Bab 5 - Bagian 2

52 11 0
                                    

Lelaki itu tertawa. Tangannya kemudian menepuk lengan Wiryawan dan mengangguk. Dia menoleh ke arah Amira. Perempuan itu membuang muka. Tidak terlihat senang dengan pertemuan tanpa disengaja ini.

"Masih ingat aku, kan?"

Mata Wiryawan sedikit menyipit. Dia pun menganggut dan langsung menyalami laki-laki itu dengan erat. "Nala Sasmita, apa kabar?"

Kembali laki-laki yang dipanggil Nala Sasmita itu tertawa lebar. Suaranya yang keras mampu mengalihkan pandangan orang-orang di lobi hotel kepadanya. Namun, Nala Sasmita tidak peduli. Wiryawan mendekati Amira yang berdiri di belakangnya.

"Ma, kamu bawa anak-anak duduk dulu di sana. Aku mau ngobrol sebentar dengan Sasmita," bisik Wiryawan pada Amira.

"Pa, kamu ini gimana sih?Bukannya ...."

Wiryawan memotong ucapan Amira dengan isyarat telunjuk yang disimpan di bibirnya. Amira mengentakkan kaki dan wajahnya keruh. Namun, dipatuhi juga akhirnya perintah Wiryawan. Dia membawa Juna dan Vania duduk menjauh.

Wiryawan kembali mendekati Nala Sasmita. Laki-laki itu tengah menatap langit-langit lobi hotel yang didominasi warna krem dan keemasan, kombinasi yang mewah.

"Sedang ada pekerjaan apa di hotel ini?" tanya Wiryawan setelah mereka duduk.

"Ada bisnis. Biasa. Ya, salah satu kolegaku lagi menginap di sini."

"Hmm ... masih suka berburu?" Wiryawan mencondongkan tubuhnya ke arah Nala Sasmita sambil berbisik.

Laki-laki itu menatap tajam. Matanya bergerak cepat menelusuri wajah di depannya. Dia sepertinya sedang menimbang perkataan Wiryawan. Tak lama kemudian tawanya kembali membahana. Wiryawan pun ikut tertawa.

"Berita dari mana?"

Wiryawan terkekeh. "Sasmita, aku mengikuti perkembanganmu, Bro! Ada kawanku yang kebetulan pernah merasakan hasil buruanmu."

"Oh ya, benarkah? Ha ha. Sesekali sih iya. Kalau ada yang mengajakku berburu, tentu saja harus lihat kondisi lahan dan apa yang mau diburu."

Wiryawan mengangguk. "Oke, aku minta nomor kontakmu, Bro! Suatu saat aku bakal menghubungimu lagi. Ada lahan untuk berburu."

"Boleh."

Laki-laki itu membuka ponselnya. Wiryawan dengan cepat menyalin nomor yang tertera di layar ponsel Nala Sasmita.

"Ingat ya, Bro! Jangan kasih no ini ke sembarang orang!"

"Oke. tak simpan ya. Nih, lihat!"

Nala Sasmita melihat dengan seksama nama yang dituliskan di kontak ponsel Wiryawan. Laki-laki berperawakan mirip prajurit itu tertawa terkekeh. Betapa tidak, Wiryawan menuliskan nama untuk nomor ponselnya dengan tulisan "Sang Pemburu". Dia mengangkat jempol.

Tak lama kemudian Nala Sasmita berpamitan. Laki-laki itu berjalan dengan gagah meninggalkan pintu lobi. Langkahnya cepat. Wiryawan mendekati Amira. Wajah perempuan itu menahan kesal. Dua puluh lima menit waktunya terbuang hanya untuk menunggu. Roman amarah terpendam dalam dadanya. Amira bukanlah orang yang bisa dirajuk dengan tangan kosong apalagi kata-kata tanpa bukti. Baginya, segalanya harus terpenuhi dengan cepat. Terbiasa hidup serba dilayani dengan fasilitas yang mewah, membuat perempuan ini sangat mudah mengangkat hidung dan dagu serta telunjuk untuk menunjukkan satu keinginan. Terkadang, Wiryawan sangat kesulitan memenuhinya.

Wiryawan kemudian menggandeng tangan Juna dan Vania. Mereka beriringan menuju kamar hotel. Tidak ada percakapan kecuali suara tapak sepatu mereka berempat di sepanjang lorong. Diusapnya kepala Vania. Bagaimana pun, dalam hati anak laki-laki pertama Untari itu selalu ada cinta untuk keluarganya. Namun, sikapnya sering kalah jika berhadapan dengan tuntutan sang istri.

WARISAN UNTARI (COMPLETED)Where stories live. Discover now