Restu Orang Tua

4 0 0
                                    

Mamak: Mora, pandai kali kau memilih calon suami. Sopan kali dia itu. Jadi, kapan rencananya kalian akan menikah?

Kesurupan apa Mamak pagi-pagi menelepon dan langsung membicarakan pernikahanku? Bukannya kemarin nggak setuju dia dengan Anubhawa?

Mamak: Hai, Mora. Masih di situ kau, kan?

Kini giliran Mamak yang menyadarkanku dari lamunan.

Mora: Mamak setuju aku menikah dengan Anubhawa?

Mamak: Setuju kali kami, Mora. Sudah kuberi marga juga dia. Kemarin itu, meskipun si Baha itu datangnya sebentar, tetapi sempat juga kami membuat acara adat mangain anak. Namboru kau yang mengangkat si Baha itu sebagai anaknya.

Mora: Anubhawa, Mak, namanya.

Mamak: Terserah kaulah. Sekarang, Mamak mau mencatat nama-nama orang yang akan kami undang. Segera kau kabari Mamak kapan acaranya, ya! Biar bisa cepat Mamak mencetak undangan.

Ilmu apa pula yang diberikan Anubhawa sehingga mudah sekali Mamak menerimanya.

Karena nggak sabar menunggu Anubhawa tiba di Jakarta, kutelepon saja dia langsung.

Sayangnya, pertanyaanku hanya dijawab dengan tawa renyahnya.

Nggak mau dia bercerita panjang lebar padaku. Jadi, kuputuskan saja langsung ke bandara untuk menjemputnya.

Rasa penasaran bikin aku rela bolos dari kantor. Nggak papa sesekali jadi anak nakal, kan?

Saat ditelepon Sasa, kubilang saja kalau aku ada urusan penting. Awalnya berisik kali dia karena penasaran. Namun, karena nggak kunjung kujawab dan mungkin banyak kali pekerjaannya. Jadi diputuskannya juga teleponnya.

“Apa yang kau katakan pada Mamakku hingga mereka menerima kau dengan mudah?”

“Cinta bisa mengalahkan segalanya, Mora. Sesuatu yang datang dari hati akan sampai ke hati juga.”

“Ai, sudah pandai kau menggombal sekarang.”

Mulai pandai juga dia tersenyum jahil ke arahku. Namun, jujur saja, suka kali aku melihatnya nakal seperti itu. Rasanya, ingin langsung kupeluk dia.

“Sekarang, kita harus menentukan tanggal pernikahan kita.”

“Tapi, kau belum mengenalkanku pada orang tua kau.”

Wajah Anubhawa berubah mengeras. Apa ada kata-kataku yang salah? Eh, jadi bingung pula aku.

Anubhawa berjalan mendahuluiku. Karena merasa bersalah, langsung saja kukejar dia. “Ada yang salah dengan kata-kataku?”

“Ayah saya sudah lama meninggal,” ucapnya sambil tetap menunduk.

“Mamak kau juga sudah meninggal?”

Lama dia nggak menjawab pertanyaanku. Hanya berhenti berjalan saja dia. Kemudian, dipandanginya aku dalam-dalam. “Semoga Ibu setuju,” ucapnya singkat.

Sebenarnya, ingin kali aku mengulang kalimat yang dikatakannya saat Mamakku nggak setuju waktu itu. Namun, kuputuskan untuk mengikutinya saja.

Saat jalan kami sudah sejajar, kukatakan padanya, “Minggu depan, biar aku cuti saja untuk bertemu Mamakmu.”

“Jangan,” potongnya. “Biar saya saja yang mengabarinya.”

“Nggak bisa seperti itulah, Anubhawa. Nggak adil jadinya. Kau kenal dengan keluargaku dan aku nggak kenal pula keluarga kau,” rengekku.

Dia nggak menjawab. Diam saja dia.

Sejak peristiwa itu, kami jarang sekali berkomunikasi. Macam nggak semangat dia jika bertemu denganku.

Aku yang terus diteror Mamak, menanyakan tanggal pernikahan, tentu jadi serba salah.

