Keganjalan

3 0 0
                                    

Selama ini, kukira pengantin baru itu masa yang paling membahagiakan. Nyatanya salah besar aku.

Nggak ada sayang-sayangan atau pelukan mesra. Yang ada hanya kepenatan.

Saat bangun pagi, nggak kutemui lagi Anubhawa di atas tempat tidurku. Nggak tahu ke mana saja dia. Jadi, kuputuskan saja untuk langsung mandi dan bikin sarapan sendiri.

“Pagi, Mbak.” Kudengar suara lembutnya menyapa cewek-cewek di kosku. Gila kali Anubhawa ini. Satu cewek saja nggak bisa dia tiduri, malah menggoda cewek yang lain. Karena makin kesal, kuputuskan berangkat ke kantor pun sendiri.
Apalagi, lama kali dia berdandan, benar-benar macam perempuan dia kutengok. Jadi, makin malas aku bertemu dengannya.

“Kok, pakai sepeda sendiri?” tanya Sasa yang tampak mulai curiga kalau ada apa-apa dengan pernikahanku.

Namun, kucoba untuk terus menutupinya. “Banyak kali kerjaan Anubhawa itu setelah cuti. Jadi, awal kali dia ke kantor. Belum bangun aku saat dia pergi.”

“Lu sih, terlalu kuat mainnya. Kecapean lu, kan, dan telat terus bangunnya. Jangan lupa salat subuh, Coy.” Candaan Sasa selalu kubalas dengan senyuman saja. Nggak nafsu kali aku bergurau belakangan ini.

Di kantor pun, nggak bisa bekerja aku dibuatkan masalah ini. Di depan laptop, bukannya menyelesaikan pekerjaan, aku malah sibuk mencari data mengenai suamiku.

Aku mencoba membuka sosial medianya. Namun, nggak kutemukan keanehan di sana. Postingan-nya hanya seputar Islam dan ceramah-ceramah.

Akan tetapi, nggak mau percaya begitu saja aku. Banyak kali orang berkedok agama, tetapi kelakuannya rusak, kan? Mengaku ustaz, tetapi belum diceramahi dirinya sendiri.

Belum puas aku mendapatkan informasi yang kuinginkan. Langsung saja kucari teman dekatnya, siapa yang sering like atau komen di sosial medianya.

Sayangnya, kembali kecewa aku. Sepi kali like dan komen di Facebook dan Instagram-nya.

Kalau begini, buntu kali rasanya otakku. Amang oh amang, kenapa pula nggak kucari info sejak dulu, sejak sebelum menikah. Kusesali lagi diriku sendiri.

“Lu kenapa, sih? Gue lihat kayaknya lu gelisah banget. Pengantin baru nggak kayak ini. Waktu gue habis nikah, wajah gue happy banget, nggak kusut kayak benang layangan gini. Lu lagi ada masalah, ya?” tanya Sasa disela-sela kerja kami.

Dapat pertanyaan seperti ini, langsung saja aku ingin menangis. Namun, kali ini nggak ingin aku mengumbar masalah keluargaku. Ini aibku juga, kan?

Meskipun kuceritakan semua yang kualami, nggak yakin kali aku Sasa  bisa menyelesaikannya. Jadi, kuputuskan untuk menyimpannya sendiri. Kalau sudah mentok kali otak dan pikiranku, barulah aku bercerita pada Sasa.

“Terima kasih banyaklah atas perhatian kau, Sa,” ucapku untuk menyembunyikan kesedihanku. “Lagi pusing saja aku membagi waktu. Belum terbiasa aku menjadi istri,” bohongku lagi.

“Kalau lu merasa butuh cuti lagi, mending lu bicara lagi sama Pak Adit. Jangan lu sengsarain diri lu sendiri. Kita juga butuh senang-senang, kan?”

Sebenarnya, nggak kuhiraukan lagi kalimat Sasa itu. Aku sudah sibuk dan fokus dengan misi utamaku, mencari informasi tentang Anubhawa.

Sasa pun tampak nggak seperti biasa. Bukan kalian nggak tahu bagaimana keponya Sasa, kan? Namun, hari ini, macam banyak juga pikirannya. Ini yang bikin aku gampang terbebas begitu saja dari terornya.

Saat jam istirahat kantor tiba, langsung saja aku janjian untuk bertemu salah satu sahabat kantor Anubhawa.

Rela aku mengeluarkan uang untuk membayar orang yang kutemui asalkan dapat info mengenai Anubhawa.

“Nggak ada, Mbak, teman dekat Pak Anubhawa. Dia itu orangnya pendiam dan tertutup. Jarang sekali dia berkumpul bersama anak-anak kantor lainnya. Dia lebih sering ke musala ketimbang ke kantin. Kabar menikahnya pun, kami hanya dengar dari atasan.” Hampir sama saja penjelasan setiap teman kantor Anubhawa yang kutemui.

Begini rupanya karakter suamiku di kantor. Pantas saja nggak ada satu pun temannya yang datang di acara pesta waktu itu. Kupikir karena jauh. Ternyata, nggak punya teman dia. Kalau begini, bagaimana aku mencari informasi mengenai dirinya? Apa jalan satu-satunya memang harus kubuka gadgetnya untuk melihat semua isinya.

Tibanya di rumah, kuniatkan untuk mencari informasi lewat gadgetnya. Namun, kulihat sibuk kali dia depan laptop dan HP-nya itu. Jadi, nggak punya kesempatanlah aku untuk menyelidiki semuanya.

Sebenarnya, kami ini sama-sama pekerja keras dan nggak bisa jauh dari gadget. Hingga tengah malam, masih tahan kami bergadang menyelesaikan tugas kami masing-masing dan nggak lepas juga gadget itu dari jangkauan kami. Sayangnya, macam ada sekat di antara kami. Seolah-olah, benda-benda canggih itu yang memisahkan kami.

Sebelum tidur, kucoba untuk memancing-mancing Anubhawa. Sengaja aku bernyanyi besar-besar dan kugunakan baju seadanya, tetapi macam nggak tergiur dia. Jadi, makin kesallah aku. Langsung saja aku tidur.

Keesokan paginya, sengaja aku bangun lebih awal. Mungkin saja selama ini, dia marah karena selalu kesiangan aku bangun.

Aku membuat sarapan nasi goreng spesial. Saat sedang makan, akan kuutarakan semua kekesalanku ini.

“Dik, lain kali, kalau mau simpan makanan jangan di lantai, ya!  Di kamar kan banyak debu, nanti makanannya jadi kotor. Mending simpan di atas meja.”

“Banyak kali aturan kau, Anubhawa. Padahal kewajiban kau saja nggak kau kerjakan,” ucapku kesal sambil meninggalkannya begitu saja.

Cinta Beda Suku #IWZPamer2023Where stories live. Discover now