Masalah Baru

11 3 1
                                    

Suara dentangan barang-barang jatuh dan teriakan “Aku kesiangaaan”, bikin mataku yang sulit terbuka jadi mulai melebar perlahan.

Setelah ingatanku kembali pulih dan melihat jam yang terpasang di dinding depan mataku, jarum pendeknya berada di angka tujuh dan jarum panjangnya sembilan, bergegas aku bangun untuk sikat gigi dan cuci muka.

Nggak kuhiraukan lagi bau badanku. Semuanya bisa diakali dengan minyak wangi, kan? Kalau pun nggak mempan, paling-paling hanya Sasa yang pingsan mencium bau kecut dari ketekku. Orang lain di kantor itu, nggak ada yang suka kujadikan teman. Sepertinya, mereka pun ogah mengambil risiko untuk dekat-dekat denganku.

Setelah semuanya beres, aku nggak suka pakai bedak dan make up yang menor-menor, macam ondel-ondel itu muka kutengok, aku segera turun tangga sambil membetulkan letak jilbab yang berbahan katun mina. Senang kali memakai bahan ini, selain nggak transparan, kainnya juga mudah sekali menyerap keringat.

Tanpa perlu waktu lama, jarum di bawah daguku sudah terpasang sempurna. Selanjutnya, tinggal kubereskan saja sisa kain kerudung yang terjuntai dengan mengikatnya ke belakang. Simpel kali, kan?

Setibanya di tangga paling bawah, sepatu yang kupegang langsung saja kupasang. Setelah itu, berlarilah aku menuju kantor.

Inilah keuntungan punya kos di dekat kantor, nggak perlu aku berdesak-desakan naik angkutan umum atau sesak menyaksikan kemacetan di kota Jakarta ini.
Aku tinggal berjalan sekitar dua puluh menit, gedung dua tingkat kenotariatan itu pun terpampang di depan mata.

“Aaaw, astagfirullah.” Sontak, seketika berhenti berjalan aku. Di antara padatnya orang berjalan, tiba-tiba aku merasa ada orang yang meremas payudaraku.

Ingin kali aku berteriak. Namun, kelu pula mulutku. Sepertinya ada benda yang menyangkut hingga nggak bisa itu keluar suara. Lututku juga bergetar seketika. Lemas kali tubuhku rasanya seperti ingin terduduk aku menangis.

Namun, semua berjalan begitu saja. Nggak ada satu orang pun yang menoleh. Nggak kupandang juga wajah orang yang melakukan pelecehan itu.

Setelah selesai mengatur napas, langsung saja aku berjalan lebih cepat menuju kantor.

Setibanya di tempat kerjaku, nggak kuhiraukan lagi panggilan satpam atau teman-teman kantor. Terus saja aku berjalan menuju ke meja kerjaku.

Saat duduk, sesak kali dadaku rasanya. Air mataku mengalir begitu saja. Tuhan, kenapa pula dengan diriku? Macam ada yang hilang dari bagian diriku. Apa macam ini rasanya orang yang dilecehkan? Pantas saja ada yang bunuh diri setelah di-bully dengan teman-temannya. Pelecahan itu kan, sama saja dengan bullying, kan?

“Eh, lu kenapa nangis? Bukannya kemarin lu yang nyemangatin gue biar nggak nangis. Lu kemarin yang bikin aku kuat, Ra. Lu yang bikin gue jadi semangat lagi dan terus berpikiran positif. Kok, sekarang malah lu yang nangis?”

Nggak bisa lagi aku menjawab semua pertanyaan Sasa. Rasa sesakku semakin menjadi-jadi saat melihat teman dekatku ini bisa ada di sampingku. Tanpa berkata apa-apa, langsung saja kupeluk tubuh langsing Sasa. Saking kuatnya pelukanku, kursinya sampai terdorong ke belakang.

“Eh, lu disakiti siapa? Ada yang ngatain lu? Siapa? Bilang aja ke gue. Ntar biar gue yang ngabisinnya.”

Mendengar pembelaan Sasa, semakin kuatlah tangisanku. Di perantauan yang jauh dari sanak keluarga seperti ini, beruntung kali aku rasanya bisa punya sahabat seperti Sasa. Dia itu mengerti sekali tentang diriku.

Setelah puas berpelukan lama dengan Sasa, akhirnya tangisanku reda juga. Sedikit plong rasanya dadaku. Beban-beban berat yang tadi seperti menghantam, perlahan mulai hilang.

“Lu kenapa?” tanyanya lagi setelah lepas pelukan kami.

“Di jalan tadi ...,” jawabku sambil mengelap ingus ke kemeja. “seperti ada orang yang memegang payudara aku.”

“Astagfirullah, yang benar lu?”

Hanya bisa mengangguk saja aku menjawab pertanyaan Sasa, layaknya anak kecil yang mengadu pada mamaknya.

“Innalillahi. Sekarang tu emang ya, kejahatan sudah di mana-mana. Terus, lu sempat kasi pelajaran nggak sama penjahatnya?”

Kali ini, menggeleng saja aku menjawab pertanyaan Sasa.

“Ini yang ditakutkan sama bokap nyokap lu, Ra. Mereka ingin lu ada yang jaga, minimal ada yang antar jemput ke tempat kerja.”

Setelah dipikir-pikir, ada benarnya juga perkataan Sasa. Dulu, Mamak pernah bilang, “Menikahlah Kau cepat, Mora, biar ada yang jaga kau di Jakarta. Kata orang, Jakarta itu kota besar, banyak penjahatnya di sana.” Namun, dari mana aku bisa mencari pangeran dalam seketika seperti ini?

“Lu mikirin apa?”

“Pengen aku menikah, Sa. Tapi, dengan siapa? Terus, bagaimana kalau laki-laki yang kupilih itu jahat.”

Ah, banyak kali aku mendengar cerita di media sosial perempuan yang sengsara gara-gara salah memilih laki-laki untuk dijadikan teman hidup. Makanya takut kali aku dapat seperti itu. Kalau dapat seperti Bapak di kampung, senang kali hidupku. Namun, kek mana cara biar bisa dapat seperti Bapak?

“Eh, kesambet setan lu ya, jadi diam seketika?”

“Kira-kira kek mana cara mengatasi masalahku ya, Sa? Kawin aku atau kek mana?”

“Lu coba aja kenalan sama teman kantor suami gue.”

Mengangguk sajalah aku. Semoga kali ini sreg hatiku dengan laki-laki yang ditawarkan Sasa. Selama ini, setiap kali kutemui laki-laki, macam nggak tertarik kali aku melihatnya. Namun, kalian jangan cepat pula salah sangka padaku. Aku ini normal. Tetap tertarik aku pada artis-artis India yang ganteng-ganteng itu.



Cinta Beda Suku #IWZPamer2023Where stories live. Discover now