“Jadi, kek mana? Jadi atau nggak kau mau menikah denganku? Itu, Mamakku bertanya terus masalah tanggal pernikahan kita,” tanyaku akhirnya setelah bisa bertemu Anubhawa langsung.

Namun, nggak mau dia menjawab. Naik darahlah aku jadinya.

“Jangan kau mainkan perasaan keluargaku, Anubhawa. Kalau kau nggak serius, jangan pernah temui aku lagi.”

“Saya serius dengan kamu, Ra. Hanya saja, ibu saya tidak setuju. Sudah lama ibu menjodohkan saya dengan gadis pilihannya.”

“Kenapa nggak kau ceritakan semuanya dari awal? Besok, biar aku ambil cuti. Kita sama-sama menemui ibu kau.”

“Tidak semudah itu, Ra. Ibu berbeda dengan Mamakmu.”

Sekarang, giliran aku yang nggak peduli dengan ucapan Anubhawa. Kutelepon saja Pak Adit untuk meminta cuti beberapa hari kedepan.

Perjalanan Jakarta-Yogyakarta memakan waktu kurang lebih sebelas jam terasa sangat membosankan. Di atas bus ini, rasanya sendiri saja aku.

Sejak duduk di kursi penumpang, Anubhawa menjadi manusia patung yang diam seribu bahasa. Nggak ada dia bicara atau menjelaskan apa pun. Padahal, ini kan perjalanan pertamaku ke Yogyakarta. Ingin kali aku mendapatkan pengalaman yang menarik.

Untungnya, bus yang kami tumpangi terasa macam naik pesawat. Ada pramugari cantik yang selalu hilir mudik menyediakan air dan berbagai hal. Jadi, dari cewek-cewek cantik itulah aku sering bertanya.

Kalau pemandangan selama di perjalanan, kalian jangan tanya lagi. Cantik kali pemandangan di sini. Kutemui pepohonan yang masih asri dan gunung yang memesona mata. Macam balik kampung aku rasanya.

Namun, saat tiba di rumah yang berdesain zaman dahulu, tambah kecewalah aku.

Sambutan perempuan berpakaian kebaya dan sanggul tinggi itu bikin aku tercengang. Dia memandangiku dari atas ke bawah dengan detail.

Setelah tahu kalau Ibu Laksmi itu orang tuanya Anubhawa, tersenyum dan tertunduk-tunduklah aku di hadapannya.

Akan tetapi, sikapnya nggak berubah. Tetap sinis dia memandangku.

“Siapa namamu?” tanyanya dengan suara dalam yang terdengar berat.

“Mora Nasution, Bu,” jawabku dengan coba melembut-lembutkan suara.

“Kamu lahir di hari apa?”

Ai, pertanyaan macam apa pula ini? Sudah lupa aku dengan hari lahirku. Yang kuingat, aku lahir di tanggal 3 Februari tahun 1994 saja.

“Telepon ibumu dan tanyakan hari apa kamu lahir!” perintahnya.

Anubhawa tampak ingin protes. Akan tetapi, ibunya tampak lebih berkuasa. Setiap ibunya menggerakkan tangannya untuk melarang Anubhawa bicara, tampak sekali wajahnya yang begitu geram.

Belum sempat aku menelepon Mamak, kulihat pula catatan kecil yang ada di gadgetku.

“Baru kuingat, Bu, aku lahir di hari Rabu,” ucapku cepat sambil tersenyum.

Setelah mengucapkan itu, Bu Laksmi langsung mengajak anaknya masuk ke dalam rumah. Nggak lama setelah itu kudengar mereka berdebat.

“Bagaimana kamu ini Anubhawa, Ibu sudah memilihkan wanita yang cantik dari keturunan yang punya bebet dan bobot yang jelas. Eh, kamu malah milih wanita yang ndak kelas seperti itu, Nduk. Menurut Primbon Jawa, wanita yang lahir di Rabu Pahing memiliki watak pemalas, suka berbohong, tidak punya pendirian. Wanita seperti itu yang mau kamu jadikan istri?”

Cinta Beda Suku #IWZPamer2023Onde as histórias ganham vida. Descobre agora