Inikah Kebahagiaan?

2 0 0
                                    

"Anubhawa?"

"Iya, saya. Kenapa?"

Iya, kenapa pula aku terkejut? Siapa lagi cowok yang bisa masuk ke kamar ini selain Anubhawa?

Namun, kenapa pula aku menikmati sentuhannya? Apa aku benar-benar merindukan sentuhan itu? Ai, ada-ada saja aku ini.

Dia kembali mendekat. "Kenapa menangis, Dek?"

Aku mundur, menjauh.

"Semua ini gara-gara kau, Anubhawa!" Tangisku pun pecah. "Dulu, sebelum menikah nggak pernah aku dapat teguran dari kantor. Nggak pernah juga aku bertengkar dengan Sasa, teman terbaikku itu. Namun, setelah ada kau, hidupku jadi berubah. Jadi, hancur semuanya."

Wajahnya tampak bingung. Kedua alisnya tampak bertaut.

"Kau bukan laki-laki jantan, kan? Kau nggak menyukai perempuan, kan? Makanya sampai detik ini kau nggak menyentuhku. Lalu kenapa pula kau menikahiku?" Kucercah dia dengan banyak pertanyaan.

"Sebentar," ucapnya. "Lalu, masalah sebenarnya apa?"

"Tadi malam kau ke mana?" tanyaku lagi.

Dia tampak geleng-geleng kepala.

"Dek, coba bicaranya pelan-pelan. Mas tidak mengerti."

"Nggak mengerti bagaimana?" Bagaimana Anubhawa ini pura-pura nggak mengerti pula dia? Bukannya jelas sekali aku bicara. Nggak pakai kode-kode aku, kan?


Dia menarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan.

"Sekarang apa masalahmu? Apakah karena Mas nggak pulang tadi malam? Apa masalah di kantor dan dengan Sasa? Apa masalah dengan kita yang belum melakukan malam pertama? Coba bicarakan pelan-pelan!"

"Semua masalahnya!" teriakku. "Sekarang, kau ceraikan aku. Antar aku kembali pada orang tuaku. Jangan kau permainkan mereka."


Wajahnya yang semula tenang, kini mulai berubah kusut. Dia tampak gelisah. Beberapa kali diusap wajahnya yang nggak ada apa-apa di sana.

"Baik. Sebelumnya, kamu sabar dulu. Coba Mas jelaskan pelan-pelan. Tadi malam itu, Mas harus menemui Ibu yang datang ke tempat saudaranya di Jakarta ini. Namun, karena ada sedikit konflik, Mas tidak bisa pulang. Mas harus menyelesaikan semuanya. Saat tiba di sana, Mas ingin menelepon adik. Tetapi, HP Mas habis casnya. Tadi pagi, Mas coba telepon kamu. Tapi, sepertinya HP kamu mati."

Nggak. Tetap nggak bisa terima aku alasannya. Pasti dia pergi dengan teman-temannya seperti cerita sekarang yang banyak beredar. Kalau cowok yang suka sesama lelaki, mereka akan sering melakukan pertemuan sesamanya. Apa mungkin mereka semalam malah menginap di hotel?

Dia kembali mendekatiku. Namun, terus saja aku beringsut jauh.


"Kenapa lagi? Aku hanya ingin menenangkanmu, Dik."

"Nggak boleh kau menyentuhku, Anubhawa. Kau itu laki-laki nggak normal."

Wajahnya mengeras.

"Baiklah, mari kita buktikan sekarang kenormalanku."

Saat aku hendak bicara lagi, dia sudah mencium mulutku. Memberikan sensasi yang sulit untuk aku tuliskan.

Setelah dia melepas ciumannya, dia berkata, "Bagaimana? Ngos-ngosan?" Senyumnya tampak nakal.


Aku yang tadinya kesal, nggak bisa lagi untuk cemberut. Sambil mengatur napas, aku pun tertunduk malu.

Dia kembali memberikan ciuman-ciumannya yang bikin tubuhku seperti mengejang di mana-mana. Sensasi geli, tetapi enak ini bikin aku ketagihan.


"Sekarang, kita buktikan keperkasaanku," bisiknya saat dia sudah benar-benar berhasil di atasku.

Jika aneka permainan bikin anak-anak kecil bahagia. Maka, hubungan suami istri adalah permainan yang bikin hidup terasa jauh lebih indah.

Siang itu, dalam sesaat semuanya berubah. Dari aku yang begitu kesal menjadi bahagia. Dari air mata menjadi tawa. Dari perbedaan menjadi satu.

"Sekarang panggil saya dengan sebutan Mas, ya, jangan Anubhawa! Kamu harus belajar menghormati suamimu!" Nasihatnya menjadi seperti hipnotis yang bikin aku mengangguk tenang dalam pelukannya.


Cinta Beda Suku #IWZPamer2023Where stories live. Discover now