Tukang Ojek

5 1 0
                                    

Sepanjang jalan menuju ke meja kerja, kudesak saja si Sasa buat carikan pacar buat aku. Kali ini, kuyakinkan diri untuk punya penjaga. Belum punya niat aku untuk menikah. Namun, untuk sementara aku harus punya pacar yang bisa buat laki-laki buaya seperti Erik itu menjauh.

Dulu, takut kali aku punya pacar. Karena kupikir nggak ada untungnya pacaran. Banyak kali orang yang menjalin hubungan sampai puluhan tahun, tetapi nggak jadi juga mereka menikah. Ada pula yang sampai ke pelaminan, tetapi hanya bertahan beberapa bulan saja. Rugi kali kan, kalau seperti itu?

Si perempuan sudah dipegang sana-sini, dicolek-colek, tapi nggak juga dia bahagia. Laki-lakinya rugi juga menurutku. Habis banyak kalilah uangnya dipakai untuk mentraktir ceweknya. Diajaknya ke bioskop, makan-makan, jalan-jalan, tapi nggak juga bikin si cowok bisa menemani hidupnya sampai tua.

Kalau kalian bertanya, lalu nggak menikahlah aku kalau berpikiran kuno seperti itu?

Seperti pertanyaan si Sasa, “Lu yakin, Ra, nggak mau pacaran? Terus, ntar lu nggak nikah, dong?”

Ya, tentulah aku mau menikah. Manusia normal aku ini. Hanya saja, ingin kali aku mengenal laki-laki itu dengan cara istimewa. Kucari tahu dulu dengan siapa dia berteman, bagaimana keluarganya, dan seperti apa kelak dia mau menjalani rumah tangga.

Kalian tentu tahulah kalau orang itu dilihat dari siapa temannya, kan? Meskipun nggak paham kali aku tentang agama Islam, tetapi sering kali kudengar di video pendek ustaz mengatakan kalau temannya baik, maka baik pula dia. Sama dengan anak-anak, kan, jika dia sering bergaul dengan sahabat-sahabat yang suka berkelahi, jadi jago pula dia berkelahi.

“Kalau seperti itu, berarti lu kudu nyewa detektif dong buat punya suami? Ribet banget sih hidup lu, Ra?”

“Nggak papalah ribet, Sa. Menikah itu sekali seumur hidup. Nggak bisa lagi kita kembali perawan kalau sudah tidur dengan suami kita. Mau ngeluh kek mana pun tetap saja hidup itu nggak berubah. Mau kau hidup sengsara seumur hidup?”

“Amit-amit jabang bayi,” jawab Sasa sambil menggetok kepalanya tiga kali, lalu ke lantai lagi tiga kali.

Kalau sudah begini, langsung saja kudorong kepalanya hingga terbentur di lantai.

Mendapatkan perlakuan seperti itu, ditariknya pula kerudungku. Jadilah kami saling jambak-jambakan tanpa henti sampai kami sama-sama menyerah.

Namun, perkataanku itu dibenarkannya pula setelah lima bulan dia menikah. Kapok setengah mati dia mendapatkan kebiasaan suaminya yang sering menyimpan barang di sembarang tempat dan sulit bangun pagi. Jangankan untuk salat, pergi kerja saja jarang mandi.

“Gue nyerah, Ra,” adunya waktu itu sambil menangis. “Gue udah nggak tahan lagi hidup sama laki-laki yang punya kebiasaan buruk kayak gitu. Dia juga nggak mau diajak diskusi. Cepak gue,” keluhnya.

Menghadapi masalah seperti ini, rasanya bingung juga aku. Namun, sebagai sahabat setianya, kutunggui juga dia bercerita hingga selesai.
Habis itu, kukatakan padanya. “Sa, belum tahu juga aku sebenarnya cara menyelesaikan masalah kau ini. Sebab, aku pun belum berumah tangga, kan? Namun, sering kali kudengar para motivator itu berkata, jangan mengambil keputusan saat sedang sedih atau senang. Jadi, tenang dululah kau sekarang. Pikirkan semuanya baik-baik. Kalau bisa, kau ajak dulu suamimu itu berdiskusi dari hati ke hati. Jangan kau marahi dia. Jangan pula kau merajuk. Laki-laki itu paling bodoh dalam menebak perasaan wanita.”

“Iya, ya, Ra. Dulu, nyokap gue pengen ngajak Bopak jalan-jalan. Tetapi, Nyokap nggak ngabarin langsung. Dia cuma ngasi kode gitu. Namun, sampai malam, Bopak nggak juga ngerti. Akhirnya, Nyokap merajuk. Dia pulang ke rumah opa. Setibanya di sana, setelah dapat penengah, baru ketahuan kalau masalah mereka ternyata hanya hal sepele.”

“Ah, sudah tahu kau kalau begitu.”

“Tapi, tetap aja, Ra. Apa yang lu bilang itu ada benarnya. Pacaran itu nggak menjamin kita bisa kenal pacar kita secara detail luar dalam.”

Setelah pembicaraan kami itu, nggak perlu pula dia menuntutku buat segera punya pacar.

Namun, hari ini, kutodong terus dia untuk mencarikan aku pendamping atau penjaga sementara. Ngeri kali aku dibuat Bang Erik itu.

