Ketegangan

4 0 0
                                    

Seolah-olah ada adegan slow motion yang bikin aku lupa dan baru tersadar saat tangan Erik sudah ada di bagian dadaku. Dia juga sudah berhasil menciumi leherku tanpa ada pembatas. Entah kapan dia berhasil menyibak jilbab yang menutupi bagian belakangku.

Geram dengan sikapnya yang kurang ajar, langsung saja kuentakan ujung sikuku ke perutnya. Meskipun, mungkin nggak kuat, sebab nggak mengaduh dia, tetapi pukulan itu berhasil membuatnya mundur.

“Macam-macam kau dengan aku? Kutendang nanti kemaluan kau, biar tahu rasa kau,” ancamku.

Namun, bukannya kecut, tertawa pula si Erik mendengarkan ucapanku.

“Jangan suka main kasar, Cantik. Abang hanya ingin bikin kamu nyaman.”

Ai, jijik kali aku melihat wajah Erik ini. Suaranya juga sengaja dibuat mendayu-dayu, makin najis aku dibuatnya.

“Jangan main-main kau dengan aku, Bang. Mati kau kubuat.” Setelah mengucapkan kalimat itu, berusaha untuk mundur aku.

Jika dia lengah, langsung saja aku kabur. Nggak ingin lagi aku melihat wajah laki-laki ini. Biar saja aku berhenti bekerja, daripada harus berurusan lagi dengannya.

Namun, tinggal angan-angan saja keinginanku itu sebab tubuhku malah terbentur dinding.

“Kita main cantik saja ya, Sayang,” ucapnya sambil terus mendekat.

“Jangan macam-macam, Bang.” Kini suara yang keluar dari tenggorokanku kian mengecil. Terdengar sekali ketakutanku itu.

Mamak, maafkan aku. Andai saja kudengar perkataan kau, mungkin hari ini nggak akan terjadi seperti ini. Kalau ada yang menjagaku, tentu nggak akan berani macam-macam laki-laki brengsek ini. Sekarang habislah nasibku.

Makin mendekat Erik denganku, makin takut pula aku.

“Jangan takut, Sayang. Sudah kukatakan padamu, aku hanya ingin bersenang-senang denganmu.”

Kini, jarak kami tinggal beberapa senti saja. Satu langkah dia maju, aku coba untuk kembali membela diri. Kugunakan semua kemampuanku untuk menendangnya. Sayangnya, dia bisa mengelak. Hal ini bikin aku makin tersudut.

“Bagus, Sayang. Posisimu seperti itu bikin aku makin berselera.”

Sekarang, nggak ada lagi harapan untukku.

Saat Erik semakin dekat, hanya bisa memejamkan mata aku. Apalagi, saat napasnya sudah terasa di wajahku. Makin lemas dan gemetaranlah seluruh tubuhku. Seolah-olah ajalku semakin dekat.

Ah, mungkin lebih baik Tuhan mengirimkan malaikat Israil untuk mencabut nyawaku. Lebih baik mungkin hidupku.

Perlahan melelehlah air mataku. Terbayang sudah semua dosa-dosaku yang lalu. Belakangan ini, jarang kali aku membuka Al-Qur’an. Padahal kutahu kalau kitab itu merupakan map untuk hidup di dunia. Habis itu, karena sering mengejar target, jadi telatlah selalu aku salat.

Sekarang, nggak ada gunanya juga uang yang sudah kumpulkan dengan begitu banyak. Benar-benar nggak bisa menolong juga, ya?

“Jangan menangis, Sayang,” bisiknya. “Nikmati saja!”

Amang oh amang, tolong beri aku kesempatan sekali saja. Ingin aku bersimpuh di hadapan Mamak dan Bapak untuk meminta maaf. Belum mampu aku membahagiakannya.

Ah, jika saja aku bisa bertemu dengan kedua orang tuaku, ingin kali kuberikan semua uang di dalam rekeningku itu. Setelah itu, biarlah mereka menikmatinya. Nggak perlu lagi mereka berusaha payah ke ladang. Nggak akan terpanggang lagi kulit mereka itu.

“Aw!!!” bodoh kali aku ini. Kenapa pula aku memejamkan mata. Dengan begini, mudahlah dia melakukan apa pun padaku, kan?

Sekarang sudah terlepas jilbabku dibuatnya hanya dengan satu entakan.

Nggak. Nggak boleh menyerah aku. Tadi, sudah kulakukan perlawanan dan jelas kali aku kalah. Mungkin ini saatnya aku melakukan taktik yang berbeda. Bagaimana kalau kubujuk saja dia? Bukankah laki-laki akan tunduk dengan rayuan?

“Bang, jangan beginilah, Bang. Kita bicarakan semuanya baik-baik,” rengekku.

Namun, tampaknya nggak mempan juga ucapanku itu.

“Sebenarnya Abang mau minta apa? Uang atau apa, Bang? Nanti kukasi. Tapi, jangan bikin aku seperti ini, Bang. Dosa ini, Bang. Apa Abang mau ngajak aku jalan-jalan? Boleh, Bang, mau aku sekarang, Bang. Tapi, jangan ambil keperawananku, Bang. Nggak ada harganya lagi diriku jadinya, Bang.” Sambil bicara, kutelungkupkan kedua tanganku di dada. Memohon benar aku kali ini.

“Takut dosa kamu, ya? Takut malu kamu kalau perawananmu hilang? Takut nggak berharga, ya?”

Mengangguk saja aku menjawab pertanyaan Erik itu.

Dengan mengurungku di antara kedua tangannya yang kekar, dia berkata, “Mulutmu juga bikin aku nggak berharga, Mora. Kamu menjatuhkan harga diriku sebagai seorang laki-laki. Sekarang, saat kamu merasakan apa aku rasakan.”

“Kalau begitu, minta maaf aku, Bang. Nggak bermaksud aku menghina Abang.”

“Kita bersenang-senang dulu, baru kumaafkan kamu.”

Kali ini benar-benar tamatlah riwayatku. Nggak ada lagi yang bisa kulakukan.

Namun, tetap saja aku nggak mau menyerah. Saat dia mendekat, kukerahkan semua tenagaku untuk menendangnya. Kugunakan juga tanganku untuk meninjunya. Akan tetapi, usahaku ternyata bikin Erik jadi marah. Sekali tamparan, langsung tersungkur aku ke lantai.

Di atas semen yang dingin, jelas nggak bisa berbuat apa-apa aku. Tubuhnya yang besar dan jangkung langsung menindih badanku yang padat. Kedua tangannya juga langsung menindih kedua tanganku. Dengan begitu, leluasalah dia menciumku.

Sekali lagi, nggak mau aku menyerah. Mati jauh lebih baik dari dinikmati lelaki jahanam ini. Maka kuludahlah wajahnya.

Seketika wajahnya memerah.

“Ternyata kau memang bukan wanita baik-baik. Mau diberi kenikmatan malah bikin darahku mendidih.”

Berdiri dia di hadapanku sambil membuka ikat pinggangnya dia berkata, “Kau perlu diberi pelajaran sebelum kunikmati tubuhmu.”

Cinta Beda Suku #IWZPamer2023Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang