Ditinggal Berdua.

4 0 0
                                    

“Ra, Moraaaa!”

Terperanjat aku mendengar suara teriakan keras Sasa.

“Lu ini bikin gue benar-benar naik darah, ya! Lu nggak kasihan sama gue ntar pulang kudu ngunyah banyak seledri buat nurunin darah.”

Hanya bisa tersenyum aku mendengar ucapan Sasa dan melihat wajah cemberutnya.

Namun, apa yang dikatakan Sasa, ada benarnya. Pernah kubaca di sebuah artikel kalau daun seledri itu bisa menurunkan tekanan darah. Katanya, dalam tulisan itu, apigenin, semacam senyawa kimia, dalam seledri dapat berfungsi sebagai beta bloker (semacam obat penghambat) yang dapat memperlambat detak jantung dan menurunkan kekuatan konsentrasi jantung sehingga aliran darah yang terpompa lebih sedikit dan tekanan darah perlahan akan menjadi berkurang dan berangsur-angsur menjadi normal.

“Ni anak gila apa kesambat jin ifrit di dalam, ya? Dari tadi ditanyain nggak jawab. Kerjaannya cuma senyam-senyum doang.”

“Hehehe.”

“Nah, nah, cengengesan nggak jelas lagi, kan?"

Dirabanya pula keningku untuk mengecek kewarasanku.

“Masih sehat aku, Sa," ucapku untuk menyakinkannya.

“Terus?”

Sambil menggoyang-goyangkan badan, aku berkata dengan malu-malu, “Di dalam ada cowok kemarin yang mengantar aku pulang, Sa. Berdebar kali jantung aku ini. Nggak bisa aku terus di dalam. Bisa-bisa copot jantungku ini dibuatnya.”

“Innalillahi wainnailaihi raji’uuuu!”

“Nggak ada yang meninggallah, Sa,” protesku pada perkataan yang baru saja dikeluarkan Sasa.

“Otak lu tu yang perlu dikubur, Kukang Jawa.”

“Aku ini bukan hewan pemalulah, Sa. Tapi, deg-degan kali aku setiap bertemu laki-laki itu. Nggak tahu juga aku kenapa bisa seperti itu.”

“Itu namanya jatuh cinta, Dodol.”

Setelah memberiku banyak julukan, langsung diseretnya kembali tubuhku ini ke dalam.

Sebenarnya, payah kali dia menggerakkan tubuhku. Sampai memerah mukanya karena mendorongku.

Namun, bukan Sasa namanya kalau hanya menyerah begitu saja. Setelah habis semua tenaganya, tetapi belum bergeser juga aku dari tempatku berdiri, langsung digelitiknya perutku.

Mendapatkan kelemahanku, langsung mudahlah dia mendorongku kembali di dalam.

Setibanya kembali di tempat konser, dipegangnya tanganku kuat-kuat dengan kedua tangannya.

Di tengah kerumunan orang, Sasa yang tingginya hanya sekitar 140an lebih atau kurang dikitlah, mencoba mencari orang yang kukatakan padanya. Dipanjang-panjangkannya leher kurusnya itu. Macam jerapah kutengok dia begitu.

Belum lagi dia ketemu, berjinjit-jinjit pula kakinya agar bertambah lebih tinggi. Namun, kurasa, tetap saja dia terlihat mungil.

“Bahagia lu ya, lihat gue menderita kayak gini? Senyam-senyum. Coba lu bantu gue cari tu cowok. Ini juga demi masa depan lu, Dadar gulung. Mau lu terus diteror nyokap lu karena belum punya pasangan?”

Nggak ingin dapat omelan lebih panjang dari Sasa, pura-pura juga aku mencari. Padahal, tahu kali aku di mana laki-laki itu tadi kutemukan. Dia tepat berada di pojok belakang sana, sebelah kanan dari tempat kami berdiri ini.

Namun, senang aku melihat perjuangan Sasa. Bahagia aku bisa mengerjainya seperti ini.

“Nah, itu dia!” gumamnya setelah melihat ke sana-kemari.

“Sekarang, lu harus patuh sama gue!” perintahnya. “Jangan jadi orang keras kepala melulu, ntar nggak bahagia hidup lu.”

Karena sudah kepalang tanggung, pria tukang ojek itu juga sudah melihat ke arah kami, menurut sajalah aku akhirnya.

“Hai,” ucap Sasa. “Gue Sasa, lengkapnya Sasa Salsabila. Gue ibu satu anak.”

Banyak kaIi pelajaran yang bisa kuambil sejak berteman dengan Sasa, salah satunya dia selalu mengabari statusnya pada orang yang baru dikenalnya.

Bukan kenapa katanya, dengan begitu nggak akan macam-macam orang padanya. Kelak setelah menikah, ingin juga aku seperti Sasa. Biar nggak terjadi hal-hal yang aneh-aneh. Bukankah selingkuh itu berawal dari kenyamanan, katanya?

“Woi, tangan lu gue ikat ya?” bisik Sasa, sambil menarik tangan kiriku.
Nggak sadar aku ternyata tangan itu sudah menuju ke dua lubang hidungku. Bingung kali aku kalau sudah berhadapan dengan laki-laki ini. Macam bodoh kali aku dibuatnya.

Karena masih bergetar juga lututku, maka kuputuskan untuk menunduk saja. Biarlah Sasa yang berbicara dan melakukan apa yang ingin dikerjakanny. Aku cukup mendengarkan saja.

“Ada yang lucu?” Sepertinya Sasa mulai nggak sabar menyaksikan sikap kami.

“Maaf, maaf, kalian berdua unik sekali. Saya sampai lupa memperkenalkan nama. Saya Anubhawa.”

“Ra, dia mau nyalamin lu!” senggol Sasa sambil berbisik.

Nggak ingin didamprat lagi dengan Sasa, kuulurkan saja tanganku.

“Nunduk mulu, lu. Gue patahin ntar leher lu.”

Lama-lama jadi sadis juga Sasa ini.

“Nah, pas banget,” ucap Sasa sambil cekikikan saat aku mulai berani mendongak. “Gue tinggal sebentar, ya! Gue mau nonton konser dulu di depan. Nggak enak gangguin orang yang mau pdkt.”

“Sa, mau ke mana kau? Ikut aku, Sa.”

Belum sempat aku bergerak, tubuh Sasa yang mungil sudah hilang di dalam kerumunan. Kini, tinggallah aku sendiri yang kebingungan harus berkata apa dan berbuat apa

Cinta Beda Suku #IWZPamer2023Where stories live. Discover now