Cinta Beda Suku

9 0 0
                                    

“Perempuan Jawa itu, yen awan dadi theklek, yen bengi dadi lemek. Kalau siang dia akan menjadi penolong bagi suaminya. Kalau malam hari, dia akan jadi selimut yang menghangatkan suaminya. Kalau perempuan Batak ternyata seperti ini, ya?” tanyanya dengan senyuman yang menurutku benar-benar sinis. Macam diinjak-injaknya harga diriku ini. Membuang muka dia saat mengucapkan nama sukuku.

“Bukan begitu, Bu. Hormat kali juga kami pada suami. Jangan Ibu bedakan dan bawa-bawa suku seperti itu! Nggak suka aku, Bu!”

“Hebat-hebat!” Bertepuk tangan dia. “Seperti ini ternyata cara orang Batak menghormati ibu mertuanya?”

“Kalau orang Jawa, mertua yang datang harus disembah-sembah ya, Bu? Ajarilah aku, Bu! Nggak tahu aku caranya. Selama ini, aku hanya diajari orang tuaku untuk menyembah Tuhan. Sirik katanya kalau menyembah selain Tuhan.”

Nggak bisa juga didiamkan orang seperti ini. Bikin tensi darah kita naik kata Sasa. Lagian, akan dianggapnya kita kayu yang nggak bisa bicara. Sehingga bebas kali dia menindasnya.

Mendengar ucapanku, jadi merah padam mukanya. Kalau kutengok-tengok macam kepiting rebuslah dia. Jadi, nggak bisa aku menahan senyumku.

Karena dia diam, langsung saja kulanjutkan pembicaraanku. “Bu, hormat kalilah aku pada kau. Namun, kalau seperti ini cara kau memperlakukan aku, makin nggak suka aku, Bu. Sebagai orang tua, kau kujadikan panutan. Berilah aku contoh yang baik. Nggak ada beda antara Jawa dan Batak. Kita sama-sama menjadi orang Indonesia yang menjunjung adat ketimuran, kan?”

“Hebat Anubhawa! Istrinya pintar ceramah. Kenapa kamu tidak ikut lomba dai di televisi saja?”

“Bu ...”

Belum selesai aku bicara, langsung dipotongnya pula omonganku.

“Hmm ... Tapi, saya rasa kamu tidak akan bisa ikut. Sebab, seorang dai itu harus mencerminkan perilaku yang baik, punya budi pekerti yang luhur. Bukan keluyuran tengah malam dan pulang seperti pencuri, kan?”

Bagian ini, memang salah aku. Namun, bukan begini kan cara seorang ibu mengingatkan anaknya, kan?

Ingin kali aku membantah omongan ibu dengan mengungkapkan alasan. Namun, menurutku percuma. Ibu Anubhawa memang mencari kesalahanku. Nggak suka memang dia denganku, kan? Jadi, seberapa kuat pun aku membela diri, akan tetap salah aku di matanya. Jadi, kuputuskan untuk diam saja.

Dia mengelilingiku.

“Ternyata, bukan hanya di Jawa yang punya kehebatan dalam ilmu hitam. Di Batak sana juga hebat, ya? Buktinya anakku langsung tergila-gila pada perempuan yang menurut saya, maaf, tidak cantik sama sekali.”

Ai, benar-benar bikin sakit hati Ibu tua ini. Kalau saja dia bukan ibu suamiku, akan kubalas ucapannya. Akan kubuat dia bertobat sampai tobatan nasuha.

Namun, karena masih menghormatinya, kuputuskan untuk langsung ke dapur untuk meletakkan nasi goreng yang kubawa.

“Tidak perlu repot-repot membeli makanan dari luar. Makanan beli itu belum tentu sehat. Saya tidak mau anak saya sakit. Oleh karena itu, saya sudah memasakkan anak saya makanan plus beli alat-alat dapur sekalian. Rumah kok tidak ada barang apa-apa.” Kalimat terakhirnya diucapkan dengan cara berbisik. Namun, tetap saja aku bisa mendengarnya.

Karena kesal kali aku rasanya, langsung saja kutelepon Anubhawa. Bingung juga aku mau masuk kamar yang mana. Sebab, kulihat ada dua kamar di rumah tipe 36 ini.

Beberapa saat setelah Anubhawa kutelepon, langsung saja dia keluar dari kamar yang nggak jauh dari dapur.

“Sudah selesai kerjaannya?” sapanya.

Namun, malas kali aku mau menjawabnya. Langsung saja aku masuk ke dalam kamar, buka jilbab dan mengambil handuk yang bergantung di balik pintu. Kemudian, aku kembali keluar. “Di mana kamar mandinya?” tanyaku.

Setelah Anubhawa memberi petunjuk, langsung saja aku menuju ke sana. Kesal kali aku rasanya pada Bu Laksmi ini. Kenapa diperlakukannya aku seperti ini? Memang apa salahku?

Dari kejauhan kudengar ibu Anubhawa berkata, “Apa yang membuatmu terpincut dengan perempuan Batak itu, Nduk? Wong, tidak ada cantik dan sopan santunnya sama sekali.”

Di kamar mandi, sengaja aku berlama-lama di sana. Biar saja mereka tidur terlebih dahulu, baru aku masuk dan langsung tidur juga. Malas kali aku berdebat lagi. Tubuhku rasanya begitu lelah.

Hampir satu jam membersihkan badan, perlahan aku keluar dari kamar mandi. Sengaja aku berjinjit-jinjit agar nggak menimbulkan suara.

“Sudah selesai mandinya?” sapa Anubhawa yang ternyata belum tidur. Dia masih sibuk dengan gadgetnya.

Masih nggak kujawab pertanyaannya. Sibuk aku mencari pakaian yang hendak kupakai.

“Semua baju sudah Mas tata di dalam lemari.”

Sambil mengambil pakai, akhirnya aku berkata, “Maafkan aku Mas karena belum bisa bantu sama sekali. Tapi, besok hari terakhir aku di kantor. Setelah itu, bisa fokus aku di rumah.”

“Tidak apa-apa, Sayang. Oh, ya, kalau bisa kamu agak sedikit lembut ya, sama Ibu!”

“Lembut bagaimana lagi, Mas? Mendayu-dayu seperti peragawati? Nggak kasar aku, Mas. Namun, memang begini logak bicaraku. Lagian Ibumu yang dari tadi menyudutkan aku,” protesku.

“Maaf,” jawabnya. “Mungkin Ibu belum terbiasa dengan gaya bahasa Adik. Kalau di Jawa, para perempuan berbicara sambil menunduk dan suara terdengar kecil. Kadang-kadang, mereka malah takut bersuara. Ini mungkin yang bikin Ibu kaget.”

“Oh, jadi Ibumu juga nggak pernah lihat wanita bekerja hingga malam hari, Mas?”

Nggak menjawab dia.

“Apa mungkin ide menyuruh aku berhenti bekerja juga dari ibumu, Mas?”

Kesal kali aku rasanya. Kalau sudah tahu banyak perbedaan seperti ini, lalu kenapa dulu ngotot pula dia ingin menikah denganku? Pakai bawa-bawa perempuan Jawa pula dia.

Cinta Beda Suku #IWZPamer2023حيث تعيش القصص. اكتشف الآن