Penghilang Penat

7 1 0
                                    

“Napa lu lemas amat? Kayak sapi yang habis diperah aja,” sapa Sasa.

“Erik bikin ulah lagi. Difitnahnya aku. Dia bilang ke Pak Adit kalau aku nggak memberikan pelayanan terbaik untuknya.”

“Hmmm ... masalah Pak Gembul itu lagi? Jangan terlalu lu pikiran. Mending kita nonton, yuk! Gue lihat hari ini ada film terbaru di bioskop. Mumpung anak gue ada yang jaga, sekali-kalilah kita me time.”

"Ah, kau ini. Aku sedang pusing dengan masalahku malah kau ajak pergi bersuka-suka pula. Seharusnya kau bantu akulah mencari jalan keluarnya."

"Orang sinting kayak gitu nggak perlu diurusin, Ra. Sekarang lu tinggal jalankan yang dikatakan Pak Adit. Kalau tu orang masih ngirimin lu pesan yang macam-macam, lu tinggal SS terus kirim ke Pak Adit. Gampang, kan? Sekarang, mending kita istirahat kan otak kita yang mulai panas. Happy kita."

Sebenarnya malas kalilah aku mau ke mana-mana. Inginnya aku pulang ke kos dan istirahat total, mumpung besok hari Sabtu. Namun, karena kurasa benar pula apa yang dikatakan Sasa, kalau di kos rasanya tentu nggak bisa tenang aku di sana. Kalau begini, lebih baik aku mencari udara di luar, kan?

“Janganlah ke bioskop. Apa yang kita dapat di sana? Kita ke pekan raya Jakarta saja, yuk! Di sana, aku bisa dapat belanja murah. Nanti bisa kujual lagi barang-barang itu dengan harga biasa. Dengan begitu, dapat lagilah aku untung.”

“Woi, otak Batak, pikiran lu itu kayaknya perlu dicuci, uang melulu. Sekali-kali, kita butuh refreshing, Kambing ngepet.”

Seketika bersama Sasa bikin hidupku selalu ceria. Ada saja kata-kata yang dikeluarkannya dan bikin aku tertawa. Nggak bisa aku bersedih kalau ada Sasa. Macam kabur itu kesedihan kalau dia datang.

“Bukan mata duitan aku ini, Sa. Tapi, belum merdeka aku ini, sebab yang berbaris rapi di dalam dompetku hanya Pattimura. Jadi, masih perlu aku berjuang. Berbeda dengan kau yang selalu ada Soekarno dan Hatta yang menghuni dompet kau.”

Mendengar ucapanku, tertawa jugalah dia.
“Kalau begitu, kita ke bioskop, ya,” ucap Sasa.

“Pekan raya Jakarta.”

“Bioskop.”

“Pekan raya Jakarta.”

Begitu terus kami berdebat hingga akhirnya Sasa kelelahan dan kehabisan suara.

Kalau sudah masalah buka suara, orang Batak pasti nomor satu. Nggak bisa kalian menyepelekannya. Makanya begitu banyak dari kalangan kami yang memilih menjadi pengacara, pandai kali kami berbicara.

Setelah beberapa menit di perjalanan, akhirnya tiba juga kami di Jakarta Ekspo Kemayoran. Sasa tampak antusias sekali ingin menyaksikan konser salah satu artis favoritnya, JKT48. Aku sendiri lebih senang menunggu penampilan Fiesta Besari. Suka kali aku lagu-lagunya. Beberapa bukunya juga aku punya.

Namun, karena masih sore, kubujuk dulu Sasa untuk menemaniku belanja. Banyak kali barang murah di sini. Khilaf aku dibuatnya.

“Woi, Siput Ungu, sampai kapan lu mau di sini? Gue tinggalin lu baru tahu rasa, ya.”

“Sabarlah sedikit, Sa. Barang-barang seperti ini laku keras di kampungku.”

“Terus lu mau gotong semua tu barang kayak penjual keliling? Sekalian aja borong sama toko-tokonya,” ucapnya kesal. Wajahnya itu lucu kalilah. Macam makan buah asam dia, kecut kali tampaknya.

Satu lagi, heran kali aku dengan sahabatku yang satu ini. Nggak suka kali dia belanja perabotan. Biasanya sebagian wanita suka beli alat-alat rumah, kan? Nah, Sasa nggak pernah tertarik. Dia hanya senang sama baju dan alat-alat kosmetik itu.

Saat dia menikah dulu, kado perabotnya dibagi-bagikannya untuk mamak mertua dan mamaknya. Kukatakan padanya, “simpan sajalah, Sa. Kau pasti mau punya rumah sendiri, kan? Nggak capek lagi kau beli perabotan nantinya.”

“Gue nggak butuh, Ra. Kalau pun gue punya rumah sendiri, gue malas masak. Gue mau beli atau makan di luar aja. Males gue lihat barang yang begituan.” Aneh banget, kan?

“Woi, Lepat ubi, tu barang mau lu kemanain? Tahu gini mending gue ke bioskop bareng laki gue, udah bahagia gue sekarang.”

Mendengar keluhan Sasa, hanya bisa tertawa kecil aku.

“Temani aku titip barang-barang ini ke booth Paxel dulu, ya! Nanti biar mereka langsung mengirim barang ini ke kosku.”

Makin ditekuklah wajah persegi si Sasa. Melihatnya seperti itu, makin gemaslah aku dibuatnya.

Setelah semuanya selesai, terbitlah senyum di wajah Sasa. Dengan buru-buru kami masuk ke ruangan konser.

Weekend seperti ini, PRJ memang benar-benar penuh dengan manusia. Sesak kami di dalam sini. Namun, tetap kunikmati suara musik yang bikin semua masalahku hilang.

Akan tetapi, tiba-tiba, kulihat cowok yang nggak asing di mataku. Dia terlihat sedang merekam suasana di sini dengan gadgetnya.

Serius kali dia? Sampai nggak sadar dia kuperhatikan.

Saat sedang cekikikan menyaksikan wajahnya yang serius, tiba-tiba mata kami beradu. Langsung bertalu-talu debaran jantungku.

Kini, aku pula yang jadi salah tingkah. Karena bingung, kuseret saja Sasa untuk keluar.

Dia yang sedang melompat-lompat sambil bernyanyi, majulah ke depan! (Go it!). Jangan berhenti! (Go it!), langsung protes dengan tindakanku.

“Ngapain sih lu seret-seret gue keluar? Gue masih mau nonton tahu! Mubazir uang gue udah bayar tiket, tapi nggak nonton sampai selesai.”

Cinta Beda Suku #IWZPamer2023Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