Hinaan

7 2 0
                                    

“Hm, hm.” Dehaman seseorang menyadarkan bahwa kami sedang ada di kantor. “Ngerumpi teruuus, kapan kelarnya tu kerjaan?”

“Ai, sirik kalilah mereka pada kita.”

Sambil mengedipkan mata, Sasa kembali ke meja kerjanya. Aku sendiri langsung membuka laptop yang ada di hadapanku.

Malas kali aku dan Sasa mendapat aduan macam-macam dari mereka ke Pak Bos. Jadi, kami sudahi saja perbincangan kami. Lagi pula, sudah kudapat itu solusi sementara untuk permasalahanku.

Namun, nggak lama aku bekerja, ada pula panggilan dari Pak Bos. Dengan segera, pergilah aku ke ruangannya.

“Hai, Mora,” Laki-laki berkulit putih dengan rambut yang selalu belah ke samping itu menyapaku.

“Mantap kalilah Bang Erik ini, dapat proyek lagi kau, Bang?”

“Biasalah, ada yang jual beli tanah untuk membuat perumahan. Bisa kan kamu bantu aku untuk menghendel  semuanya seperti biasa?”

“InsyaAllah bisalah, Bang.”

“Oke, berarti untuk urusan Erik kamu yang urus ya, Ra!” perintah Pak Adit.

“Siaplah, Pak.”

Karena sudah mendapat restu dari Pak Bos, langsung sajalah aku mengambil dokumen yang ada di atas meja. Saat mengambil kelengkapan itu, malah berulah pula Bang Erik ini. Ditatapnya aku dari ujung kaki sampai ujung kepala.

“Mora, malam ini kita nonton, yuk!” ajaknya sambil tersenyum jahil dengan hidung pesek yang kembang kempis.

Ai, melihatnya seperti itu, jadi takut pula aku. Mata hitam besarnya itu bikin aku ngeri. Seperti mau langsung ditelannya aku.

Sesekali, dia juga menjilati bibirnya yang tampak gelap karena kecanduan rokok. Kutahu hal seperti ini dari bapakku. Bibirnya itu gelap dan kusam kali karena nggak pernah berhenti merokok.

“Mau kan, Sayang,” ucapnya sambil menjamah daguku.

“Ai, Bang Erik, lancang kalilah kau! Bukan wanita sembarangan aku ini yang bisa kau jamah-jamah begitu saja,” marahku.

Mendengar suaraku yang lantang, Pak Adit yang sedang fokus dengan kertas-kertas yang ada di hadapannya ikut menoleh ke arah kami.

“Maaf, maaf,” katanya melirik Pak Adit. “Aku hanya bercanda.”

“Nggak lucu kalilah lawakanmu itu. Nggak suka aku.” Nggak kuturunkan volume suaraku.

“Jangan marahlah Mora. Kalau kamu marah, kamu tambah cantik, loh.”

Ai, naik darah aku melihat ulah Bang Erik ini. Sudah lama dia sering melirikku. Namun, baru hari ini dia lancang kali.

“Sekali lagi Bang Adit menggangguku, nggak kukerjakan surat-surat Abang.”

“Baiklah, sekali lagi aku minta maaf,” ucapnya sambil menangkupkan kedua tangannya di dada.

Saat hendak keluar ruang itu, dipanggilnya lagi aku, “Mora, Mora!” Menolehlah aku dibuatnya. “Wajahmu seperti itu bikin nafsuku makin menggelora,” bisiknya pelan sambil memonyongkan bibirnya seperti orang yang mau berciuman.

Mendapati sikapnya seperti itu, makin ngeri aku. Langsung saja aku keluar.

Baru saja pantatku menyentuh kursi, gadgetku sudah bergetar. Penasaran, langsung saja kulihat benda itu.

Bang Erik: Mau ya, Mora malam ini jalan dengan Abang.

Mora: Jangan macam-macam, Bang. Kau bisa kulaporkan pada Pak Adit. Kalau perlu, bisa kulaporkan kau pada yang berwajib atas dasar pelecehan. Jangan main-main kau Bang dengan aku.

