Bab 15 - Bagian 2

50 11 0
                                    

      "Sebelum kalian tidur, Ibu harus menyampaikan kebenaran ini. Semoga kalian siap mendengarnya!"

       Wajah Wiryawan menegang. Kekuatiran sempat melintas. Apakah Ibu tahu yang kulakukan? Tidak mungkin, semua aman. Tidak akan ada yang tahu! 

       Amira pura-pura tenang.  Seolah tidak terpengaruh pancingan Untari, padahal jantungnya berdebar. Secara tidak sengaja, perempuan culas itu sempat mencuri dengar sebuah fakta tentang Citra. Apakah ini yang akan diungkap oleh Untari? Amira berharap bukan, agar mimpinya bisa menjadi kenyataan.

        "Seperti yang Mbak Amira dan mbak Arsanti tahu, Citra memang bukan anak kandung Ibu, tetapi hatinya lebih daripada anakku sendiri," kata Untari memulai cerita setelah beberapa saat keheningan melingkupi ruangan itu. Dianti mendengkus tidak suka mendengar pujian ibunya untuk Citra. Dianti sadar, dari kecil dia tidak pernah menang dari kakaknya itu. Bagi Ibunya Citra segalanya.

      "Ibu tahu kamu tidak suka, Dik Anti! Namun, apa yang Ibu katakan adalah fakta. Di antara kalian berempat, Mbak Citra yang paling ngerti Ibu. Tahu apa yang Ibu mau, dan mau berkorban untuk Ibu. Mbak Citra selalu mengalahkan kepentingannya, demi membantu Ibu. Hanya Mbak Citra juga, yang tulus membantu menangani rumah batik sejak dia masih SD. Kemudian makin serius sejak naik SMP. Mas Ndaru juga suka membantu, tetapi sebatas membantu sebagai laki-laki. Citra mengerjakan banyak hal, yang anak kecil tidak lakukan."

       "Ada maunya sih!" Dumel Amira dan Wiryawan hampir bersamaan. Meski lirih, Untari mendengarnya dengan jelas.

       Untari tersenyum, menahan emosi yang hampir dia semburkan pada pasangan suami istri itu. Anak dan menantu paling tidak sopan dalam keluarga mereka. Bahkan Danang suami Citra, bersikap sopan dan menghormatinya. Untari melirik Dianti yang masih menunjukkan ekspresi tidak suka. Sementara Andaru dan Arsanti terlihat tetap tenang.

      "Citra tidak pernah minta apa-apa. Dia hanya menerima apa pun yang Ibu berikan, tanpa protes," lanjutnya dengan senyum bahagia.

       "Itu karena Ibu memberi semua yang Mbak Citra butuhkan. Sekolah yang baik, kasih sayang, dan kehidupan yang nyaman. Bagaimana dia gak nurut?" protes Wiryawan tidak suka. Telinganya gerah, mendengar ibunya terus memuji Citra.

        "Apakah Ibu tidak memberikan hal itu juga pada kalian?" tanya Untari getir.

Andaru tersentak, laki-laki itu menangkap ketidaknyamanan dari suara ibunya.

       "Mas Wawan gak pantas bicara begitu! Ibu memperlakukan kita sama, kita yang tidak berlaku sama terhadap Ibu," tegur Andaru.

Seketika semua mata beralih padanya. Tidak menyangka Andaru yang diam, berani menegur kakaknya.

      "Tidak usah jadi pahlawan kesiangan. Kamu juga menginginkan rumah batik kan?  Selama ini kamu sama dengan mbak Citra, pura-pura baik untuk mendapatkan keinginanmu dengan cara halus. Munafik!" bantah Wiryawan emosi. Andaru tidak pernah membantahnya, dan dia tidak suka serangan adiknya tadi.

       "Mas, sudah. Kalian bersaudara, gak boleh begitu. Kita dengarkan Ibu saja," kata Arsanti menahan Andaru yang mau membantah omongan Wiryawan.

     Andaru menghela napas panjang. Membuang kesal yang sebenarnya sudah ditahannya dari kecil. Kesal dengan sikap Wiryawan yang selalu mau menang sendiri, dan selalu menyalahkan Citra. Persis seperti ayah mereka.

       Untari tersenyum getir. Dadanya sakit melihat sikap Wiryawan yang sangat frontal. Wiryawan memang manja, semua keinginannya harus dituruti. Apalagi ketika masih ada Tomy, yang sangat mendukungnya. Wiryawan biasa melakukannya dengan cara halus, tetapi sekarang beda. Didepannya Wiryawan berani membanting pintu, berbantah  dengan adiknya juga dirinya.

WARISAN UNTARI (COMPLETED)Where stories live. Discover now