Bab 1

142 19 5
                                    

20 Desember 2019

"Apa, Mbak Citra? Ibu gak salah?" teriak Wiryawan tidak percaya. Semua mata beralih melihatnya.

Laki-laki itu langsung berdiri dari kursi empuk, lalu berdiri di sampingnya. Entah untuk apa. Matanya tidak lepas dari sang ibu yang duduk berdampingan dengan Dianti. Perempuan 65 tahun itu mengangguk sambil tersenyum.

"Ibu, tidak bergurau 'kan? Gurauan Ibu tidak lucu. Ini tentang rumah batik kita! Kenapa harus Mbak Citra?" protesnya meninggi.

Untari bergeming. Tatapan lembutnya tidak beralih dari Wiryawan yang terlihat sangat emosi. Rahangnya mengeras,  mukanya merah seolah menahan tumpukan amarah yang siap dilempar ke seluruh penjuru rumah. Tangannya mengetuk-ngetuk kasar sandaran kursi di samping. Suasana menjadi hening.

"Bu, daripada Mbak Citra, Ibu bisa memilih kami yang mengelolanya. Ibu  tau bagaimana kapasitas kami."

Kali ini si bungsu mencoba merayu. Dianti memegang lengan ibunya, memijat dengan lembut. Untari tahu kebiasaan putri bungsunya ketika menginginkan sesuatu. Agresif dengan perhatian yang Untari tahu, hanya untuk memudahkan mendapatkan keinginannya.

"Atau  ...."

"Atau apa?" potong Untari lembut tapi tegas. Pandangan sang Ibu tajam menatapnya  Dianti tersipu.

"Kenapa enggak aku saja? Atau ... Mas Wawan yang sudah ahli dalam berbisnis. Kalau Mas Ndaru, jelas gak bakal mau. Iya 'kan Mas?" Dianti kembali bicara.

Andaru yang tiba-tiba disebut hanya menyengir, karena memang dia sama sekali  tidak tahu bisnis. Hidupnya sudah cukup ribet dengan urusan pasien di rumah sakit.

"Bukan merendahkan atau meragukan kemampuan Mbak Citra, tapi untuk ukuran pebisnis, Mbak Citra kurang berambisi. Lihat saja! Tiga tahun membantu Ibu, rumah batik kita masih seperti ini," keluh Dianti sok tahu.

Untari kembali tersenyum mendengar paparan si bungsu yang memang memiliki ambisi besar dengan rumah mode Dee-nya di Jakarta. Belum lama bergelut dalam dunia fashion, nama putri bungsunya sudah cukup terkenal.

"Bu, rumah batik itu hasil perjuangan Ibu dari nol. Butuh tangan-tangan yang hebat dan manajemen yang handal untuk keberlangsungan perusahaan itu. Bukan orang biasa yang tidak memiliki keahlian dalam bidangnya," kata Wiryawan kembali menyerang. Nada suaranya terdengar lebih lembut dengan sedikit menekan pada bagian akhir kalimatnya.

Untari memperhatikan wajah-wajah yang tidak puas di hadapan. Wajah yang dalam tubuhnya mengalir darah dan kasih sayangnya. Wiryawan, berdiri kokoh di sebelah kiri dan menatapnya tajam. Dada Untari terasa sesak.

Tatapan itu mengingatkannya pada suaminya, Tomy Sujiwo. Ekspresi paling tidak disukai dari laki-laki yang memberinya tiga orang anak yang sekarang ada di hadapannya. Dianti si bungsu menunduk sambil memainkan gawainya. Sementara Andaru, si tengah yang biasanya tenang kini terlihat gelisah. Kakinya bergoyang-goyang, matanya bergantian melihat ibu dan kakaknya.

"Mas, coba pelan sedikit ngomongnya! Aku takut Mbak Citra mendengar pembicaraan kita. Bagaimana pun, Mbak Citra itu kakak kita. Kita wajib menyimpan hormat padanya."  Akhirnya Andaru bersuara,. Wiryawan mendengus kesal. Tatapannya tajam menghujam  mata Andaru, mencoba mengintimidasi.

"Mbak Citra pergi dari pagi," sahut
Wiryawan ketus.

"Tetapi gak perlu teriak juga, Mas. Ingat! Mas Wawan sedang bicara dengan Ibu," sambungnya mengingatkan. Semua terdiam, tidak percaya Andaru berani menasihati Wiryawan.

"Ibu, kenapa tidak dipikirkan kembali keputusan yang penting ini. Mungkin kita harus bicara baik-baik dengan kepala dingin." Sekali lagi Andaru mencoba menjadi penengah, bersikap lebih tenang dan arif.

Untari menghela napas, mengambil oksigen sebanyak mungkin untuk mengisi paru-parunya yang terasa sesak. Dipejamkan matanya, mencoba mengusir keraguan yang sempat melintas karena keberatan anak-anaknya.

Kenapa sulit membuat kalian mengerti? keluhnya dalam hati.