Orang seperti ini memang nggak boleh dikasi hati. Bisa-bisa dia minta jantung pula.

Bang Erik: Hei, Perawan Tua, jangan sok jual mahal kamu. Umurmu itu sudah kedaluwarsa. Sudah nggak ada lagi laki-laki yang mau sama kamu. Aku mau ngajak kamu nonton karena kasihan sama kamu. Eh, malah sok jual mahal lagi.

Membaca pesan Bang Erik, teriris-iris pula rasanya hatiku. Air mataku juga mengalir perlahan. Sesak rasanya napasku membaca tiap kalimat tulisan ini.

Benar-benar nggak lakukah aku ini? Lalu, seburuk itukah aku?

Ah, benar pula rasanya apa yang dikatakan Bang Erik ini. Buktinya sampai sekarang belum punya pacar aku ini.

Karena kantor sudah penuh dan nggak ingin menarik perhatian para karyawan yang lain, kuputuskan langsung saja ke musala.

Tempat ini jadi ruangan yang nyaman untukku dan Sasa ngerumpi. Sebab, jarang kali orang yang datang ke sini. Mereka terlalu sibuk pada dunia mereka masing-masing. Seolah-olah nggak sempat dan nggak punya waktu mereka untuk berhenti sejenak beribadah.

Di sana, kulampiaskan saja semua kekesalanku. Kuperhatikan pula wajahku di cermin. Belum ada kerutan juga yang terlihat di muka. Lalu, kenapa Bang Erik begitu tega menghinaku.

Setelah lelah menangis, kuputuskan saja untuk mengambil air wudu dan melakukan salat sunah duha dua rakaat agar bisa sedikit tenang.

Di sujud terakhir ini, kupanjatkan doa yang panjang. Kupasrahkan semua urusanku pada Tuhan.

Setelah itu, barulah lega sedikit hatiku. Untuk memberi pelajaran pada Bang Erik itu, aku berencana melaporkan semua kejahatannya ke polisi. Biar tahu rasa dia.

Namun, setibanya aku kembali ke meja kerja, Sasa menghampiri dan bertanya, “Lu dari mana? Eh, lu habis nangis? Kok mata lu bengkak gitu.”

Mengangguk saja aku. Karena sudah terlalu lama aku ke sana kemari, katakan saja padanya, “Nanti istirahat siang saja kuceritakan semuanya pada kau.”

Setelah itu, kembali lagilah aku bekerja. Kuselesaikan beberapa berkas yang harus diselesaikan segera hingga nggak terasa pula sudah azan Zuhur.

Panjang lebar kuceritakan semuanya pada Sasa. Berharap aku dari dia bisa membantu dan mendukungku. Namun, dia malah berkata.

“Jangan lapor ke polisi dulu, Ra, bahaya. Lu itu perempuan. Takutnya nanti dia dendam terus nyuruh orang buat ngapa-ngapain lu. Ngeri, Ra. Lagian gue dengar tadi, seperti Bang Erik itu ditantang sama temannya buat ngedapatin lu.”

“Ah, yang benar saja kau, Sa?”

“Buat apa gue bohong ke lu? Makanya tadi gue langsung cariin lu saat tiba-tiba lu menghilang begitu saja.”

“Terus, gimanalah seharusnya aku ini, Sa? Nggak maulah aku terus diganggu sama Erik itu. Capek aku.”

“Mending secepatnya lu cari pacar atau pendamping deh, Ra. Biar ada yang jagain kamu.”

“Ai, kalau begitu, cepatlah kau temukan aku sama teman kantor suami kau itu.”

“Sorry, Ra. Gue lupa ngabarin lu. Gue baru saja wa-an sama suami gue. Katanya, temannya udah dapat gebetan dan mereka sudah mau lamaran dalam waktu dekat.”

Mendengar ucapan Sasa, lemas Kalilah tubuhku ini.

Kasihan Mora ya, kira-kira ada yang mau bantu Mora nggak? Ada yang mau daftar jadi pendamping Mora?

Cinta Beda Suku #IWZPamer2023Where stories live. Discover now