Setelah asyik kembali bekerja, ada pesan masuk lagi ke gadgetku. Kutengok benda itu. Di sana terpampang jelas pesan dari Bang Erik.

Bang Erik: Mora, kamu mau jalan baik-baik dengan Abang atau senang dengan paksaan?

Ah, kuabaikan saja pesan itu. Nggak kukatakan juga pada Sasa. Akan tetapi, lama kelamaan, makin lewat kalilah dia.

Bang Erik: Mora Sayang, pulang nanti Abang antar, ya! Sudah nggak kuat Abang menahan nafsu ini. Kamu pasti pengen juga merasakan sensasi di bawah perutku, kan? Kamu, kan belum laku.

“Sa, makin takut aku ini dibuat Bang Erik,” bisikku sambil memperlihatkan pesan-pesan yang dikirim Bang Erik.
Sasa tampak berpikir sejenak.

“Kayaknya lu kudu pulang lebih awal, deh. Lu izin apa kek ke Pak Adit. Lu nggak usah balas tu pesan. Satu yang terpenting juga, jangan sampai bandit kurang ajar itu tahu tempat kos lu. Mampus lu ntar kalau dia nguntit lu sampai di sana.”

Saat berbicara, geram kalilah tampaknya muka Sasa. Dia ngomong sambil menggempalkan tangannya dan meninju-ninju ke meja. Macam kuat kali dia mau melawan Bang Erik itu.

“Kalau sudah begini, geram pula aku ingin memberinya pelajaran, Sa. Kau tahu kan aku pernah belajar silat waktu SMA.”

“Eh, jangan,” potongnya cepat. Tampak kalilah ketakutannya. Sampai-sampai ingin tertawa aku melihat wajahnya yang tiba-tiba ciut seperti itu.

“Bukannya tadi kulihat kau tampak geram kali? Sampai menggempal tangan kau itu seperti hendak meninju.”

“Hehehe... Gue hanya bercanda, Ra. Kita ini makhluk lembut. Jadi, nggak boleh ada kekerasan dalam kelembutan.” Dielus-elusnya pundakku agar aku nggak marah.

Ai, ai, beda memang kawan yang satu ini. Kadang, bingung pula aku melihatnya.

“Kenapa lu lihat-lihat gue? Make up gue luntur, ya?” dengan cepat Sasa mengambil cermin di dalam tasnya.

Sigap kali dia kalau masalah penampilan. Kadang lelah aku melihatnya karena lebih sering melihat cermin ketimbang pekerjaannya saat di kantor. Bisa sampai puluhan kali dalam sehari dia menambah bedak di wajahnya. Meskipun tetap saja, kulit gelapnya terlihat hitam.

“Eh, lu masih lihatin gue? Mending lu cepetan pesan ojek online, habis itu pulang. Kerjaan lu udah kelar, kan? Ini juga sudah sore. Gue bentar lagi juga dijemput suami.”

Setelah diingatkan seperti itu, buru-burulah aku memesan ojek lewat aplikasi yang ada di gadgetku.

Namun, mataku kembali membaca pesan dari Erik tokek itu.

Bang Erik: Sayang, tunggu ya! Abang masih ada perlu dengan teman Abang. Kalau sudah kelar, Abang langsung jemput ke kantor.

Bingung aku kalau sudah seperti ini. Apa pula yang harus kulakukan?

“Pesan dari ular berbisa itu lagi?” Sasa menjulurkan kepalanya hingga bisa membaca pesan di gadgetku. “Ya sudah, lu ikut gue aja ke depan. Gue temenin lu nungguin tukang ojek. Kalau sampai bunglon itu macam-macam, gue videoin dan kita lapor ke polisi.”

Saat kami tiba di tempat parkir, sudah ada tukang ojek yang menunggu. Sepertinya, baru saja dia hendak meneleponku.

“Ra, tu tukang ojeknya! Buruan lu naik dan pergi!” Mendapatkan aba-aba dari Sasa, langsung sigap pula aku. Kuminta tukang ojek itu langsung berangkat. Bodohnya, abang-abang ini malah celingukan sana-sini. Bingung kali wajahnya.

“Jalan sekarang, Bang!” perintahku tegas. “Masalah bayaran gampanglah itu.”

Dia masih melihatku dengan bingung. Bodoh kalilah Abang ini. Takut kali dia nggak kubayar. Padahal, di mana-mana, bayarnya itu setelah turun, kan?

Kutepuk pundaknya keras kali sambil kukatakan padanya, “Jalan sekarang, Bang! Atau kuberi bintang satu nanti kau.”

Akhirnya, jalan juga dia. Amang oh, amang (oh, Tuhan), tukang ojek macam apa dia ini? Nggak diberikannya pula aku helm. Meskipun dekat, keselamatan itu tetap harus dijaga, kan? Harus patuh pada lalu lintaslah kita.

Di tengah kekesalanku melihat tukang ojek ini, ada telepon pula yang masuk.

Nggak ingin aku mengangkatnya, tetapi terus saja dia menelepon. Akhirnya, kuterimalah telepon itu.

Penelepon: Mbak di mana? Saya sudah di depan, Mbak?

Mora: Siapa, kau?

Penelepon: Ojek online yang Mbak pesan.

Ha? Jadi, siapa pula laki-laki yang memboncengku ini?

Cinta Beda Suku #IWZPamer2023Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang