Terbayang-bayang

1 0 0
                                    

Kulit hitam kecokelatan, mata besar dengan kantung yang terlihat jelas, bulu alis tebal, dan senyum yang nggak bisa dijelaskan. Pokoknya, saat suaranya yang lembut dan mendayu-dayu itu keluar, seperti lupa ingatan aku.

“Tunggu sebentar, ya, Mbak!” Sopan kali dia, kan?

“Woi, pagi-pagi kesurupan jin ifrit lu? Senyam-senyum nggak jelas.” Sasa mengagetkanku.

“Ah, sudah sampai kau rupanya, Sa?”

“Sudah sejak zaman tok Adam gue di sini. Lu aja tu yang lupa ingatan. Nah, nah, senyum-senyum lagi, kan?”

Nggak bisa aku berkata apa-apa dengan Sasa. Bingung kali aku dengan perasaanku saat ini. Bisa-bisanya aku terus terbayang wajah tukang ojek gaduang itu.

“Ini pasti gara-gara cowok kemarin, ya? Lu jahat sama gue, Ra. Masa lu punya pacar, tapi nggak pernah cerita sama gue. Mana minta cariin calon lagi sama gue. Kualat lu entar.”

“Pacar?” jawabku sambil tersenyum. “Bukanlah itu. Namanya saja aku nggak tahu.”

“Terus kenapa lu cengar-cengir melulu dari tadi?”

“Nggak tahu juga aku ini, Sa. Sejak ketemu Abang itu, selalu terbayang aku ucapan dan wajahnya. Sopan dan baik kali dia itu, Sa. Saat semua orang saling nggak peduli, dia rela berhenti untuk menolong kucing yang jatuh di selokan. Habis itu, tas belakangnya itu nggak diambilnya saat aku naik. Dengan begitu, ada jaraklah di antara kami.”

“Hmm ... gini nih orang yang lagi jatuh cinta, tahi kucing rasanya cokelat.”

“Ah, ada-ada saja kau nih, Sa. Jorok kalilah kau.”

“Gue bicara apa adanya, Ra. Saat orang jatuh cinta, lupa dia sama yang namanya komitmen atau kriteria yang sudah dibuatnya. Itu juga yang terjadi sama gue.”

“Nggak lupa aku, Sa, dengan komitmen yang sudah kubuat. Kalau memang aku benar-benar ingin menjadikannya suami, akan kucari info sedetail mungkin tentangnya. Nggak mau aku asal menikah.”

“Terserah lu, deh. Gue hanya ngingetin lu aja. Sebenarnya, sebagai teman, gue bahagia banget lihat lu bisa jatuh cinta. Siapa tahu cowok itu memang jodoh lu, kan gue jadi lega karena lu sudah ada yang jaga.”

Mendengar ucapan Sasa, nggak tahan aku untuk nggak memeluknya. Tanpa bisa menahan air mata, kupeluklah dia dengan keras.

“Terima kasih banyak ya, Sa. Kau teman terbaikku.”

“Tapi, lu kudu ingat,” ucapnya sambil melepas pelukanku. “buang tu kebiasaan buruk lu yang suka ngupil. Geli gue lihat lu seperti itu.”

Hanya bisa cengengesan aku mendengar ucapan Sasa. Setelah itu, kembali lagilah kami pada kesibukan masing-masing.

Bekerja di kantor kenotariatan ini terbilang gampang-gampang susah. Kalau kalian bisa memanajemen segalanya dengan baik, maka nggak bertumpuklah pekerjaan itu. Namun, kalau nggak, bisa-bisa nggak pulang-pulang kita dari kantor.

Satu hal terpenting kalau kau ingin bekerja di kantor kenotariatan, kalian harus bisa bicara. Jangan malu-malu kalian. Jika malu, susah pula kita berkomunikasi dengan pelanggan atau klien.

“Mbak Mora, dipanggil sama Pak Adi di ruangannya!” Salah satu teman kantorku menyampaikan pesan Pak Adit.

Karena pekerjaanku pun hampir selesai, langsung saja aku menuju ke sana.

“Ra, Bapak ingin bicara sedikit,” ucapnya begitu aku duduk di hadapannya.

“Iya, Pak. Ada tugas lagi, kah?”

“Bukan. Baru saja, aku mendapatkan pengaduan dari salah satu klien tetap kita, si Erik. Katanya, kamu nggak memberikan pelayanan terbaik untuknya. Kamu nggak pernah membalas pesannya.”

“Bukan begitu, Pak. Bukan nggak mau aku membalas pesannya. Dia mengirimkan pesan yang macam-macam. Sampai dihina-hinanya aku, Pak. Kalau nggak percaya, bisa Bapak baca sendiri chat-nya.”

Kalau sudah seperti ini, memang harus diberi pelajaran si Erik ini. Pandai pula dia membuat fitnah segala macam begini. Bikin emosi aku dibuatnya. Nggak bisa dia didiamkan begini saja. Kalau bisa, langsung kumintai bantuan Pak Adit untuk melaporkannya pada yang berwajib.

Dari wajah Pak Adit, yakin kali aku kalau dia percaya. Hanya saja, aku ingin memberikan bukti yang nyata. Biar si Erik itu bisa langsung diseret ke penjara.

Dengan segera kembali aku ke meja kerja untuk mengambil gadget. Ingin kuperlihatkan semua kebejatan Erik itu pada Pak Adit.

Namun, saat kubuka gadget itu, sudah dihapusnya pesan-pesan penghinaan itu. Kalau sudah begini, nggak bisa berbuat apa-apa aku lagi. Hanya air mata yang bisa kukeluarkan untuk mewakili kekesalanku.

“Sudah dihapusnya pesan-pesan itu, Pak,” ucapku saat kembali ke ruang Pak Adit, sambil memperlihatkan bekas chat yang sudah dihapus. Lemas kali tubuhku kalau sudah begini.

“Saya percaya sama kamu, Ra. Hanya saja, kalau sudah nggak ada bukti seperti ini, kita nggak akan bisa berbuat apa-apa. Dia sampai mengancam akan membeberkan masalah ini pada publik.”

Aku mengangguk. Mengerti pula aku maksud Pak Adit ini. Dia pasti nggak ingin nama lembaganya tercemar, bisa-bisa nanti nggak ada lagi orang yang mau berurusan dengan kantor kenotariatan milik Pak Adit.

“Kita selesaikan urusan dengan Erik kali ini dengan cara baik-baik, ya! Kita layani dulu dia dengan baik. Setelah itu, saya berjanji nggak akan lagi mau berurusan dengannya.”

Tahu aku kalau Pak Adit ini baik kali. Keluarganya juga baik kali sama semua karyawan. Ini yang buat kami semua betah. Nggak perhitungan dia masalah uang atau makanan. Dibuatnya kami ini, para karyawannya, seperti keluarga sendiri.

Namun, kebaikan ini bikin aku jadi serba salah.

“Baik, Pak,” jawabku akhirnya.

Cinta Beda Suku #IWZPamer2023Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang