri anak Ibu?

Belum juga ada jawaban, langsung saja kurampas gadget itu dari tangan Anubhawa.

Mora: Mamak masih di situ?

Meskipun kulihat wajah Mamak masih ada di layar HP-ku, tetapi tetap saja kuberi pertanyaan yang menyadarkan Mamak dari kebengongannya.

Mamak: Siapa itu, Mora? Gelap kali kulitnya?

Mora: Dia Anubhawa, Mak. Dia laki-laki yang siap memberikan Mamak cucu seperti permintaan Mamak kemarin.

Mamak: Marga apa dia?

Mora: Dia suka Jawa, Mamak. Nggak punya marga dia.

Mamak: Hai, gila kali kau Mora. Bagaimana bisa kau memilih pacaran dengan orang Jawa. Apa kata orang kalau anak Mamak satu-satunya menikah dengan suku lain. Jatuhlah martabat keluarga ini, Mora.

Mora: Ai, Mamak, kenapa pula harus memikirkan orang lain. Yang akan menikah itu aku. Yang bakalan bahagia atau tidak juga aku, Mak, bukan orang lain.

Mamak: Tetap saja Mamak tak setuju, Mora.

Mora: Macam mana Mamak ini. Dulu, Mamak meminta aku mencari suami. Sekarang, orangnya sudah ada, ditolaknya pula. Macam mudah kali mencari laki-laki.

Mamak: Pokoknya Mamak tak setuju. Kau cari lagi laki-laki yang lain.

Saat hendak kubalas omongan Mamak, Anubhawa memberikan isyarat agar aku diam. Dia menempelkan telunjuknya di bibir. Nggak tahu kenapa, macam terhipnotis aku dibuatnya. Akhirnya, mengangguk saja aku di hadapan Mamak dan akhirnya telepon itu pun berakhir.

“Sama orang tua, kita tidak boleh menggunakan kekerasan. Hati mereka itu lembut. Jadi, kita juga harus menggunakan kelembutan. Minggu besok, biar saya ke rumah orang tuamu. Nanti biar saya bicara langsung pada mereka. Kalau memang kita jodoh, insyaallah Allah akan mudahkan.”

Nggak bisa aku menyanggah ucapan Anubhawa ini. Yang jelas saat ini, hatiku nggak lagi berbetuk seperti segitiga. Dia sudah meleleh berubah bentuk menjadi hati yang ada di gambar-gambar itu. Love.

Cinta Beda Suku #IWZPamer2023Where stories live. Discover now