Kacau Balau

1 0 0
                                    

“Astagfirullah!” Terperanjat aku mendengar suara dering dari gadgetku.

Ampun, siapa pula yang menelepon malam-malam begini? Pasti Anubhawa yang minta dibukan pintu. Nggak akan. Nggak akan kuangkat teleponnya dan nggak akan kubuka pintu kamar ini. Malas sudah aku meladeninya.

Namun, saat kulihat layar cokelat muda itu, ternyata nomor Sasa yang memanggil.

Ai, pasti dia penasaran mau menanyakan malam pertamaku.

Langsung saja kuletakkan kembali HP itu.

Eh, sudah jam setengah delapan?

Amang oh amang!

Buru-buru aku menyambar handuk yang tergantung di balik pintu masuk kamar.

Aduh, kenapa pula tadi malam aku nggak sikat gigi? Kalau tadi malam aku bersih-bersih, pagi ini tinggal cuci muka langsung berangkat saja aku.

Jam delapan kurang lima menit. Sudah hampir jam delapan ini. Eh, dimana pula kunci kamar kutaruh tadi malam?

Astagfirullah!

Dengan kegesitan yang super duper, langsung saja kubongkar laci di meja.

Nggak ada. Nggak ada kunci di sana.

Di lemari pakaian. Mungkin tadi malam aku menyimpannya di situ.

Amang oh amang. Nggak ada juga benda itu di situ.

Sambil mengacak-acak jilbabku, langsung saja aku mencari benda kecil itu di segala penjuru. Namun, nggak juga kutemukan.

Gadgetku berbunyi kembali. Kali ini dari Pak Adit.

Mora: Iya, Pak.

Ai, dari suaranya kedengaran sekali kalau Pak Adit sedang marah.

Dengan kepasrahan paling bawah, kutarik kasur bulukku. Bunyi dentingan membuatku sedikit bisa bernapas lega.

Sekarang, aku harus segera sampai ke kantor. Sudah hampir jam sembilan ini. Tapi, aku harus berlari? Nggak, pakai ojek bakalan lebih cepat.

Sebelum menekan tombol aplikasi ojek, kulafalkan dulu kalimat basmalah. Berharap aku kali ini nggak lagi ada masalah.

Benar saja. Langsung tiba tukang ojek itu beberapa detik kemudian.

“Lu tidur kemalaman ya, sampai telat begini? Sambutan Sasa nggak lagi kuhiraukan. Setelah menyimpan tas, langsung saja aku ke ruangan Pak Adit.

“Ra, kalau memang mau bulan madu, mending kamu izin sekalian,” ucap Pak Adit.

Ini kemarahan pertama Pak Adit. Belakangan ini, sejak menikah, sudah banyak kali memang kesalahan yang kuperbuat. Wajar saja kalau Pak Adit marah.

“Maaf,” jawabku pelan.

“Mana akta yang kuminta kemarin?”

Ah, lupa kali aku dengan tugas ini. Saking bahagianya kemarin, langsung pulang saja aku setelah mendapatkan paket dari Sasa.

“Kenapa?”

“Lupa aku mengerjakannya, Pak.”

Pak Adit menarik napas panjang.

“Oke. Lalu, sekarang bagaimana?”

“Akan aku kerjakan sekarang juga, Pak.” Harus tanggung jawablah aku dengan tugasku.

Pak Adit nggak menjawab. Dia langsung saja menekan telepon yang ada di depannya. Dalam beberapa saat, salah satu staf di kantor ini langsung berada di sini.

“Kamu bisa mengerjakan berkas ini dalam waktu lima menit?” tanyanya pada Pak Iwan, kalau aku nggak salah ingat namanya.

“Siap, Pak.”

Setelah karyawan itu pergi, Pak Adit melihat ke arahku. “Sekarang kamu boleh keluar dan pikirkan, kira-kira kamu sudah bisa fokus atau masih mau cuti.”

“Baik, Pak,” ucapku dengan rasa bersalah yang begitu besar.

Seumur-umur aku bekerja. Baru kali ini, aku mendapatkan teguran.

Oh, Tuhan, ujian apa lagi ini. Macam nggak niat lagi aku untuk hidup. Badanku lemas. Ingin menangis saja aku rasanya ini.

Setibanya di meja kerja, kulihat kembali semua yang tergeletak di sana. Sekarang, apa yang harus aku kerjakan.

“Dodol banget sih, lu. Kalau main ingat-ingat jam, dong. Masa telatnya sampai jam segini? Nafsu banget ya, laki lu lihat pakaian, lu?” sembur Sasa sambil cekikikan.

“Iya, aku memang dodol. Tolol kali malah. Bodoh saja aku mau mengikuti saran kau,” ucapku yang bikin tawa Sasa seketika hilang. Matanya terlihat membulat besar.

Dengan air mata yang nggak bisa dibendung, aku kembali berkata, ”Mau apa lagi kau sekarang? Mau menertawakanku? Tertawa! Biar puas hidup kau karena sudah mengerjai teman kau sendiri.”

“Ra ...,” ucapannya terhenti. Macam bingung kali dia mau ngomong apa.

“Kenapa? Kau kira lakiku tergiur dengan pakaian haram macam itu. Nggak ada, Sa. Anubhawa bahkan nggak pulang ke rumah sekalian. Sekarang kau mau ngomong apa? Mau bilang aku agar tetap sabar? Persetan, Sa. Pandai ngomong saja kau.”

Nggak tahu kenapa, kesal kali aku rasanya. Semuanya seolah-olah bertumpuk. Nggak ada yang bisa menolongku.

Sasa tersenyum. “Lu nyalahin gue? Iya, ini salah gue? Gue Cuma mau bantu lu, Ra.”

“Bantu dengan menjerumuskan teman? Menghabiskan uangku kau pandai.”

Mata Sasa berkaca-kaca.

“Ini semua uang yang gue pakai pas makan di area olahraga kemarin. Terima kasih,” ucapnya kemudian langsung pergi.

Kejadian ini bikin jiwamu tambah terluka.

Memang bodoh aku ini. Apa yang baru aku lakukan?

Ah, kupukul kepalaku keras-keras dengan kepalan tangan.

“Mbak kenapa?” Seseorang menyadarkanku.

Langsung saja aku mengambil tas dan kembali pulang ke kosan.

Hidup ini nggak adil! Kenapa harus begini?

Kupukul bantal di hadapanku dengan keras. Kemudian, entah kekuatan dari mana hingga benda itu bisa melayang tinggi di atas kepalaku.

“Hei, Dik, kamu kenapa?” Seseorang memelukku lembut. Meskipun, kenal dengan suaranya. Namun, nggak yakin aku kalau itu dia.

Akan tetapi, aku merasakan kedamaian, ketengan.

Kemudian, perlahan, dia mencium leherku dan bikin aku memejamkan mata merasakan sensasi nikmatnya.

Cinta Beda Suku #IWZPamer2023On viuen les histories. Descobreix ara