Empat puluh lima tahun, Untari berjuang menjalankan usaha mereka. Saat ini dia ingin berhenti, beristirahat di usia senjanya. Setelah membantunya tiga tahun terakhir, Citra pantas melanjutkan usaha ini. Namun, anak-anaknya yang lain?

"Ibu tidak apa-apa?" tanya Andaru khawatir melihat Ibunya diam, seperti menahan sakit. Laki-laki itu mendekat, menyentuh pundak ibunya lembut. Untari tersenyum, menepuk wajah tampan putra keduanya.

"Ibu gak papa. Dan Ibu tidak akan mengubah rencana!" tandasnya tegas.

"Maksud Ibu?"

"Dengar, semuanya! Mas Wawan, Mas Ndaru, dan kamu Anti, Ibu tidak akan menarik ucapan yang tadi. Citra yang akan meneruskan usaha rumah batik kita. Sekali lagi ... Citra! Dia sangat berkompeten dalam urusan ini. Kalian harus ingat! Kakakmu bukan orang bodoh. Dia lulusan UGM. Selain itu dia ju--"

"Tidak! Aku tetap tidak setuju! Ibu jangan begitu. Usaha rumah batik milik kita semua." Wiryawan memotong perkataan Untari.

"Mas Wawan, kenapa kamu begitu ngotot? Kalian sudah Ibu beri bagian harta masing-masing. Bahkan modal pun sudah digelontorkan begitu banyak. Nak, Mbakmu itu belum mendapatkan apa pun dari Ibu."

"Ibu jangan lupa! Mbak Citra itu bukan bagian dari keluarga kita," bujuk Wiryawan dengan suara lebih rendah.

"Apa maksudmu?" bentak Untari dengan mata nanar menghujam mata Wiryawan.

"Mungkin maksud Mas Wawan, anu ... Mbak Citra 'kan bukan anak kandung Ibu dan Bapak. Dia hanya anak tiri Ibu," sahut Dianti terbata.

Sepertinya ada keraguan saat mengatakan kalimat terakhir. Dianti takut membuat Untari tersinggung, tetapi dia juga tidak setuju dengan keputusan ibunya itu.

"Dianti!"

Dianti kaget. Matanya menatap Untari dengan sedikit ketakutan. Tidak biasanya ibunya berteriak seperti itu. Terlebih kepada dirinya si bungsu yang sangat dimanja. Andaru mengusap punggung tua ibunya untuk menenangkan. Andaru juga memberi isyarat kepada Dianti untuk mengunci mulut. Wiryawan mendengus.

"Maafkan Dianti, Bu. Mungkin dia tidak bermaksud jelek tentang Mbak Citra. Dia hanya mengingatkan posisi Mbak Citra di keluarga ini. Walaupun ... dalam pandangan agama dan hukum, Ibu boleh memberikan harta pada anak tiri, tapi usaha rumah batik terlalu besar untuk Mbak Citra."

Andaru si bijaksana mencoba menetralkan suasana yang mulai panas. Dia tidak ingin terjadi perpecahan dalam keluarganya. Namun, satu sisi dia setuju dengan pandangan Wiryawan dan Dianti.

"Ibu tidak menyangka pikiran kalian sepicik itu," balas Untari tajam.
Dia melangkah ke arah jendela dan membuang pandangan keluar.
Matanya menatap halaman luas yang dipenuhi pohon-pohon. Di sana, seratus meter dari rumah utama, di rumah Limasan itu, tempat menampung berbagai kain yang sudah dan akan dibuat batik oleh para karyawannya. Di sana pula harapan orang-orang kampung yang menjadi pegawainya berpadu dengan semangat bisnis yang dia miliki.

"Sudahlah! Untuk hal ini Ibu tidak bisa mendengarkan keinginan kalian lagi. Mohon kalian mengerti. Biarkan usaha rumah batik dipegang oleh Citra. Kalian suka atau tidak. Tidak perlu lagi ada perdebatan!"

"Ibu! Aku sangat-sangat tidak setuju. Apa Ibu sudah kena racun mulut berbisanya Citra? Aku yakin, dia memang berniat mengambil seluruh harta milik Ibu secara diam-diam. Kali ini usaha rumah batik, besok-besok seluruh aset termasuk rumah, emas milik Ibu, kendaraan, dan surat-surat berharga akan dikuasainya. Dengar ya, Bu! Aku, tidak akan pernah menerima keputusan ini."

"Wiryawan!"

Teriakan Untari disambut dengan suara vas bunga yang pecah menimpa dinding ruangan. Laki-laki itu dengan amarah yang sudah tidak terkontrol lagi kemudian keluar dari ruangan pribadi Untari sambil membanting pintu dengan kasar. Kembali, suara keras terdengar.

Untari memegang dadanya. Ada yang sakit dan perih mengalir dalam relung kalbu. Tidak percaya,  Wiryawan anak yang dibesarkan dengan penuh cinta tega melukai hatinya. Wiryawan yang biasa halus bertutur kata, sudah berubah. Tidak ada lagi kepatuhan akan titah sang ibu, seperti beberapa tahun lalu.

-Bersambung-

WARISAN UNTARI (COMPLETED)Where stories live. Discover now